Senin, Oktober 7, 2024

Janji Manis Penyelesaian HAM

Samuel
Samuel
Penulis ialah yang suka memasak. Kadang minum kopi dan menulis.

Setiap memasuki bulan September, negeri ini selalu dibangkitkan dengan memori tentang sebuah tragedi kelam yang terjadi sekiranya 55 tahun silam.

Peristiwa diawali dengan terbunuhnya enam jendral dan satu perwira Angkatan Darat pada malam 30 September di Lubang Buaya, memicu tragedi kemanusiaan terburuk pernah terjadi di negeri ini.

Pertarungan ini berlangsung pada soal akan kemana Indonesia dibawa setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pertarungan itu semakin tajam tahun 1960-an. Dua kubu tumbuh sama kuatnya, saat itu: kubu pertama dipimpin secara ideologis oleh Sukarno yang menginginkan Sosialisme ala Indonesia, sementara kubu lain dipimpin oleh elemen militer yang menginginkan Indonesia berkiblat ke Kapitalisme.

Total korban tragedi 1965 hingga saat ini masih simpang siur. Merujuk Komisi Pencari Data yang bentuk oleh Sukarno di bulan Desember 1965 menyebutkan jumlah korban berkisar 80 ribu jiwa. Tetapi, Sukarno tidak yakin dengan jumlah itu, sehingga dia menanyakan kepada anggota tim Oei Tjoe Tat, mengatakan jumlah korban hingga lima sampai enam kali lipat. Sama halnya dengan kutipan buku Gerakan 30 September oleh Julius Pour.

Sementara, laporan dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) pada 23 Juli 2012 menetapkan bahwa setelah tragedi 30 September 1965 merupakan pelanggaran HAM terberat. Dengan jumlah korban menurut Komnas HAM mencapai 500 ribu sampai 3 juta jiwa.

Mulai tahun 2002 silam, Komnas HAM sudah menyerahkan berkas terkait pelanggaran HAM 1965 bersamaan dengan delapan kasus pelanggaran HAM lainnya ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.

Kedelapan kasus lainnya seperti: peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, persitiwa Talangsari 1989, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Semanggi I 1998 dan peristiwa Semanggi II 1999, Peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.

Pun Komnas HAM menyerahkan tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh untuk lebih lanjut diproses oleh Kejaksaan Agung, seperti kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA, serta kasus Rumah Geudong yang diserahkan sepanjang periode 2017-2018.

Naasnya, berkas-berkas tersebut dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM, dengan dalih bahwa berkas yang diserahkan oleh Komnas HAM tidak memenuhi persyaratan formil dan materil. Sehingga, jika dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung akan mempersulit penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti yang kuat.

Sedangkan, kita ketahui bersama bahwa kasus pelanggran HAM berat memiliki payung hukumnya yang dapat dilakukan melalui pengadilan Ad Hoc, sebagaimana tertuang di Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang peradilan Hak Azasi Manusia. Namun, setelah beberapa pergantian rezim di era Reformasi, kianpun proses tak urung berjalan.

Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan bekerja sama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) menyelenggarakan kegiatan simposium nasional yang membahas Tragedi 1965 dengan pendekatan kesejarahan.

Hasil dari simposium nasional tersebut mengerucutkan bahwa penyelesaian tregedi ini sebaiknya melalui rekonsialiasi nonyudisial. Disampaikan oleh Gubernur Lemhanas, Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo.

Tembakan hasil dari simposium tersebut, ditahun 2015 Jokowi mewacanakan untuk membentuk Komite Rekonsiliasi, dengan berbagai elemen didalamnya seperti, Kejaksaan Agung, TNI, Polri, Badan Intelijen Negara, Kementerian Hukum dan HAM, serta Komnas HAM. Akan tetapi Komite Rekonsialiasi tak berjalan.

Kembali di tahun 2016, Pemerintahan Jokowi membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN), dengan salah satu tugasnya menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pun kembali lagi agenda ini tidak terwujud.

Setelah kembali Jokowi terpilih untuk yang kedua kalinya, harapan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih sebatas narasi. Padahal jika merujuk pada poin kampanye Jokowi-KH Ma’ruf Amin yang akan melanjutkan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Tetapi, jika merujuk pada visi dan misi pasangan ini masih sumir, hal ini disebabkan tidak adanya poin penjelasan secara konkret langkah apa yang bakal ditempuh untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga masih abu-abu. Belum lagi, ketika menempatkan Prabowo sebagai Menhan. Padahal yang dulu katanya aktor pelanggar HAM berat. Nah, loh.

Pun juga kita melihat saat ini gejolak ketidaksepahaman rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa terkait pergeseran perlindungan HAM, seugiahnya merupakan tuntutan kepentingan moral, bukan politik. Hampir setiap hari menyatakan ketidaksepahaman melalui unjuk rasa, dengan berbagai kebijakan maupun RUU yang kontroversial.

Sederhananya, rakyat tidak semudah itu terima jika koruptor jadi mengakar melalui poin UU KPK terbaru, hak atas tanah (agraria) dikuliti, hak mengutarakan pendapat dibatasi, dan hak lainnya diatur sedemikian konyol. Jika mereka lantas mengatakan tuntutan saat ini tidak memahami RUU, apakah mereka (DPR) semua memahaminya?

Ya, kita akui aksi yang terjadi baru-baru ini sebagian berujung pada kerugian fisik (materil), baik yang dilakukan oleh aparat maupun demonstran. Lantas apakah perjuangan reformasi 1998 jauh berbeda secara kepentingan dengan keadaan saat ini? Tentu tidak.

Memang begitu dilemanya pemerintah saat ini. Karena membaurnya kepentingan antara Jokowi, partai politik (pemenang) dan juga penolakan RUU oleh sebagian besar rakyat. Disatu sisi intervensi kepentingan yang bergulir dilingkaran penguasa, memaksa perlindungan terhadap diri masih menjadi agenda utama.

Padahal, narasi revolusi mental yang sempat populer dimasalalu, redup ditutupi oleh nafsu pembangunan fisik yang berimbas pada investasi semata. Pun hal ini tidak jauh beda dengan pelanggaran HAM dimasa lalu, walaupun dengan pola yang berbeda jika menilik RUU yang dominan pincang.

Kita tidak tentu ingin bertumpuknya pelanggaran HAM yang kian tidak terselesaikan. Belum lagi, nyawa mereka dimasa lalu masih menjadi hutang negara dalam proses pertanggungjawaban.

Seperti halnya yang terjadi baru-baru ini, terbakarnya gedung Kejaksaan Agung. Padahal, tanpa “terbakar” pun gedung tersebut, soal dokumen pelanggaran HAM masa lalu tak bakal menemukan kepastian hukum juga.

Mungkin mereka secara terpaksa bisa memaafkan, akan tetapi masih begitu mustahil untuk melupakan. Jangan ada kata peluang, kini yang bisa mengulang kekejaman masa lalu dengan begitu tidak berharganya jutaan nyawa.

Sebagaimana, “Kepentingan politik tak akan bisa membendung rasa kemanusiaan, dan air mata ialah bahasa paling jujur atas rasa kemanusiaan itu sendiri”.

Samuel
Samuel
Penulis ialah yang suka memasak. Kadang minum kopi dan menulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.