Sabtu, Mei 4, 2024

Jejak Politik Etis dan Perjuangan Perintis Pendidikan Nasional

Odemus Witono
Odemus Witono
Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral STF Driyarkara, Jakarta.

Sejarah pendidikan nasional memberikan sorotan khusus pada era politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jejak politik etis dan perjuangan perintis pendidikan di Nusantara/Hindia Belanda sebenarnya sudah bergema di akhir abad ke-19, dan awal abad ke-20.

Akan tetapi, baru pada tanggal 17 September 1901, secara resmi Ratu Belanda Wilhelmina mengumumkan keberlakuan Politik Etis bagi Hindia Belanda, sebagai respons terhadap kebijakan tanam paksa yang merugikan masyarakat bumiputera. Politik Etis, yang diusulkan oleh Pieter Broshooft (1845-1921) dan C. Th. van Deventer (1857-1915), membawa dampak signifikan terutama dalam sektor pendidikan.

Terdapat tiga kebijakan politik etis yang dirumuskan dalam program Trias Van Deventer, yakni irigasi, emigrasi, dan edukasi. Fokus pada kebijakan pendidikan terlihat pada awal penerapan politik etis yang bersifat pragmatis, menjawab kebutuhan tenaga kerja pada tingkat bawah dan menengah. Pendidikan menjadi alat untuk memenuhi pasar tenaga kerja yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda.

Meskipun awalnya pendidikan direspon positif oleh orang bumiputera, terutama kalangan priayi bangsawan, pendidikan pada masa itu lebih merupakan konsumsi bagi kaum elit. Sekolah-sekolah desa muncul sebagai respons terhadap kebijakan ini, mengatasi tahyul dan melatih anak-anak dengan membaca, menulis, dan menghitung (3M).

Tokoh pendidikan seperti P. Van Lith, SJ (1863-1926), K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), Ki Hajar Dewantoro (1889-1959), dan P. A. Th. van Hoof, SJ (1879-1944), mulai menaruh perhatian pada pendidikan rakyat biasa. Mereka mendirikan berbagai lembaga pendidikan, seperti Kolese Xaverius Muntilan (tahun 1900), sekolah Muhammadiyah (1911), Taman Siswa (1922), dan Perkumpulan Strada (1924), sebagai wujud perjuangan untuk memberikan akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat.

Para perintis pendidikan nasional tidak hanya memandang pendidikan sebagai pemenuhan tuntutan kerja saat itu, tetapi juga sebagai investasi masa depan.

Mereka mendirikan yayasan atau perkumpulan berbadan hukum untuk menjaga keberlangsungan pendidikan. Dalam upaya itu, pendidikan bagi calon-calon guru juga menjadi perhatian, terlihat dari berdirinya sekolah pendidikan guru oleh Romo Van Lith pada tahun 1900 dan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1911.

Meskipun masa itu penuh dengan antusiasme belajar, anak-anak muda bumiputera harus menghadapi keterbatasan fasilitas. Alat tulis sederhana seperti sabak, grip, pena jarum, kapur, dan papan tulis menjadi sarana pembelajaran mereka.

Setelah 27 tahun penerapan politik etis, pada tahun 1928, ada sekitar 75.000-an bumiputera telah menyelesaikan pendidikan dasar-menengah. Meskipun angka ini tergolong kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Hindia Belanda, dampak politik etis pada pendidikan mulai terasa.

Secara keseluruhan, periode 1901-1930-an mencerminkan dinamika pendidikan di Hindia Belanda, diwarnai oleh politik etis, perjuangan perintis pendidikan, dan semangat belajar anak-anak muda bumiputera. Sebuah fase kritis yang membentuk landasan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia menuju masa depan.

Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional, mengambil pendekatan mendalam terhadap tradisi nusantara dalam upaya meningkatkan kualitas anak-anak bangsa.

Pada tanggal 3 Maret 1947, dalam Sidang Komite Nasional Pusat di Malang, beliau menyampaikan pernyataan yang memukau, menyatakan. “Jika kita hanya meneruskan cara dan adat yang lama dalam bidang kebudayaan, pendidikan, dan pengajaran, maka untuk apa kita melakukan revolusi?”

Kata-kata Ki Hajar mencerminkan pesan yang kuat bahwa Indonesia, melalui perjuangan para pahlawan, harus bangkit dan berjuang untuk mewujudkan kemajuan dan kejayaan bangsa. Ki Hajar Dewantara dengan tegas menekankan bahwa transformasi dan inovasi dalam bidang kebudayaan dan pendidikan menjadi suatu keharusan.

Pendidikan sekarang tidak lepas dari sejarah persekolahan di Indonesia. Pendidikan yang dinilai mulia secara etis dipertahankan, yang buruk diperbaiki, dan yang sudah baik ditingkatkan.

Harapannya jelas, yakni agar benih-benih pendidikan nasional yang telah ditanam oleh para tokoh pendidikan nasional dapat tumbuh dan berkembang, menjadikan bangsa Indonesia semakin besar dan beradab.

Kurikulum nasional menjadi sarana untuk mencapai profil pelajar Pancasila, di mana anak-anak muda dapat tumbuh dan berhasil melalui pendidikan, membawa harapan untuk masa depan yang lebih berkualitas prima. Semua upaya tersebut merupakan bagian integral dari perjuangan untuk membangun Indonesia yang semakin maju dan jaya.

Odemus Witono
Odemus Witono
Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral STF Driyarkara, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.