Perbincangan mengenai kepolisian tampak menghangat dalam beberapa bulan terakhir. Bukan karena prestasi semata Ia lantas diperbincangkan, melainkan keputusan dan tindak tanduk dari oknum-oknum anggota Polri yang memaksa sejumlah kalangan lantas mempertanyakan sejauh mana komitmen Kepolisian Negara Republik Indonesia menuntaskan agenda reformasi kepolisian sebagai bagian integral dari agenda Security System Reform (SSR).
Terdapat sejumlah persoalan yang memicu keraguan atas komitmen Polri dalam menuntaskan agenda reformasi kepolisian. Pertama, menguatnya posisi Polri di sejumlah institusi-institusi publik, yang kini bermuara pada wacana Dwifungsi Polri. Kedua, kesewenang-wenangan (oknum) kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang tercermin pada tindakan represi dan intimidasi. Ketiga, rencana Wakapolri Gatot Eddy Pramono yang ingin melibatkan preman pasar dalam menangani ancaman Covid-19.
Belakangan ketiga hal tersebut menjadi problem yang mendapatkan perhatian serius publik. Memang kalau diamati dengan saksama, pasca terbitnya UU Kepolisian 2002, muncul banyak kebijakan internal yang senyatanya kompatibel dengan semangat reformasi kepolisian itu sendiri. Mulai dari kebijakan yang berkenaan dengan transparansi, akuntabilitas, integritas, pemberantasan korupsi, dan Hak Asasi Manusia telah dibuat. Namun apalah artinya sebuah kebijakan, jika pada praksisnya tampak ketidak sesuaian antara pikiran dengan tindakan?
Ketidak sesuaian tersebut merupakan anomali bagi institusi kepolisian. Lebih-lebih masih ada upaya-upaya elite predasi tuk mengendalikan dan menguasai kepolisian (baik institusional maupun personalia) demi melanggengkan kepentingan sempit semata. Tak mengherankan kalau melihat reformasi kepolisian tampak cenderung stagnan – untuk tidak mengatakan dekadensi – pasca terbitnya UU Kepolisian 2002.
Sekilas Reformasi Kepolisian
Satu dari enam tuntutan yang didengungkan dalam gerakan reformasi Mei 1998 adalah terkait penghapusan Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Tuntutan tersebut bukan hanya kemauan dari pejuang reformasi maupun masyarakat pada umumnya, melainkan keinginan dari sebagian kalangan di internal kepolisian yang merasa prihatin dengan kondisi lembaga yang kesulitan melakukan transformasi selama berada di bawa naungan Dwifungsi ABRI.
Sekalipun terjadi perdebatan serius dikalangan elite pemerintahan sehubungan dengan agenda tersebut. Namun berkat keberanian presiden B.J Habibie lantas Ia menjawab tuntutan reformasi melalui terbitnya Inpres No. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dan ABRI. Inpres itu kemudian ditindaklanjuti oleh Menhankam/Panglima ABRI dengan menerbitkan Keputusan No: Kep/05/P/III/1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI, pada 31 Maret 1999.
Kendati pemerintahan Habibie tampak responsif mengambil sejumlah langkah-langkah terkait pemisahan Polri dari ABRI. Namun tetapi hingga berakhirnya pemerintahan presiden Habibie, agenda tersebut belum sepenuhnya terealisasi dengan baik.
Mandeknya realisasi agenda penting nan krusial tersebut, sebetulnya tidak terlepas dari kuatnya tarik menarik kepentingan politik di kalangan elite pemerintahan, termasuk di internal Korps Bayangkara. Sebab tidak semua kalangan elite miliki watak reformis. Terlepas dari dinamika kepentingan di tataran elite, yang pasti presiden Habibie telah menanamkan fondasi penting bagi kelangsungan agenda reformasi kepolisian.
Inpres No. 2/1999 itu menjadi landasan konstitusional pemisahan Polri dari ABRI yang secara de jure baru dikukuhkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VI/MPR-RI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yang kemudian diikuti oleh terbitnya Ketetapan MPR No. VII/MPR-RI/2000 tentang peran TNI dan Polri. Berdasarkan TAP MPR tersebut, presiden Abdurachman Wahid lantas merealisasikan lewat Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dengan landasan konstitusional itu, barulah dimasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu secara resmi diundangkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kendati demikian agenda reformasi kepolisian sebagai bagian penting dari Security System Reform, tidaklah berhenti hanya sebatas pemisahan Polri dengan TNI semata. Melainkan harus ditindaklanjuti ke dalam agenda substantif dari agenda reformasi secara keseluruhan demi terwujudnya kepolisian yang demokratis.
Menimbang Ulang Kepolisian Demokratis
Gagasan kepolisian demokratis telah ramai diperbincangkan oleh pelbagai kalangan, mulai dari elite pemerintahan hingga elite kepolisian, akademisi sampai aktivis. Tentu gagasan ini tidak lahir dari bilik yang kosong, melainkan terdapat kausa struktural yang jadi landasan konkret di balik lahirnya gagasan pemolisian demokratis atau democratic policing. Gagasan ini membawa orientasi perlindungan terhadap interest publik dan jaminan serta penghormatan atas HAM.
Kepolisian demokratis membawa konsekuensi inkompatibilitas akan praktik represifitas yang cenderung mengamputasi hak asasi, merendahkan harkat martabat kemanusiaan seseorang atau kelompok, bekerja untuk kepentingan sempit. Dengan lain kata kepolisian demokratis adalah kepolisian yang melindungi serta menjamin HAM, berorientasi kemanusiaan, mengutamakan cara-cara persuasif dan dialogis, berpihak pada kebenaran dan keadilan tanpa merendahkan dan melecehkan harkat martabat kemanusiaan seseorang atau kelompok.
Realisme demokrasi memang sangatlah kontras dengan realisme otoritarian. Karena itu paradigma lama yang cenderung terjebak dalam teror, represi, intimidasi suda sepatutnya ditinggalkan dan beralih ke paradigma yang baru, yakni paradigma pemolisian demokratis. Stigma negatif yang kerap dialamatkan kepada korps Bayangkara, betapapun, tidak terlepas dari kuatnya paradigma masa lalu yang digunakan oknum anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Karenanya Polri harus berani melintasi jalan baru demi membangun legitimasi di hadapan masyarakat.
Ingatan dan trauma sejarah masa lalu masih mengakar kuat dalam benak sebagian masyarakat Indonesia, persisnya sewaktu Polri masih berada dalam rejim Dwifungsi ABRI. Untuk itu komitmen reformasi kepolisian harus ditampakkan tidak hanya sebatas kebijakan internal Polri, melainkan dalam praksis riil pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Seperti ditegaskan Andry Wibowo terbukanya mekanisme kontrol terhadap kepolisian hendak menyempitkan ruang otoritarianisme bagi Kepolisian. Dan democratic policing, menurutnya, menjadi kebutuhan semua orang. Kepolisian memang mempunyai peraturan internal berkenaan dengan hal-hal tersebut. Menjadi problem ketika kebijakan internal itu secara implementasi, tidak berjalan dengan baik.
Sekarang ini tinggal political will dari pemangku kebijakan di internal Polri, apakah akan membiarkan diri larut dalam keputusan dan tindakan yang memantik kontroversi tanpa nilai atau mengembalikan Polri ke khittah reformasi kepolisian demi terwujudnya pemolisian demokratis.