Dalam seminar “Heritage Seminar” yang diadakan oleh Pusat Studi Agama dan Multikultural (PUSAM) Universitas Muhammadiyah Malang pekan lalu, dengan mengambil tema “Merajut Kembali Temali Dialog Perdamaian Agama-agama. Dalam seminar tersebut, dihadiri oleh tiga Narasumber utama. Dr. Pradana Boy ZTF sebagai kepala Pusat Studi Islam dan Filasafat (PSIF) UMM. Robert Pope, MA asal Australia sebagai Direktur Equal Access Internasional. Dan Dr. Josiah Chuch yang bersal dari National University of Singapore (NUS).
Menangkap pembicaraan Dr. Pradana Boy dalam seminar tersebut, yang pada intinya beliau menyampaikan bagaimana keberagamaan kita diarahkan kepada aspek perdamaian. Bukan konflik seperti yang terjadi pada hari ini. Lanjut beliau sempat menyinggung kesadaran umat Islam dalam memahami agamanya hanya sebatas pada kesadaran simbolik, tanpa memahami esensi Islam itu sendiri.
Hal tersebut sudah disadari oleh Kuntowijoyo dalam bukunnya “Muslim Tanpa Masjid”. Bagaimana hari ini umat Islam belajar agama bukan pada para ulama-ulama. Melainkan belajar pada teknologi super canggih. Sehingga wajar jika hari ini umat Islam banyak yang salah memahami aspek moderenisme seperti Pluralisme, Multikulturalisme, Demokrasi, Civil Society. Beliau juga menuturkan akan pentingnya menumbuhkan tradisi Intelektual Islam melalui tradisi Sanad dan Talaqi.
Dewasa ini, upaya umat Islam dalam memahami kesadaran beragama terlihat semakin mengikis. Fenomena tersebut diakibatkan karena sumber pengetahuan hanya berasal dari satu sumber. Sehingga aspek objektifitas tidak dikedepankan. Yang terjadi adalah missunderstanding yang mengakibatkan terjadinya sinisme dalam beragama. Baik secara internal maupun eksternal. Secara internal mengarah pada perbedaan dalam kelompok-kelompok Islam, secara eksternal mengarah pada perbedaan agama. Terutama memahami penempatan toleransi beragama.
Negara Indonesia bisa dikatakan sebagai negara Multikultural. Kerena memiliki suku, ras dan agama yang berbeda-beda. Hal ini bisa dibuktikan dalam semoboyan “bineka tunggal ika”. Kata culture sendiri merupakan bahasa lain dari kebudayaan. Bapak Antropologi Budaya E.B. Taylor mendefinisikan Budaya sebagai suatu keseluruhan kompleks yang meliputi kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat. Maka, Multikultural adalah seperangkat budaya yang beragam bentuknya.
Kehadiran Islam di bumi Nusantara, tak terlepas dari kondisi Multikultural. Sikap saling menghargai perbedaan sudah ada sejak dahulu. Bahakan secara global. Hal tersebut diakui oleh seorang sosiolog asal Amerika Robert N Bellah yang menyatakan bahwa, melalui kehadiran Nabi Muhammad di Jazirah Arab, Islam sudah menjelma menjadi peradaban Multikultural yang amat besar dan mengagumkan, bahkan kebesarannya melampui kebesaran lahirnya negri Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab.
Dalam konteks Muhammadiyah, sikap Multikulturalisme sudah dilakukan oleh Ahmad Dahlan dalam upaya pendakwahan Islam melalui pergerakan Muhammadiyah. Yang dilakukan dengan cara propaganda kepada para pendengarnya. Dengan memperlihatkan wajah toleransi dalam rangka menciptakan nuansa yang sejuk dalam perbedaan.
Dahlan Sendiri, menjalani persahabatan akrab dengan para tokoh-tokoh agama Kristen seperti Pastor Van Dress dan Van List, Revernd Dr. Zwemmer, Dr. Laberton, dan Dr. Hendrik Kreamer. Kiyai Dahlan berinisiatif mengunjungi atau mengundang mereka untuk diajak bertukar pikiran. Menjadi hal yang tak lazim dilakukan kala itu. Namun, justru mendapat respon postif sehingga menimbulkan kesan bahwa Ahmad Dahlan tidak memusuhi agama-agama mereka.
Mari kita merujuk kepada sumber yang lebih otentik. Dalam risalah Ahmad Dahlan tentang ”Tali pengikat Hidup Manusia” beliau menyinggung tentang bagaimana akal dioptimalisasikan untuk memberikan solusi pada permasalahan sosial. Dahlan mengskemakan akal ke dalam tiga bagian. Pertama Wacana Akal, Pendidikan Akal, dan Kesempurnaan Akal. Pada bagain pertama inilah yang perlu dipahami umat hari ini. Bahwa, wacana akal dipahami Dahlan sebagai sikap keterbukaan terhadap berbagai macam pandangan, pengetahuan dan pendapat agar potensi akal tersebut dapat berkembang.
Jadi sejatinya. Sikap Multikultural sudah ada dalam tubuh Muhammadiyah. Penjelasan diatas menjadi representasi dari penyikapan atas adanya perbedaan dalam Islam bahakan dalam tubuh Muhammadiyah. Seperti yang pernah dilakukan pelopor pergerakan Muhammadiyah sendiri. Namun, sungguh disayangkan agama, suku, dan ras bukan menjadi dasar penyebab terjadinya konflik. Melainkan lebih banyak diprakarsai oleh permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Sehingga agama, suku dan ras hanya dijadikan alat untuk memenuhi hasrat dan kepentingan segolongan umat.
Terakhir, mengutip penggalan ayat dalam Al-Qur’an “Hai manusia, sesungguhnya kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).