Oleh: Tim Rumah Daulat Buku (RUDALKU)
Kristianto tumbuh dari keluarga yang menghormati perbedaan. Saat bekerja di perantauan, ia sempat terjerembab ke dunia judi dan narkoba. Kini, ia bergerak di dunia pencerahan intelektual melalui gerobak motor siomay literasi kelilingnya.
“Nama Kristianto biasanya kritikus atau ilmuan ya?!” ujar Kristianto saat memperkenalkan nama dirinya. Tapi, ada Kristianto yang memiliki peran mulia: berdagang sambil memberi pencerahan melalui bacaan.
Dialah Kristianto yang memiliki pengalaman menghuni Lapas Cipinang kemudian memilih profesi sebagai penjual siomay keliling di wilayah Sukoharjo sambil membawa bacaan untuk anak-anak atau siapa pun yang berminat. “Saya biasa simpan bacaan di box sisi kanan tempat siomay,” ujar Kristianto menunjuk motornya yang sudah siap berjualan keliling. “Saya simpan di dalam. Kalau ada anak-anak, saya keluarkan. Kalau sore di desa Gumpang itu banyak anak-anak. Mereka senang membaca cerita detektif conan.”
Sosoknya kini memilih menjadi jihadis literasi, berjihad melalui bacaan, melaksanakan perintah Allah “Iqro!” bacalah! Selain berkeliling, Kristianto juga sudah merancang sebuah lokasi dagang khusus di sebuah kompleks pertokoan di dekat pusat pemerintahan Kota Solo yang ada sudut baca.
Kristianto tidak menampik bahwa dalam Islam ada ajaran jihad secara fisik. Tapi, jihad secara fisik yang bertujuan membantu agama Allah terikat konteks. Dalam kondisi damai, ia berpandangan, menjadi marbot rumah ibadah juga sudah membantu agama Allah, tidak harus perang. “Jihad tertinggi memang qital, berperang, tapi sekarang bukan waktunya.”
Anak Kejawen Ikut ke Masjid
Kristianto lahir di Kota Solo, 23 Oktober 1977 dari orang tua yang bertoleransi. Meski Hadi Sunaryo sang bapak seorang kejawen dan ibunya Suliyem penganut aliran kepercayaan tapi keduanya memberi kebebasan kepada anaknya untuk memeluk keyakinan. “Bapak pernah bilang, ‘Le, kowe arep dadi milu agama opo? Katolik opo Kristen ning gerejo, Hindu ning puro, nek Islam ning masjid. Sak karepmu’,” ujar Kristianto meniru ucapan sang ayah. (Nak, kamu mau ikut agama apa? Katolik atau Kristen ibadahnya gereja, Hindu di pura, kalau Islam di masjid. Terserah kamu).
Kristianto tinggal bersama orang tua dan seorang kakak perempuan di kampung Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Bapak-ibunya berasal dari luar Solo, sang bapak berasal dari Karang Pete, Salatiga, sementara ibunya dari Gunung Kidul, Wonosari, Yogyakarta. Keduanya sama-sama merantau, lalu menikah dan menetap di Solo. “Bapak punya dua istri, dan saya lahir dari istri kedua.”
Teman-teman sepermainan Kristianto berjasa membawanya menjadi seorang muslim. “Karena di lingkungan saya banyak yang Islam, saya ke masjid. Ke masjid pun ikut-ikutan,” ujar Kristianto. Melihat anaknya suka ke masjid, sang bapak membuatkan padasan dari tong untuk berwudu. “Kedua orang tua saya tidak sholat, meskipun di kolom KTP tertulis Islam. Emak saya, kalau ada hujan, membaca mantra Jawa,” ujar Kristianto.
Saat kanak-kanak, Kristianto lebih senang berada di rumah, malam hari baru pulang. Sang bapak tidak keberatan dengan sikap dirinya, tapi menyampaikan pesan agar tidak berbuat nakal. “Le, ojo aneh-aneh. Orang tua milu gatut. Orang tua rak ngerti opo-opo, kalo ada anaknya di luar nakal, ditanya anake sopo toh?” ujar sang bapak yang masih diingat Kristianto. Kristianto pun mengikuti nasihat bapaknya. “Saya tidak suka bertengkar, minum pun tidak suka.”
Selain belajar di SDN Wiropaten 1, Kristanto juga belajar di Madrasah Al-Fajar pada sore harinya. Namun, di sekolah madrasah terkadang ia masuk kadang tidak. “Kalau ada iming-iming, ‘nanti dapet buku’, datang. Akhirnya, di SD ia lulus, sementara di madrasah tidak.
Dari Solo ke Madura
Setelah menjalani masa kanak-kanak hingga tamat sekolah dasar, Kristianto pindah ke Madura ikut kakak sepupunya. Kepindahan itu atas keinginan bapaknya yang berprofesi sebagai pengayuh becak yang tetap ingin anaknya bersekolah. “Ikut kakakmu,” ujar bapaknya kepada Kristianto.
Di Madura, Kristianto memiliki kakak sepupu perempuan yang usianya lebih tua lima tahun dengan sikap beragama yang sama dengan bapaknya yang kejawen. Ia tinggal di Perumnas Kamal, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan. Ia melanjutkan sekolah di SMPN 1 Kamal.
“Saya bersyukur bisa sekolah di Madura. Belajar agama di sekolah dan dari orang-orang Madura yang agamis,” ujar Kristianto. Saat di Madura-lah ia bisa melafalkan bacaan shalat dan shalatnya mulai tertata.
Kristianto merasakan di Madura belajar agama seperti sebuah kewajiban. Bahkan, kalau nilai pelajaran agama jelek, ia diomeli oleh guru dan diperingatkan bisa tidak lulus. Praktik ibadah merupakan keharusan. Jumatan juga wajib di sekolah. “Pada akhirnya saya membiasakan diri. Kalau tidak sholat bingung, kok ada yang kurang. Saya mulai terikat. Hingga merasa ibadah seperti kebutuhan,” ujar Kristianto.
Kembali ke Solo Lalu ke Jakarta
Setelah tiga tahun dan menamatkan SMP di Madura, Kristianto kembali ke Solo, ikut orang tua, dan bersekolah di SMEA Cokroaminoto 1, jurusan akuntansi. Memilih akuntansi ketimbang manajemen karena Kristianto suka pembukuan. “Dulu ingin sukses, punya usaha, jadi direktur, angan-angan, hahaha,” ujar Kristianto sambil tertawa.
Setelah lulus SMEA pada 1997, Kristianto berkeinginan merantau ke Jakarta. “Dalam hati saya kepingin kerja di Jakarta, tapi tidak punya koneksi, kurang bergaul,” ujar Kristianto. Suatu waktu, Pak Dikin, tetangga yang sudah ia anggap sebagai saudara datang bawa tas, lalu ia tanya, “Mau kemana?” Dia jawab, “Jakarta, kerja.” Keinginan Kristianto pun terkabul. Sore itu juga ia berangkat bersama Pak Dikin ke Jakarta.
Di Jakarta ia bekerja di sebuah optik di Duren Tiga, Jakarta Selatan, milik seorang pengusaha keturunan Arab asal Solo. “Selama bekerja di Jakarta, saya tidur di toko,” kisah Kristianto. Setelah enam bulan di Jakarta, ia lalu kembali ke Solo.” Di Solo ia bekerja di Pasar Klewer, di kios sepatu sandal milik orang Arab. Setelah itu, ia berjualan es teh pinggir jalan dan pernah pula berjualan jagung bakar.
Terjebak Narkoba Sebelum Menikah
Saat itu, sebetulnya Kristianto berniat ingin menikah. Tapi, ia belum bertemu jodoh. Hampir setahun. Pada akhir 1998, ia kembali bertemu dengan Pak Dikin. “Mau kemana?” tanya Kristianto. “Surabaya,” jawab Pak Dikin. Malam itu bertemu, malam itu pula berangkat ke Surabaya. Di Surabaya, ia bekerja di klinik pengobatan mata dan wasir milik seorang pungusaha asal Pakistan di Jalan Kapas Kerampung, Kenjeran, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.
Sayangnya, di Kota Pahlawan itu Kristianto terjebak dalam lingkungan yang tidak baik. Bukan lingkungan jauh, tapi di klinik sendiri. Ia bersama rekan-rekannya, termasuk sang bos, bermain judi dan mengonsumsi narkoba. Di awal-awal masih shalat, tapi lama-kelamaan meninggalkan shalat. “Saya mengonsumsi shabu, sampe badan kurus.”
“Lama-kelamaan, saya stres,” ujar Kristianto. Kepada diri sendiri ia bertanya, “Apa sih yang saya cari?” Beruntung ketika itu ia punya teman warga setempat yang sering main ke klinik. “Waktu saya curhat, jawabannya bagus.” Kristanto curhat: “Capek nih.” Rekannya bilang: “Rabiyo!” (Nikahlah!). Kristianto menimpali: “Rabi karo sopo?” (menikah dengan siapa?). Kristianto belum punya rencana menikah karena tidak punya teman wanita. Rekannya bilang: “Ya sholato, tahajud!” (Salatlah, tahajud!).
Kristianto merasa, Allah yang menuntun rekannya itu untuk menasihati dirinya. “Dia asli Madura. Pernah bekerja di diskotek Kwaloon , Surabaya.” Atas nasihat rekannya itu, Kristianto mulai menjaga diri dari konsumsi narkoba, lalu shalat tahajud.
Sebelum dinasihati oleh rekannya itu, Kristianto pernah liburan ke Madura. Saat itu ia bertemu dengan seorang teman perempuan saat SMP yang juga tetangganya di Madura. “Saya bilang, gole’no aku pacar to.” (carikan aku pacar dong). Waktu ketemu itu Kristianto bicara tidak serius.
Seminggu setelah mengobrol dengan temannya yang pernah kerja di diskotek, teman SMP Kristanto yang saat itu sudah di Malang menelepon. Tahu bahwa teman SMP-nya berada di Malang, Kristianto bilang, “Jarene Malang ayu-ayu (katanya orang Malang cantik-cantik),” canda Kristanto. Si teman SMP itu menjawab, “Katanya cari pacar, ini ada temanku yang mau kenalan.” Kristianto bilang, “Ojo guyon,” (jangan bercanda). “Tenanan iki.” (Ini beneran).
Pada mulanya Kristianto enggan bertemu dengan Sri Winarti, wanita asal Sidoarjo yang kuliah program D3 di sebuah perguruan tinggi di Malang dan memiliki usaha rental komputer, karena ia belum lama lepas dari narkoba. Tapi akhirnya Kristianto memutuskan bertemu Sri Winarti.
Pada 2001 Kristianto-Sri Winarti menikah. Setelah menikah, bersama Sri Winarti, Kristianto tinggal di Malang mengelola usaha rental komputer. Selain usaha rental komputer, ia juga pernah membuka usaha warung internet (warnet).
Penasaran dengan Aksi Pengeboman
Saat mengelola usaha warnet itu, Kristianto belum memahami dinamika dunia Islam. Kala itu ia menggemari video ceramah KH Anwar Zahid yang lucu. “Saya dulu benci jenggot, celana cingkrang. Saya waktu itu gak mau terkotak-kotak,” ujar Kristianto.
Beberapa tahun sebelum bergabung dengan Jamaah Anshorud Daulah (JAD), Kristianto memiliki sikap anti pemerintah karena dalam pandangannya pemerintah itu penuh korupsi dan ketidakadilan. Rasa penasaran Kristianto mulai muncul begitu ada peristiwa pengeboman, beberapa tahun sebelum ada Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Sejumlah peristiwa pengeboman, membuat ia ingin mengetahui apa alasan orang melakukan aksi pengeboman. Ia pun mencari alasan itu melalui internet.
Puncak keingintahuan Kristianto pada saat terjadi krisis Timur Tengah, terutama saat Islamic State in Irak and Syiria (ISIS) mendeklarasikan berdirinya kekhilafahan Islam pada Juni 2014. “Saat 2014 itu, saya sudah googling kemana-mana.”
Saat di Malang ada acara deklarasi khilafah Kristianto penasaran. “Apa sih?” pikirnya kata itu. Ia pun mencari tempatnya, tapi tidak menjumpai. Ia tahu bahwa saat itu belum ada JAD, yang ada FPI, MMI, Al-Muhajirin, NII. Organisasi-organisasi tersebut kemudian sepakat bergabung di JAD. Mulai mendengar nama Ustadz Romli.
“Ketika deklarasi khilafah di 2014 itu, saya belum kenal dekat dengan Ustadz Romli,” ujar Kristianto. Perkenalan Kristianto dengan Ustadz Romli karena putri pertamanya yang belajar di Pesantren al-Ikhlas asuhan Ustadz Faiz (alm). Di pesantren itu pula putri Ustadz Romli belajar. Kristianto pun bertemu Ustadz Romli di pesantren itu. Setelah kenal, ia main ke kediaman Ustadz Romli. “Saya penasaran ingin tahu,” ujar Kristianto. Dari situ mulai, ia diajak mengaji di kediaman Ustadz Romli. “Waktu itu belum banyak orang, baru ada 4 orang, kadang di tempat Pak Romli, kadang di tempat saya.”
Ustadz Romli, cerita Kristianto, sebelumnya sudah ikut pengajian online al-Muhajirin yang ustadznya adalah Ustadz Aman Abdurrahman. Saat itu, Kristianto mulai aktif, dan ikut i’dad fisik dan i’dad imani dengan mengikuti dauroh-dauroh (pelatihan-pelatihan) dan halaqoh. Kristianto pertama kali ikut i’dad fisik di Gunung Panderman, di Batu, Malang. Ia hanya ikut i’dad fisik, tidak tadrib askari. “Kalo tadrib itu untuk askariah (militer). Untuk umum, i’dad saja. Untuk dakwah beda lagi. Ada tadribnya sendiri untuk masalah keilmuan.” Ia sempat ditunjuk menjadi anggota askari, tapi menolak. “Naik gunung saja napasnya pedot,” ujar Kristianto.
Cerita Amir JAD
Pada 14 Januari 2016 terjadi pengeboman di Jalan Sarinah, Tamrin, Jakarta. Dari peristiwa itu merembet ke mana-mana, banyak penangkapan, termasuk anggota JAD di Malang. “Anggota JAD Malang yang dibawa enam orang, termasuk Pak Romli. Ada yang dibebaskan 1 karena orang baru. Terus kosong,” ujar Kristianto.
Setelah kosong, Abu Umar Blitar, amir JAD Jawa Timur, mengangkat Kristianto untuk menjadi amir JAD Malang. Suatu hari Abu Umar datang ke tempat Kristianto. “Ikut saya ke Probolinggo,” ajar Abu Umar. Saat itu di Probolingga ada acara pertemuan JAD se-Jawa Timur. Saat acara itulah Kristianto ditunjuk menjadi amir JAD Malang. Meski ia menolak, akhirnya menerima karena alasan tidak ada anggota yang lain kecuali Kristianto.
Setelah menjadi amir, Kristianto kembali ke Malang. Ia melakukan aktivitas seperti biasa. Saat itu aktivitas ekonominya adalah menjual tahu frozen. Ia juga mengelola taman baca Al-Quran. Sementara itu, JAD Malang memiliki sejumlah program, di antaranya membangun ekonomi keluarga anggota yang ditangkap. “Memberdayakan umahat (para istri) agar punya usaha sendiri. Melakukan pelatihan bekam; yang bisa mengajari yang belum bisa,” ujar Kristianto. “Dapat uang bisa untuk diri sendiri dan untuk membantu yang lain.” Kristianto menjelaskan bahwa plihan mendirikan usaha itu yang dapat dilakukan karena sulit mendapatkan peluang bekerja. Tapi, program tersebut belum sempat berjalan.
Kristianto protes dengan kepemimpinan Abu Umar yang sering ke Malang—karena memiliki dua dari tiga istrinya tinggal di Malang—tanpa melibatnya dirinya ketika ada santunan untuk umahat yang suaminya di penjara. “Ini daerah saya, Malang, kenapa gerak sendiri. Saya amir Malang. Malang ya Malang, Jatim ya Jatim. Fungsi saya apa?” gugat Kristianto. Dirinya pun menolak ditarik infak. “Kalau saya tidak dipercaya, kenapa saya dijadikan amir.”
Hijrah itu keinginan. Cita-cita. Suriah, tempat para nabi. Meninggal di sana bagus, luar biasa. Saya sih anggap ini rejeki, kalau memang bisa ke pergi dan tinggal di sana. Persiapan apa yang dilakukan. Pasport saja tidak punya.
Duh, Abu Halim!
Serangkaian bom meledak di Surabaya dengan sasaran gereja pada Mei 2018. Kristianto kenal dengan salah seorang pelaku yang biasa sapa Abu Halim bersama anak dan istrinya. Ia mengenal Abu Halim saat ada acara di Surabaya. “Semula saya tidak percaya. Ah, bukan. Besoknya saya ke warnet melihat foto pelaku. Duh, Abu Halim.”
Polisi kemudian melacak orang-orang yang terkait dengan pengeboman gereja di Surabaya itu. Amir-amir semua ditangkap karena dianggap ikut bertanggung jawab secara struktur atas kejadian bom Surabaya. Polisi bilang, “Sebelum terjadi, ditangkap dulu. Kamu nanti dijadikan pengantin.” Kristianto menjawab sambil berseloroh, “Alhamdulillah, kalo ada perempuan baru.”
Selain kenal dengan Abu Halim, Kristianto juga kenal dengan Budi Satria, anggota JAD asal Surabaya yang ditembak mati oleh polisi. Kristianto mengenal sosok Abu Halim sebagai seorang amir Surabaya yang memiliki sikap keras.
Kristianto ditangkap pada hari Selasa. Saat itu ia hendak mengantar pesanan tahu ke pemilik warnet langganannya. Selain membawa tahu, ia juga membawa kurma dan madu karena saat itu hendak memasuki bulan Ramadhan. “Jam 9-an pagi saya keluar rumah, pamit sama istri. Suasana sepi,” ujar Kristianto. Saat di pertigaan jalan ia ditangkap. “Saya sempat melawan, lalu tulang rusuk saya dipukul.” Pukulan ke tulang rusuk itu membuat Kristianto lumpuh tak berkutik.
Setelah penangkapan, ia dibawa ke Polres Malang lalu ke Mako Brimob Malang. “Mata saya ditutup lakban.” Setelah itu, ia dibawa ke Mako Brimob Surabaya untuk dilakukan penyidikan.
Cipinang Memberi Kesadaran
Statusnya sebagai anggota JAD sejak 2014, mengikuti dauroh (pelatihan) dan halaqoh (pertemuan), pernah baiat kepada pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, serta statusnya sebagai amir JAD Malang, membuat Pengadilan memvonis Kristianto dengan hukuman penjara tiga tahun emam bulan.
Kristianto melihat, di JAD para ikhwan berbeda pemikiran. “Ada yang punya pemikiran pokoknya aku mau hijrah, tidak mau di sini, apalagi melakukan teror. Ada juga yang berpemikiran, di sini sudah negeri perang, dengan mencontoh ketika Andalusia jatuh, wajib qital.”
Kesadaran Kristianto muncul saat ia berada di Lapas Cipinang. Ia banyak belajar dari rekan sesama ikhwan. “Saya ketemu pertama kali dengan seseorang, pasti baiknya doang. Jika ingin tahu semuanya, duduklah bareng,” ujar Kristianto. Pada awalnya, ia bersikap keras. “Di dekat saya ada lambang garuda Pancasila, gak mau saya. Terus ada petugas meminta saya membaca Pancasila, saya tolak, dan meninggalkan tempat tersebut.”
Setelah sekian lama hidup satu kamar, satu blok, ia melihat baik-buruk sesama ikhwan. Ada kebaikan yang bisa ia teladani. Ada keburukan yang membuka sifat kemanusiaan rekannya. “Masalah makanan atau air minum sama saudara sendiri berantem, gak sabar,” tutur Kristianto. “Kalau cita-citanya bagus, lurus, gak begini. Di penjara ya terima, diam, mengaji, gak perlu meributkan yang aneh-aneh.” “Ada yang bilang gak boleh baik sama sipir. Ada pula yang pinjam hape sama sipir untuk menelepon keluarga.”
Kristianto satu kamar pada amir termasuk dengan Abu Umar, amir JAD Jawa Timur. “Abu Umar belum NKRI, tapi sudah lunak, bisa diajak ngobrol.” Ia juga terkesan dengan sosok rekannya yang pernah satu kamar yang ia kira keras, yakni Irfan asal Probolinggo. Setelah mengobrol, Kristianto merasa Irfan layan menjadi teman diskusi. Saat para ikhwan mendapat buku dari BNPT, ada yang tidak mau baca, menyobek, membuat, atau membakar, tapi ia dan Irfan menyimpan untuk dibaca. “Meski ada yang bilang, jangan dibaca, nanti terpengaruh. Tapi, pikiran saya saat ini, kalau pengaruh baik, ya tidak apa-apa.”
Saat membaca buku dan menemukan hal-hal penting, Kristianto mencatatnya. Saat ada yang berpandangan bahwa thogut digambarkan seperti sikap raja firaun, maka ia bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Presiden mengaku dirinya sebagai tuhan.
Saat ada tawaran menjadi justice collaborator (JC), Kristianto bertanya maksudnya, “Apakah menjadi mata-mata?” Jika itu yang dimaksud, ia merasa tidak mungkin dirinya menjadi JC karena semua rekannya sudah tertangkap; apa yang mau dibongkar. Tapi, saat disidik ia kooperatif dan menjawab tidak bertele-tele. Akhirnya, permohonan JC-nya disetujui, dan mengurangi masa hukumannya. Selain JC, pengajuan pembebasan bersyarat (PB)-nya pun disetujui. Akhirnya, dari vonis 3,5 tahun, ia menjalani hukuman 2,5 tahun.
Berwirausaha Sembari Berliterasi
Setelah bebas pada November 2020, Kristianto memilih tinggal di Sukoharjo dengan aktivitas wirausaha siomay. Selain membina keluarga bersama Sri Winarti yang sudah dikaruniai tiga orang buah hati, yakni Farah Hasanah Kristianto, Syafira Zarifa Kristianto, dan Shobri Mursayi, Kristianto juga menikah lagi membina rumah tangga dengan Yulianti, pada 2020.
Pada awalnya, ia lebih sering tinggal di desa Siwal, Sukoharjo, bersama Sri Winarti. Tapi, karena Sri Winarti sudah mandiri, ia pun lebih sering tinggal bersama Yulianti di dusun Krampakan, kelurahan Mayang Kartasura, Sukoharjo.
Kini hari-harinya yang dilalui berjualan keliling menjajakan ‘siomay literasi‘, Kristanto bertekad untuk mewarnai hidupnya bersenyampang dengan pengabdian. Walau hanya semampu yang dia bisa lakukan, Hidup hanya sekali dan harus berati, setelah itu mati. Keterlibatan Kristanto dalam jaringan literasi Rumah Daulat Buku (Rudalku) membuatnya kembali merasakan hidup lebih bermakna.
Dia sadar inilah ladang jihad barunya untuk bertekun menghidupi keluarganya seraya menumpahkan potensi semampunya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Ia berpandangan, bahwa dengan membaca orang bisa tercerahkan. Ya, menjadi “ikhwan rudaller” (sapaan untuk ikhwan yang bergabung bersama Rudalku) memberikan pengalaman baru bagi dirinya. “Meski saya bukan orang yang berilmu, tapi dari pengalaman itu bisa berguna untuk banyak orang.”