Selama bulan ramadhan ini, istrinya Alm. Gus Dur, yaitu ibu Sinta Nuriyah Wahid mengadakan buka sahur di berbagai daerah di Indonesia. Tema yang diusung adalah “Dengan Berpuasa Kita Menggenggam Erat Nilai Demokrasi dan Pluralisme. Keluarga Gus Dur menyadari bahwa gerakan intoleransi sudah menjadi gerakan yang struktural dan sistematis. Masyarakat di aras bawah disuguhkan dengan bangunan eksklusifitas yang superior dan triumfalistis. Allisa Wahid menuturkan, “Selama berpuasa ini, kita mengasah toleransi beragama kita.”
Realitas intoleransi adalah fenomena beragama yang kehadirannya mengungguhkan simbolisasi “jargon”. Dalam paradigma teologis, istilah-istilah “jargonisme” sungguh berbahaya karena mengandung dimensi militeristik. Model beragama yang menghadirkan kengerian dan ketakutan. Bahkan mereka bisa menggunakan atribut bersenjata, entah berupa pedang, pisau, samurai, clurit, senapan, meriam. Ujung-ujungnya adalah kekerasan dan kebrutalan.
Biasanya kelompok intoleran mengatakan, “Barang siapa menghina Allah, biar berhadapan dengan kami”, “Kami akan mengobarkan perang suci, siap berjihad, siap menjadi martir, siap mati demi agama”. Jika pameo-pameo ini terus dikumandangkan, yang ada adalah syiar kebencian yang ujungnya adalah lumpuhnya kemanusiaan itu sendiri.
Simbolisasi “jargon” biasanya disukai oleh kelompok-kelompok dakwah dengan penggunaan bahasa-bahasa profokatif. Karakter yang simple, rigoristis, dan tanpa tedeng aling-aling. Tidak perlu refleksi kritis, hemeneutis analitis atas penafsiran teks kitab suci. Yang ada adalah simbol atau jargon ditangkap begitu saja secara apa adanya (literal teks), dalam pemaknaan univokal yang sempit.
Bahkan kalau kita mencermati, realitas “jargon” adalah realitas yang nalar beragamanya adalah binary oppositions, seperti baik-buruk, suci-kafir, benar-salah, dan seterusnya. Binary opposition adalah pola pikir yang mengajukan kutup kutup hitam putih mengenai kehidupan (Kenneth Kierans, 1999). Dengan demikian, cara pandang ini dikurung dengan negatif bahwa kelompok lain adalah salah. Mematikan kreatifitas manusia dan memandegkan rasionalitas yang luhur dan bermartabat di tengah modernitas global yang melintas batas.
Hanya dengan reinterpretasi secara baru, maka nilai-nilai humanis menjadi jauh lebih unggul daripada idiologi yang mengusung ketertutupan sempit. Dengan proses dialogal, maka penjelajahan gagasan dan ide, menjadi lebih terbuka di tengah tantangan absolut yang mencoba untuk memagar manusia dengan “tembok” agama.
Istri Gus Dur dan Gerakan Multikultural
Dari road show buka sahur, ibu Sinta mengembangkan gagasan multikultural. Proses penanaman cara hidup untuk menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman agama dan budaya yang hidup di tengah masyarakat plural. Ketika nilai hidup mengarah kepada multikultural, maka ada kelenturan mental dalam menghadapi benturan konflik sosial. Setiap elemen lintas agama dan keyakinan bersatu padu di aras akar rumput.
Gagasan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang baik itu sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Oleh sebab itu, peserta buka sahur adalah tukang becak, nelayan, pedagang pasar, tukang asongan, kuli bangunan, yang semua ini adalah orang-orang marjinal. Ketika multikultural hanya menjadi kegiatan formal, dia tidak akan pernah menyentuh aspek spiritualitas yang menggerakkan kehidupan keberagaman. Lintas agama hanya menjadi balutan seni yang tidak menyentuh relasi subjek – subjek. Tetapi relasi subjek – objek yang timpang dengan segala carut marutnya, yang ujungnya adalah konflik dan perebutan kekuasaan.
Ibu Sinta mengajak setiap umat/ peserta buka sahur untuk melihat keberagaman sebagai anugerah dari Tuhan. Ada transformasi untuk membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses relasi dengan yang lain. Di sinilah agama berfungsi sebagai Rahmatan lil Alamin. Rahmat bagi segala makhluk. Tidak menjadi opium yang membius umat untuk praktik-praktik politik. Tetapi agama mentransformasi kehidupan manusia.
Dari ceramah beliau saya melihat bahwa keagamaan (Islam atau Kristen), keindonesiaan dan kemanusiaan harus menjadi satu nafas. Karena kalau tidak, agama menjadi alat politik yang memberangus yang lain (the others). Bahkan kalau agama tidak ditempatkan dalam bingkai NKRI, maka negara gagal untuk merangkul setiap perbedaan yang ada dari Sabang sampai Merauke. Baik Kristen maupun Islam, wajah agama harus ramah, inklusif dan memberikan solusi bagi bangsa dan negara. Ketika segregasi agama menguat, yang terjadi adalah adanya eskalasi konflik baik vertikal dan horizontal, ancaman serius bagi integrasi bangsa.
Sahur dan Buka bersama ibu Sinta menjadi realitas multikultural. Agama yang multikultural adalah agama yang memberikan fungsi kesadaran bagi tunas kebangsaan. Agama yang multikultur tidak hanya mengajarkan doktrin balutan dogmatis saja, tetapi spiritualitas batin yang juga mengarahkan kita untuk hidup berdampingan secara rukun. Jangan sampai, semakin saleh seseorang, ada kecenderungan semakin ia tidak toleran, bahkan tak jarang menghalalkan tindakan anarkis yaitu perusakan tempat ibadah agama lain, pemukulan orang lain yang dianggap sesat. Kata Gus Dur, dahulukan akhlak daripada akidah.
Nilai-nilai multikultur harus mengarah kepada keterbukaan, humanisme, kebesaran hati menyikapi perbedaan, serta demokrasi yang memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan berekspresi agama masing-masing. Jika agama memang diwahyukan untuk manusia, bukan manusia untuk agama, maka parameternya adalah nilai kemanusiaan yaitu keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Alquran dan Nilai Persaudaraan
Saya mencoba mencari tahu dalam narasi Quran, bahwa sebenarnya nabi Muhammad menyerukan kepada umat beriman untuk melindungi tempat-tempat ibadah, di samping orang tua, anak-anak, tumbuh-tumbuhan dan binatang. Saya jadi teringat di kampung desa, dimana saya tinggal, ada seorang guru Islam yang mengajarkan bahwa inti pokok Islam adalah ketakwaan/ keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa (konsep tauhid). Selain tauhid, Islam juga mengajarkan nilai fundamental yaitu persaudaraan/ perdamaian.
Ajaran pokok Islam tentang perdamaian tertuang dalam Sura Al Ma-Idah ayat 82 yang berbunyi, “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani. Yang demikian itu disebkan karena diantara mereka itu (orang-orant Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib rahib karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
Bahkan di Islam juga mengajarkan nilai-nilai persaudaraan, tidak melakukan berbagai tindakan negatif, seperti mengolok-olok (menghina) orang lain, berprasangka buruk dan mencari kesalahan orang lain atau mempergunjingkannya.
QS Al Hujarat ayat 11-12, “Hai orang-orang yang beriman, janganglah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”
Berbagai isu SARA, masjid yang menjadi panggung politik, media yang saling hasut menghasut menjadikan agama dipakai secara destruktif untuk tujuan politik. Padahal di dalam QS Sura Al Hujarat ayat 6 berkata, “Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”
Sesuai dengan agama yang kita anut, tentu inti agama selalu menebarkan kebaikan, persaudaraan dan perdamaian. Janganlah terulang kembali dimana nyawa dan hidup manusia diperalat serta dikurbankan untuk melanggengkan kekuasaan. Gus Dur pernah berujar, “Yang jauh lebih penting dari politik adalah kemanusiaan itu sendiri.” Sejatinya, hidup dan nyawa manusia jauh lebih berarti daripada kekuasaan politik.
Hidup keagamaan kita harus berubah dari “God of Battles” menjadi “God of Love and Peace” Bukan nalar agama yang berujung kepada kekerasan dan ekslusifitas absolut, tetapi nalar yang disertai hati nurani untuk belajar menerima perbedaan dengan semangat kebhinekaan. Semoga.