Kamis, Mei 2, 2024

Jejak, Remah-remah, Kuasa Digital

Satya Adhi
Satya Adhi
Pembeli buku diskonan, penonton film gratisan. Meminati sastra, juga kajian media dan jurnalisme. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di pjalankaki.blogspot.com.

Setiap detik penjelajahan manusia di dunia virtual menciptakan miliaran data baru. Jejak-jejak peradaban digital dihimpun dalam komputer-komputer raksasa nan rakus. Kerakusan yang dipenuhi oleh kesukarelaan manusia menyuplai informasi pribadi secara terus menerus.

Setiap berita yang kita bagikan di media sosial, setiap artikel yang kita sukai, setiap komentar pada akun jual beli tertentu, setiap perjalanan fisik yang kita lakukan lewat transportasi daring, semua terekam utuh tanpa disadari. Ponsel pintar dan komputer jinjing menjelma kuesioner aktivitas dan kepuasan terhadap produk barang, jasa, bahkan terhadap figur politik tertentu. Dan yang perlu digarisbawahi, nyaris seluruh warganet tidak pernah keberatan mengisi kuesioner tersebut setiap detiknya.

Kita tidak sadar bahwa data-data pribadi kita tidak lagi ada pada kendali diri masing-masing. Ketidaksadaran yang membawa keterkejutan saat sebuah lembaga riset teknologi, Cambridge Analytica, memanen data secara cuma-cuma dari sekira 80 juta warga Facebook.

Melalui ratusan anak perusahaan, lembaga asal Inggris tersebut menggunakan aplikasi kuis di Facebook untuk memungut remah-remah data dari para warga. Kuis-kuis berkedok tes psikologi atau prediksi masa depan kita ikuti secara gratis. Abai bahwa di awal persetujuan penggunaan aplikasi, selalu terdapat peringatan: aplikasi ini akan mengakses informasi-informasi dari akun Facebook Anda.

Miliaran remah data menjelma gunung emas berharga. Cambridge Analytica bisa tahu rincian psikologis, asal geografis, juga sikap politik warga dunia maya. Melalui data-data ini, pesan-pesan periklanan bisa didesain dengan lebih tepat sasaran, lebih tepat keperluan.

Pesan-pesan politik jadi sorotan utama. “Induk perusahaan Cambridge Analytica, Strategic Communication Laboratories Group, sudah malang melintang memengaruhi pemilihan di 40 negara di seluruh dunia, dari Brasil hingga Malaysia. Situs perusahaan ini bahkan menyebutkan pengalaman mereka membantu salah satu kandidat dalam pemilihan umum di Indonesia beberapa tahun lalu” (Tempo, 1 April 2018: 26-27).

Para politisi pengguna jasa Cambridge Analytica tidak mau dipersalahkan. Bodoh jika mengabaikan gunung emas yang bisa mereka manfaatkan buat merebut kuasa. Meski pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 yang memenangkan Donald Trump dan kampanye British Exit (Brexit) kerap jadi tajuk utama, penggunaan data pribadi warga media sosial bukan hal baru dalam kancah perpolitikan. Pada 2004, George Bush yang berhadapan dengan Howard Dean pada pemilihan Presiden Amerika Serikat sudah melakukan hal yang mirip.

“Dengan menggunakan teknologi digital, tim Bush mengidentifikasi karakteristik pedukung di setiap distrik sebagai bahan menyusun strategi pendekatan kampanye kepada mereka. Identifikasi dilakukan berdasarkan data komersial yang didapat secara online, misalnya data tentang kepemilikan mobil, majalah yang disukai, film favorit, dan data sejenis itu (Fayakhun Andriadi, 2018: 23).

Di Indonesia, Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2012 adalah teladan permulaan. Lewat sihir algoritma mesin pencari dan media sosial, relawan maya dikerahkan guna membanjiri lini masa dengan pesan-pesan politik. Kita dipaksa hanya menelan informasi yang lebih sering kita akses. Hasilnya, pada 2014, dua kutub yang bersitegang mulai terbentuk kuat, lalu mencapai puncak kedahsyatannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Belum juga reda hingga kini.

Algoritma semacam ini memang merupakan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan (dan figur-figur politik) pengiklan. Bila pesan yang disampaikan lewat orasi lapangan dan baliho-baliho di pinggir jalan berpotensi hilang tanpa diingat, pesan-pesan lewat media sosial akan membekas di ruang ingatan warganet karena terus menerus muncul di lini masa.

Faedah untuk mengumpulkan informasi tak perlu diragukan lagi. “Media sosial bukan hanya efektif untuk berkomunikasi, tapi juga dalam pengumpulan informasi. Lebih dari itu, media sosial juga dapat menjadi alat untuk mengukur tingkat respons publik terhadap kandidat, sehingga sangat berguna untuk proses penyusunan strategi kampanye dan sosialisasi” (Fayakhun Andriadi, 2018: 23).

Dulu, data-data pribadi yang tidak kita kuasai terbatas pada apa yang terekam dalam dokumen warga negara. Kini, ketika korporasi digital raksasa begitu berdaulat di dunia maya, negara berusaha masuk dengan dalih melindungi data-data warga negaranya.

Kuasa Negara di Dunia Maya

Sebagai ilustrasi, kini jumlah warga Facebook adalah 2,2 miliar akun (Tempo, 1 April 2018; 27). Itu berarti Facebook punya kuasa penuh atas data pribadi 2,2 miliar warganya. Sementara itu, populasi penduduk dunia saat ini tercatat sejumlah 7,6 miliar. Dua negara dengan populasi terbesar adalah Tiongkok (1,4 miliar) dan Amerika Serikat (326 juta).

Dari ilustrasi tersebut, kita bisa menyaksikan bahwa jumlah warga Facebook mencapai nyaris dua kali lipat jumlah warga Tiongkok, dan lebih dari sepertiga populasi dunia. Bahkan, Cohen dan Schmidt dalam The New Digital Age (2014: 23) berani menyimpulkan bahwa dalam sepuluh tahun mendatang, penduduk dunia maya akan melampaui jumlah penduduk bumi.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa infrastruktur digital tetaplah harus dibangun dengan persetujuan negara-negara terkait. Kuasa atas infrastruktur tersebut membuat korporasi seperti Google dan Facebook tidak bisa serta merta masuk ke dalam sebuah negara. Maka tidak heran jika Dewan Senat Amerika Serikat dengan segera memanggil pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, untuk mempertanggungjawabkan keamanan data pribadi warga mereka.

Keterlibatan negara juga terjadi di Indonesia, meski belum terasa secara masif. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sudah memanggil Facebook Indonesia terkait keamanan data. Yang sudah terjadi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bahkan memblokir Tumblr karena dianggap mempermudah penyebaran pornografi (walaupun kita tahu pornografi di dunia maya tetap lestari lewat Google, Instagram, dan YouTube).

Kasus paling ekstrem atas ikut campurnya negara dalam jagat maya terasa di Tiongkok sana. “Tiongkok adalah penyaring informasi paling getol dan antusias di dunia. Semua platform yang marak di negara-negara lain – Facebook, Tumblr, Twitter – diblokir oleh pemerintah Tiongkok” (ibid.: 85). Meski dalam kacamata kebebasan berekspresi pemerintah Tiongkok acap kali dinilai buruk, dalam sudut pandang keamanan siber, Tiongkok bisa dikatakan telah berhasil menegakkan kedaulatan siber mereka.

Mulanya, jagat maya adalah ruang kacau balau, tanpa sekat, juga tanpa pemimpin. Kini, pasca negara berhamburan mengurusi kekuasaannya di sana, kita terancam hidup dalam dunia distopia macam yang digambarkan George Orwell dalam 1984. Bedanya, dunia distopia masa depan adalah distopia yang melenakan.

Dialog jenius antara Kyle Scheible dan Lady Bird dalam Lady Bird (Greta Gerwig, 2017) jadi terasa benarnya.

“Kau tidak punya ponsel?”

“Tidak.”

“Bagus, Pemerintah tidak perlu memasang alat pelacak pada kita, kita sendiri yang membeli dan memasangnya.”

Jadi, apakah Anda sudah memutuskan untuk membagikan tulisan ini lewat alat pelacak masing-masing?.

Satya Adhi
Satya Adhi
Pembeli buku diskonan, penonton film gratisan. Meminati sastra, juga kajian media dan jurnalisme. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di pjalankaki.blogspot.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.