Jumat, April 19, 2024

Jenazah COVID-19 dan Infeksi Kepanikan Massa

Ega Prakarsa
Ega Prakarsa
Alumni Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia. Tertarik pada beragam isu sosial dan pendidikan

Kasus COVID-19 di Indonesia menyentuh angka 4.241 kasus (tercatat pada 12 April 2020). Sebanyak 359 pasien berhasil sembuh, sementara 373 orang dinyatakan meninggal (Indozone.id). Melihat perkembangan kasus COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan peningkatan eksponensial yang sangat tajam dari waktu ke waktu.

Tingginya angka penularan virus juga mewabah menjadi kekhawatiran yang tidak bisa dihindari. Akibatnya, berbagai kekhawatiran massa pun terjadi di berbagai daerah. Dari mulai penolakan terhadap warga negara Indonesia yang pulang dari China awal Februari lalu, hingga akhir pekan ini terjadi penolakan terhadap jenazah pasien COVID-19.

Penolakan jenazah positif COVID-19 terjadi di Banyumas Jawa Tengah. Warga membunyikan kentungan hingga melempar batu agar pemakaman tersebut dibatalkan. Di Lampung, spanduk besar bertuliskan penolakan warga sekitar terpasang di area pemakaman.

Di Gowa Sulawesi Selatan, penolakan pemakaman justru diakhiri dengan kericuhan. Di Kabupaten Sidoarjo, proses pemakaman jenazah tidak dapat dilakukan karena penggali kubur menolak untuk melakukan pemakaman karena takut tertular virus (kompas).

Hal ini tentu saja menjadi catatan baru bahwa masyarakat belum mampu melihat beragam kasus COVID-19 ini dengan mengedepankan sikap sosial yang baik. Alih-alih memberikan empati terhadap keluarga korban meninggal akibat virus ini, masyarakat malah memberikan penolakan keras seolah-olah korban adalah pelaku kejahatan yang tidak bisa dimaafkan.

Naluri Altruisme

Pada dasarnya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang ramah, mempunyai solidaritas sosial yang kuat dan nasionalisme yang tinggi. Akan tetapi kenyataannya, sikap-sikap tersebut tidak menjadi potensi besar dalam menghadapi tantangan pandemi kali ini. Beragam penolakan terhadap jenazah COVID-19 merupakan negasi dari solidaritas sosial masyarakat kita.

Beragamnya identitas sosial seperti agama, ras, suku bangsa, bahasa dan lain sebagainya, sebenarnya sudah memberikan panduan bagaimana melaksanakan kehidupan bermasyarakat hingga pada hal-hal yang paling teknis seperti menanggapi kematian, bersikap pada jenazah dan keluarga yang berkabung.

Pedoman itu terbentuk menjadi suatu jalinan moral. Jalinan moral memberikan kekuatan pada tatanan sosial agar masyarakat senantiasa hidup berdampingan dalam berbagai perbedaan.

Esensi murni dari moral adalah sesuatu yang kita harapkan orang lain melakukannya (Boyd, 2015). Apabila definisi ini dipakai oleh semua orang, maka tentu saja penolakan terhadap jenazah COVID-19 merupakan sesuatu yang tidak bermoral (amoral). Mengucilkan keluarga korban COVID-19 juga merupakan sikap amoral. Kemampuan untuk meresapi moral dalam kehidupan bermasyarakat oleh tiap individu akan membentuk empati sosial yang besar terhadap bencana kemasyarakatan.

Clifford Geertz salah seorang peneliti yang secara konsisten tertarik pada tatanan masyarakat Indonesia pernah berkomentar secara melankolis setelah terjadi bencana tsunami 2004.

Bahwa setiap orang dapat memperluas wawasan akan substansi tentang kematian bukan hanya seremonial duka cita kita terhadap dunia yang sebentar lagi akan hilang, akan tetapi juga tentang perasaan kita sebagai bagian dari komunitas moral yang lebih luas, yang keberadaannya dimanifestasikan melalui belas kasih kepada para korban (Fassin, 2011).

Melalui komentar ini, Geertz ingin menunjukkan bahwa sebesar apapun bencana yang menimpa suatu masyarakat, tidak boleh mengikis habis altruisme, empati dan moral kita sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat.

Akan tetapi bagaimana pun juga, sikap empati ini bukan tanpa tantangan. Dalam menyikapi COVID-19 orang-orang berusaha mengkalkulasikan secara selektif apa untung-ruginya bagi mereka. Dengan bayang-bayang kekhawatiran terinfeksi virus COVID-19 yang ganas, kekhawatiran kondisi ekonomi, pendapatan usaha yang tiap hari semakin turun, persediaan yang mulai menipis adalah indikator-indikator yang membuat kita lupa akan moral, sehingga kita lebih bersikap irasional dan nirlogika.

Padahal sebenarnya, moral dan empati sosial sudah terbentuk dalam anatomi tubuh manusia secara biologis. Otak dan saraf manusia telah berjalin kelindan membentuk kumpulan social neuroscience. Suatu jalinan saraf yang memfasilitasi manusia untuk berbelas kasih terhadap keadaan sosialnya. (Goleman, 2018)

Perasaan khawatir adalah naluri yang lumrah. Akan tetapi dalam konteks massa, kondisi kepanikan terbentuk melalui persepsi atau perasaan orang yang terjerat pada ketidakberdayaan kolektif dan keterasingan individu dalam situasi darurat (Mawson, 2007).

Reaksi alamiah seseorang terhadap bahaya umumnya ditandai melalui sikap anti-sosial dan penjagaan diri (self-preservative).Tetapi ketika berkelompok, pengendali utama seseorang adalah sikap untuk berafiliasi tehadap kelompoknya. Berafiliasi untuk melawan bahaya adalah respon primitif dari umat manusia yang telah terbentuk dalam proses sejarah yang panjang.

Dalam kasus penolakan jenazah COVID-19 ini, rendahnya informasi yang diterima masyarakat tentang penyebaran virus beserta bahayanya tidak bersifat komprehensif. Kumpulan individu dalam masyarakat yang miskin informasi, akan mudah diprovokasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Menguatkan Kembali Lembaga Masyarakat

Menyikapi serius beragam penolakan terhadap pemakaman jenazah COVID-19 adalah dengan kembali mengingatkan moralitas publik dan empati sosial secara konsisten terus menerus. Langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah penguatan sosialisasi melalui berbagai lembaga; lembaga agama, kesehatan, pendidikan hingga media harus saling sepakat satu suara.

Seharusnya tiap-tiap lembaga saling menguatkan satu sama lain dengan bersikap tidak saling bertentangan. Karena pertentangan informasi antar lembaga dapat menimbulkan distorsi informasi yang menyebabkan keresahan publik semakin tinggi bahkan hal paling berbahaya adalah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga tersebut. Keajegan informasi, dan konsitensi informasi yang sahih juga turut memperkecil provokasi yang mungkin ditimbulkan oleh oknum yang mengambil keuntungan dari kasus ini.

Pada akhirnya beragam kepanikan yang terjadi di masyarakat berakar pada kekhawatiran mereka terhadap segala sesuatu terkait dengan COVID-19, Maka jawab kekhawatiran masyarakat itu dengan manajemen informasi yang baik serta beragam kabar baik yang dicapai oleh lembaga masyarakat dalam menanggulangi pandemi ini.

Sumber :

Natalie Boyd. 2015. Why Be Moral? Sociological, Psychlogical & Theological Reasoning. Diakses dari www.study.com

Didier Fassin. 2011. Morals and Moralities: A Critical Perspective from The Social Science. Diakses dari www.ias.edu/

Goleman, Daniel 2018. Social Intelligence: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar-Manusia. Penerj. Hariono S. Imam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mawson, Anthony. 2007. Mass Panic and Social Attachment: The Dynamics of Human Behavior. Asghate Publishing

Indozone.id. 2020. Update Corona 12 April: Pasien Positif 4.241 orang dan 373 Meninggal. Diakses dari indozone.id

Kompas.com. 2020. https://regional.kompas.com/

Foto diambil dari ANTARA FOTO https://www.senayanpost.com/jenazah-pasien-corona-seperti-mati-syahid-jangan-ditolak/

Ega Prakarsa
Ega Prakarsa
Alumni Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia. Tertarik pada beragam isu sosial dan pendidikan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.