Kamis, Maret 28, 2024

Jejalan Orang Tionghoa Muslim di Indonesia

rezzamaulana
rezzamaulana
peneliti lepas, pegiat jurnal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Prof. Robert W. Hefner, dalam sambutan singkat buku ini, bahwa Hew Wai Weng berhasil menyajikan etnografi yang memikat dalam menjelaskan perubahan konsepsi sejarah Indonesia modern bahwa kategori sosial Tionghoa dan muslim merupakan dua hal yang tidak lagi bertolak belakang.

Orang Tionghoa yang masuk Islam dapat menjadi muslim yang taat tanpa harus menanggalkan budaya Tionghoanya. Selain itu, buku ini juga menjelaskan dengan baik mengenai kompleksitas dan kelindan antara dua entitas, Tionghoa dan Islam, melalui sejumlah arena budaya popular.

Menurut hemat saya, kajian yang dilakukan oleh Weng ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh fenomena “euforia budaya Tionghoa” dan “kebangkitan kelompok Islam” pasca Orde Baru (hlm 8) atau mengikuti perubahan “trend” riset tentang minoritas Tionghoa di Indonesia (Heidhues, 2017), tetapi bagian dari usahanya membandingkan dengan fenomena yang sama tentang identitas Cina muslim di negara asalnya, Malaysia (Weng, 2014).

Meskipun di dua Negara tersebut terdapat sejarah dan konteks sosial politik yang sangat berbeda, namun kedua identitas tersebut (Tionghoa dan Muslim) mempunyai dimensi transnasional, dimana terdapat keterhubungan antar “ummat Islam” di Indonesia, Malaysia dan Timur Tengah dengan “diaspora Cina” di Malaysia, China, Hongkong dan Taiwan (hlm 14).

Mengingat Masa Lalu untuk Masa Kini

Mengikuti kerangka pikir Stuart Hall (1993) bahwa identitas budaya merupakan subjek yang berkesinambungan dan saling terkait dari sejarah, budaya dan kekuasaan, Wai Weng memulai kajian ini dengan menelusuri identitas Tionghoa muslim dalam berbagai periode sejarah sejak masa pra kolonial hingga pasca Orde Baru.

Terdapat beberapa kajian sejarah yang juga berusaha menjembatani kesenjangan konsepsi sejarah tersebut, meskipun diantaranya justru memunculkan perdebatan panjang karena dianggap tidak mengikuti arus dominan. Beberapa diantaranya adalah Parlindungan (1964), Muljana (1968), Budiman (1979), Oei (1982), Lombard dan Salmon (1993), Suryadinata (1993), Rubaidi (1999), Sumanto Al-Qurtuby (2003), Jahja (2005) dan Ali (2007).

Tanpa bermaksud untuk terlibat dalam perdebatan sejarah yang kompleks, rangkuman ini lebih ingin menunjukkan bahwa hubungan Tionghoa dan Islam sebenarnya mempunyai akar yang kuat dan panjang dalam sejarah nusantara hingga nasional. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, identitas Tionghoa muslim tampaknya mengalami transformasi di setiap periode sejarahnya. Dengan kata lain, identitas Tionghoa muslim merupakan sebuah bentukan sejarah (hlm 55).

Menariknya dari bab (2) ini, Wai Weng mengelaborasi lebih lanjut reartikulasi sejarah Tionghoa muslim, khususnya sejarah Cheng Ho dan Walisongo, dalam berbagai ruang budaya semacam budaya pop (album musik, nasyid, drama), seminar, buku, festival, dan pengajian.

Tidak hanya itu, pengamatan identitas budaya Tionghoa muslim juga dilakukan pada fenomena pembangunan masjid Cheng Ho di berbagai daerah (bab 3), performansi hybrid penceramah agama Tionghoa muslim (bab 4), keterlibatan dalam sosial politik organisasi (bab 5) dan perdebatan mengenai dakwah kultural dalam perayaan Imlek di masjid (bab 6).

Meskipun berbagai pihak mempunyai makna yang berbeda atas reartikulasi sejarah tersebut, penulis buku ini menegaskan bahwa imajinasi “masa lalu” dan imajinasi “tanah leluhur” yang dipilih oleh Tionghoa muslim merupakan sebuah strategi peneguhan jatidiri yang lebih memberdayakan baik secara kultural dan politik.

Selain bersifat sukarela, simbolik dan situasional, peneguhan jatidiri ini juga tidak menafikan adanya keragaman dalam kelompok mereka sendiri. Tionghoa muslim dari berbagai latar belakang dapat memilih cara menafsirkan masa lalu, dan apakah mereka ingin ‘membangkitkan’, melestarikan, atau meninggalkan ketionghoaannya (hlm 95).

Identifikasi ganda dan Kesalehan yang lentur 

Beragamnya latar belakang dan pengalaman dalam proses konversi ke Islam telah menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi Tionghoa muslim, identitas mereka menjadi tidak tunggal. Dan dalam memahami identitas tersebut perlu memperhatikan faktor pengaruh ekonomi politik dari religiusitas yang berubah dan politik budaya dari kesalehan yang lentur atau flexible piety (hlm 326).

Namun ditengah pasangnya gelombang konservatif Islam seperti saat ini (Bruinessen, 2013), apakah sebagian besar dari Tionghoa muslim, pada khususnya dan Tionghoa Indonesia pada umumnya, mampu bertahan dan menegosiasikan komitmen keagamaan, pemahaman dan praktik dalam kehidupan sosial dan sehari – hari? Mengingat bahwa diantara mereka terdapat personal yang berafiliasi pada kelompok tertentu yang berpaham garis keras dan mengusung khilafah (Weng, 2018a, p. 126, 2018b). Atau justru sebaliknya, Tionghoa muslim dapat mengambil peran penting dalam politik Indonesia kini dan di masa depan (Heidhues, 2017).

Inklusifitas Tionghoa dan Islam Kosmopolitan 

Meskipun diakui oleh Wai Weng bahwa terlepas dari esensialis dan pandangan konservatif, inklusifitas Tionghoa dan Islam kosmopolitan yang terwujud dalam beberapa kasus masih bersifat terbatas. Sampai batas tertentu, identitas Tionghoa muslim telah mewarnai wacana ketionghoaan dan keislaman. Budaya Tionghoa muslim sekarang bisa juga dipeluk oleh orang Tionghoa atau bukan Tionghoa dan muslim atau bukan muslim (hlm 339).

Meminjam sebuah judul lakon dari Teater Garasi yang berjudul ‘Je.ja.l.an’ (The Streets, 2008), mengandaikan Tionghoa muslim sebagai ‘jalan’ dimana ruang antara untuk interaksi sosial, negosiasi budaya dan beragam ekspresi orang Tionghoa muslim maupun lainnya, baik yang berasal dari marga, kelas sosial, dan aliran keyakinan yang berbeda. Jalan – jalan kehidupan orang Tionghoa muslim dan keluarganya merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang tidak bisa disembunyikan baik dulu, kini dan yang akan datang.

Judul                : Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia 

Penulis              : Hew Wai Weng

Penerjemah      : Afthonul Afif

Penyunting        : Ahmad Baiquni

Penerbit            : Bentang Pustaka

Tahun terbit      : Cet 1, Mei 2019

Jumlah hal         : 384 hlm

ISBN               : 978-602-441-105-3

 

DAFTAR PUSTAKA 

Bruinessen, M.V. (Ed.), 2013. Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn.” ISEAS Publising, Singapore.

Heidhues, M.S., 2017. Studying the Chinese in Indonesia: A Long Half Century. Sojourn J. Soc. Issues Southeast Asia 32, 601–633. https://doi.org/10.1355/sj32-3c

Weng, H.W., 2018a. Chinese Ways of Being Muslim: Negotiating Ethnicity and Religiousity in Indonesia. NIAS Press, Copenhagen.

Weng, H.W., 2018b. The Art of Dakwah: Social Media, Visual Persuasion and the Islamist Propagation of Felix Siauw. Indones. Malay World 46, 61–79. https://doi.org/10.1080/13639811.2018.1416757

Weng, H.W., 2014. Identiti Cina Muslim di Malaysia: Persempadanan, Perundingan dan Kacukan Budaya. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.

nb:

cover buku berasal dari website penerbit mizan pustaka.no hp: 08174119211

rezzamaulana
rezzamaulana
peneliti lepas, pegiat jurnal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.