Selasa, April 16, 2024

Iuran Anggota dan Mahar Politik

Wahyu Widodo
Wahyu Widodo
Saya adalah pengajar linguistik di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang. Topik yang menjadi area kajian saya adalah kajian linguistik kebudayaan (etnolinguistik), kajian tuli (deaf studies), kajian pesantren (pesantren studies), dan kajian postkolonial. Tulisan populer saya menggunakan optik dari apa yang saya tekuni selama ini. Alamat akun Facebook saya Wahyu Sri Widodo.

Awal tahun 2018, sebagai tahun politik, ditandai dengan mencuatnya isu ikatan politik yang lazim disebut sebagai mahar politik –kesepakatan antara pimpinan elite partai dengan kandidat kepala daerah untuk memastikan bahwa partai tersebut mencalonkan kandidat yang bersangkutan melalui sejumlah uang sebagai jaminan perikatan. Mengapa hal ini bisa terjadi dan mengusik nalar publik?

Sejak hilangnya tradisi iuran anggota partai, saya menduga kuat bahwa partai politik membutuhkan “uang segar” dari pihak lain untuk mengongkosi kiprah sosialnya melalui program-program politik sebagai pengganti iuran anggota. Merujuk UU no 11 tahun 2008 tentang partai politik disebutkan tiga sumber pendanaan partai politik: iuran anggota, sumbangan perseorangan/lembaga, dan bantuan keuangan negara.

Secara tersirat, iuran anggota ditempatkan pada urutan pertama karena ia akan menjadi pembakar tungku pergerakan yang utama. Melalui tulisan ini saya akan memaparkan secara singkat peran iuran anggota politik dalam memperkokoh marwah gerakan sosial yang diembannya.

Iuran Anggota Partai

Alkisah, H.B. Jassin mengisahkan dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (1992) bahwa ia diajak oleh Nur Sutan Iskandar, pengarang novel Salah Pilih (1928), untuk masuk Parindra (Partai Indonesia Raya). Waktu itu Sutan Iskandar menjabat sebagai sekretaris Balai Pustaka, dan Jassin masih magang sebagai editor di Balai Pustaka.

Jassin mengakui meskipun ia tidak aktif di partai yang dibidani oleh Dr. Sutomo itu, ia rutin membayar iuran partai, yang ia istilahkan dengan “kontribusi setiap bulan”. Cerita lain serupa bersumber dari Almarhum Mbah Muchit Muzadi dalam sejumlah ceramahnya, beliau mengisahkan bahwa dulu memegang kartu anggota NU (Nahdhatul Ulama) mempunyai konsekuensi besar, yakni iuran tiap bulan.

Padahal banyak konstituen NU berada di pelosok pedesaan dan bermatapencaharian sebagai petani.  Dikisahkan pula dalam momentum Deklarasi Marhaenis (Dekmar) pada tanggal 23-26 Maret 1965 di Gelora Bung Karno Jakarta, Ir. Surachman–selaku ketua pelaksana deklarasi Marhaenis; Sekjen DPP PNI pada masa itu–memaparkan pertanggungjawaban kegiatan dekmar tersebut, salah satu hal yang Surachman paparkan adalah penggalangan dana kegiatan tersebut, yang waktu itu dipungut dari iuran anggota dan kerelaan kader PNI-Marhaenis untuk bersusah payah dengan jalan kaki dari sejumlah daerah menuju ibu kota.

Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa “Panitia telah mengeluarkan suatu sjarat bahwa setiap daerah jang mengirimkan peserta-peserta harus mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam pembiajaan perjalanan dan makanan selama berada di Djakarta. Panitya handja menjediakan asrama-asrama dan tenda-tenda lapangan sebagai penginapan-penginapan mereka”.

Ia juga mengatakan ada peserta dari Purwokerto yang berjalan dan mengayuh sepeda berangkat ke Jakarta sejak tanggal 18 Maret 1965. Banyak dokumen sejarah senantiasa membuktikan bahwa kartu anggota sebuah partai dibaliknya tertera iuran rutin anggota tersebut.

Di sini, iuran anggota partai menjadi penting seberapa kecil iuran itu secara nominal ia adalah manifestasi dari kesadaran politik. Iuran itu berfungsi menggerakkan mesin partai. Sejumput ataupun sebenggol iuran itu dilandasi oleh cita-cita yang ditawarkan oleh partai itu dan diejawantahkan dalam laku-gerakan-sosial.

Dana iuran itu lah yang digunakan untuk membakar dan menyalakan tungku pergerakan. Paparan ringkas di atas menunjukkan bahwa pada masa itu iuran adalah wujud artikulasi politik sebagai manifestasi bentuk kesadaran ideologi dan cita-cita perjuangan. Lantas bagaimana dengan kondisi sekarang?

Hilangnya Tradisi Iuran Anggota

Secara sederhana, untuk melihat partai politik atau ormas itu sehat ataukah tidak adalah dengan menyigi dengan saksama: apakah ada iuran rutin yang bersifat sukarela yang dihimpun oleh pengurus partai? Ataukah ada koperasi bersama yang di-inisiasi oleh pengurus partai, yang kemudian keuntungannya digunakan untuk laku-gerakan-sosialnya. Kalau tidak ada iuran–kemudian– partai itu sanggup membiayai dan mengongkosi dalam gerakan sosial, dari manakah sumber dana itu?

Ada kemungkinan partai itu telah dibeli oligarki tertentu sebagai instrumen pelestarian kepentingan dan penjaga modalnya. Kemungkinan lain, ada partai yang besar dari bawah, dan akhirnya sejumlah elitenya membuka negosiasi dengan para pengusaha nakal dan pemodal-pemodal brutal, akhirnya partai tersebut mengongkosi mesin partainya dari uang segar pemodal itu. Kemungkinan besar, perilaku partai politik pasca-1999 mempunyai perangai: suka berdekatan dan bermesraan dengan pemodal-pemodal nakal. Hal ini melahirkan politik transaksional dan pembajakan partai politik.

Dengan demikian, hilangnya tradisi iuran anggota partai akan menernakkan bentuk-bentuk politik transaksional, salah satunya berupa mahar politik. Hal ini perlu disikapi oleh segenap warga negara yang mengimpikan repubik ini berdaulat secara politik, seyogjanya untuk mengongkosi cita-citanya melalui iuran rutin dan mengontrol penggunaannya.

Tidak cukup hanya dengan menghujat dan menggumam melalui sosial media saja, tetapi juga aktif dan berkesadaran untuk memberikan donasi kepada partai politik yang dipilihnya, tentunya, dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel perlu untuk diwujudkan.

Seturut dengan hal tersebut, warga negara yang berkesadaran ideologi dan politik tersebut akan menciptakan “massa-actie” sebagaimana dikatakan Soekarno dalam Mentjapai Indonesia Merdeka (1933) “mendjadi suatu massa-aksi yang bewust dan insyaf,- suatu massa aksi yang oleh karenanya, segera memetik kemenangan”.

Massa aksi yang berkesadaran ideologi dan politik bukan seperti gelembung atau buih yang ditiup oleh pemodal tatkala pemodal itu lari–tidak lagi menggunakannya– mereka (partai politik) menjadi kehilangan arah bahkan menjadi rongsokan yang aus dan berkarat. Anda ingin negeri ini bebas korupsi dan berdaulat secara politik?

Apakah Anda sudah menentukan sikap politik dan mengongkosi melalui iuran rutin? Jassin, kembali ke cerita di atas, membayar kontribusi bulanannya dengan gaji yang tidak seberapa dari upah magang di Balai Pustaka. Bagaimana dengan Anda?

Daftar Pustaka

DPP/PNI.1965. Pedoman pokok pelaksannaan Deklarasi Marhaenis. Amanat gemblengan Bung Karno dan pidato-gemblengan dari tokoh utama P.N.I./Front Marhaenis pada Pendidikan Kader Pelopor Marhaenis tanggal 24 dan 25 Maret 1965 di Basket-Ball Hall Gelora Bung Karno, Senajan, Djakarta. Jakarta: Departemen Penerangan Propaganda DPP/PNI.Soekarno.1933.

Mentjapai Indonesia Merdeka. Solo: Penerbit Buddhy Solo.Tim Penulis Balai Pustaka. 1992.

Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka. Jakarta: Balai Pustaka.

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_2.pdf

Wahyu Widodo
Wahyu Widodo
Saya adalah pengajar linguistik di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang. Topik yang menjadi area kajian saya adalah kajian linguistik kebudayaan (etnolinguistik), kajian tuli (deaf studies), kajian pesantren (pesantren studies), dan kajian postkolonial. Tulisan populer saya menggunakan optik dari apa yang saya tekuni selama ini. Alamat akun Facebook saya Wahyu Sri Widodo.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.