Sabtu, April 27, 2024

Jalan yang Lurus Menurut Aristoteles

Alif Raya Zulkarnaen
Alif Raya Zulkarnaen
Seorang mahasiswa Universitas Indonesia.

Dalam era ini, kita dengan mudahnya condong ke satu sisi: baik dan buruk, benar dan salah. Contoh saja, dalam media sosial ketika–sebut saja–sebuah negara “R” menyerang negara “U”, netizen seluruh dunia langsung menyerukan dukungan mereka untuk negara R atau negara U. Pendukung negara R dan U saling mencerca satu-sama lain, padahal sebenarnya tidak ada sisi yang seratus persen benar.

Atau  misalnya, ingatkah kita dengan Pemilihan Presiden 2019? Indonesia seakan-akan terpisah menjadi dua kutub yang berlawanan, antara para “cebong” dan “kampret”. Banyak cerita mengenai bapak dan anak saling memisahkan diri satu sama lain karena mendukung kubu yang berbeda. Intinya, masyarakat kita–bukan hanya Indonesia, tetapi masyarakat seluruh dunia saat ini mudah sekali terpolarisasi antara satu ekstrim atau ekstrim lainnya; antara anda seorang “cebong” atau “kampret”; “kiri” atau “kanan”; “sini” atau “sana”.

Lalu, antara kedua kubu yang saling berlawanan ini, antara “sini” atau “sana”, siapakah yang benar?

Bagi Aristoteles, tidak keduanya.

Sang Guru Perdana

Aristoteles (384-322 SM) tidak perlu diperkenalkan lagi. Filsuf Yunani ini menjadi rujukan dalam banyak bidang ilmu pengetahuan, dan pemikirannya menjadi rujukan bagi banyak filsuf, dari Ibn Rusyd sampai Karl Marx. Guru bagi Alexander Agung, Aristoteles sampai dijuluki sebagai “the master of those who know” (guru bagi mereka yang tahu) dan dalam dunia Islam, ia disebut sebagai al-mu’allimul awwal (sang guru perdana).

Sang Guru Perdana juga lahir dalam keadaan yang terpolarisasi. Saat itu, Makedonia sedang berperang melawan negara-negara di Yunani selatan seperti Athena dan Sparta. Makedonia yang berasal dari utara dianggap barbar oleh para negara Yunani, memperkuat perasaan “sini” (negeri Yunani) melawan “sana” (barbar Makedonia). Aristoteles sendiri lahir dan tumbuh di Makedonia, tetapi ia kemudian merantau ke Athena. Bisa dilihat bahwa Aristoteles sendiri adalah gabungan dari “sini” dan “sana”; kadang, status unik ini membuat Aristoteles sering diminta untuk menjadi jembatan antara Makedonia dan Yunani.

Selain itu, ketika di Athena, Aristoteles belajar di Akademi yang dibentuk oleh seorang filsuf yang sama terkenalnya, yakni Plato. Aristoteles terkenal tidak takut berseberangan pendapat dengan Plato atau intelektual-intelektual lain, dan berulang kali dalam karya-karyanya, Aristoteles sendiri tidak jarang mengkritik Plato. Hal ini digambarkan dalam perkataan amicus Plato, sed magis amica veritas; “temanku Plato”, katanya, “tapi aku lebih berteman dengan kebenaran.” Meskipun begitu, Aristoteles tidak pernah mencerca Plato maupun filsuf lain, dan menyebut mereka dengan hormat dalam karya-karyanya.

Salah satu karyanya adalah Etika Nikomakea. Dalam karya tersebut, Aristoteles membahas tentang apa tujuan utama (telos) kita menjadi manusia. Tujuan ilmu kedokteran adalah kesehatan, dan tujuan dari ilmu perang adalah kemenangan; tapi apa, sih, tujuan dari kesehatan atau kemenangan?

Aristoteles berpendapat bahwa di ujung dari tujuan-tujuan tersebut dari A ke Z, jika tujuan A adalah B, tujuan B adalah C dan seterusnya sampai akhir, kita akan menemukan telos, tujuan utama. Bagi Aristoteles, telos dari manusia adalah eudaimon, suatu kebahagiaan yang menyeluruh. Gak salah kan? Misalnya seseorang ditanya, “Kenapa anda ingin sehat?” pasti ia jawab, “Ya, karena saya bahagia ingin saya sehat.” Kalau ditanya lagi, “Kenapa anda ingin bahagia?”, pasti ia menganggap anda orang gila. Mau bahagia ya karena orang pasti mau jadi bahagia! Itulah maksud telos.

Eudaimon sendiri tidak hanya bermakna bahagia saja, tapi bahagia yang menyeluruh. Anda senang saat makan malam ayam goreng, disertai tempe, sambal, kremesan dan tahu, tetapi kalau anda masih berpikir “Ah, kurang lalapan!”, anda merasa makanan anda belum komplit: maka makan malam anda bukan eudaimon! Kalau anda berkecukupan materi, anak-anak sudah tumbuh besar, tetapi merasa masih ada yang  ngeganjel, anda belum sampai eudaimon!

Aristoteles kemudian berpendapat bahwa orang yang eudaimon adalah orang yang sudah sesuai dengan kebaikan (arete). Misalnya, seorang koki amat jago, amat baik (arete) dalam memasak, maka dia adalah koki yang baik: sama halnya dengan seseorang manusia yang sudah amat baik dalam “bermanusia”, ia menjadi manusia yang baik, dan dengan itu, manusia yang eudaimon. Karena itu Aristoteles justru mempelajari arete.

Disinilah konsep utama kita disebut: arete, menurut Aristoteles bersifat mesotes, di tengah-tengah. Aristoteles mengamati bahwa arete sebenarnya terletak antara dua ekstrim; jika seseorang terlalu penakut ia adalah seorang pengecut, tapi kalau terlalu berani ia gila: orang yang ada di tidak penakut tapi tidak terlalu berani adalah orang bijak. Arete terletak pada titik tengah dua kubu yang saling berlawanan; kadang, dalam satu ekstrim kita terlalu banyak dari suatu hal, sedangkan di sisi lain, kita kurang hal tersebut. Menemukan titik tengah yang baik, kemuka Aristoteles, adalah inti dari arete.

Jalan yang Lurus Menurut Aristoteles

Konsep mesotes terkesan begitu simpel, dan bahkan tidak begitu eksklusif. Di Tiongkok pada waktu yang hampir sama, para filsuf Konghucu menggagas ide zhongyong yang konsepnya sama dengan mesotes, sedangkan pada Islam sendiri, konsep mesotes sama dengan konsep wasathan, yaitu keadilan, keseimbangan. Tetapi, kalau konsep mencari titik tengah begitu simpel, kenapa terbukti bahwa kita sebagai umat manusia tetap saja tidak bisa menerapkannya? Malah kita menarik garis, saya “sini” dan anda “sana”, padahal kita sendiri tidak bisa yakin siapa yang benar dan bahagia, memiliki kebenaran yang komplit.

Mungkin saja posisi unik Aristoteles sebagai jembatan antara Makedonia dan Athena menyadarkannya bahwa kebenaran tidak berada di antara “sini” dan “sana”. Teman maupun lawan sebenarnya ada benar dan salahnya: karena itu ia berani mengritik gurunya Plato kalau salah, tapi itu pun tetap dilakukan dengan hormat, karena Plato pun masih ada benarnya. Salahnya Plato, Makedonia dan Athena ia buang, tetapi kebenaran mereka ia simpan dan kembangkan; dengan begitu Aristoteles berada tepat di tengah, di posisi arete. Lihat saja dalam foto yang di atas, Aristoteles menunjuk lurus ke depan, bukan kiri maupun kanan!

Untuk mas-mba netizen pendukung negara R maupun U, “kampret” maupun “cebong”, orang “sini” atau “sana”, cobalah anda lihat seberang anda, cari yang benar, buang yang buruk. Jangan betah berdiri di satu ujung: barangkali anda gak bahagia-bahagia gara-gara itu!

Referensi 

Kenny, Anthony. Aristotle. “Aristotle’s Ethics : Writings from the Complete Works – Revised Edition”, Princeton University Press (2014). ProQuest Ebook Central

Ross, David. “Aristotle”, Taylor & Francis Group (1995). ProQuest Ebook Central

Höffe, Otfried. “Aristotle”, State University of New York Press (2003). ProQuest Ebook Central

Alif Raya Zulkarnaen
Alif Raya Zulkarnaen
Seorang mahasiswa Universitas Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.