Pernahkah anda mempertanyakan kenapa islam selalu menjadi “subjek” ketika terjadi suatu pertentangan atau perdebatan baik dari gejala-gejala yang baru terjadi akhir-akhir ini maupun dari masa silam? Pernahkah anda bertanya kenapa islam selalu bertentangan dengan kehendak zaman? Cukup sering bersebrangan dengan arus peradaban manusia?
Allah mengatakan, “Dan sungguh, kami telah tinggalkan suatu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal”, kemudian setiap orang islam berpikir dan berusaha menemukan esensi dari islam. Setelah itu mereka mengemukakan pendapatnyaa sambil mengutip ayat tadi, dengan kesadaran bahwa dia-lah yang berakal sementara yang berbeda pendapatnya tidaklah berakal. Lantas, apa itu akal? Apakah dia sama dengan otak? Atau akal semacam daya tersendiri yang diperintah oleh Allah untuk tinggal di dalam otak manusia sehingga berakal atau tidaknya otak manusia itu sangat tergantung dari kasih sayang Allah?
Islam memang selalu menjadi “masalah global”. Setidaknya sejak abad ke 15-16, dan semakin menjadi sumber “masalah” ketika usaha untuk menguasai dunia melalui kekuatan modal mendapatkan peluangnya. Bahkan sejak di masa-masa dakwah Rasulullah, islam pun jelas-jelas menjadi masalah bagi Abu Lahab, Abu Jahal, dan para koleganya. Dan jauh sebelum itu, Fir’aun, Namrud, hingga kekaisaran Romawi yang risih dengan Kanjeng Nabi ‘Isa pun sudah lebih dulu bermasalah dengan islam.
Belum lama ini, kita diberi tanda bahwa persoalan itu belumlah tuntas. Beberapa waktu lalu, habis energi bangsa untuk berdebat mengenai boleh tidaknya seorang non muslim memimpin suatu daerah. Karena masing-masing pihak mempertontonkan kebenarannya sendiri akhirnya sedikit goyahlah persatuan anak negeri.
Yang masih lebih hangat lagi tentunya adalah persoalan Perppu Ormas yang sudah diketok palu. Yang tak sesuai NKRI dan Pancasila berhak dibubarkan oleh Pemerintah tanpa melalui jalur pengadilan. Kalau anda islam, islam anda harus NKRI dan Pancasila. Kalau anda kristen, kristen anda harus NKRI dan Pancasila. Kalau anda Hindu, Buddha, Konghuchu dan sebagainya keyakinan anda harus gathuk dengan NKRI dan Pancasila. Kemudian orang islam sibuk mencari dalil mengenai tidak diharuskannya mendirikan negara islam ataupun Kekhalifahan. Loh, memangnya yang dimaksud islam itu apa? Yang dimaksud Khilafah itu apa? Yang dimaksud NKRI dan Pancasila itu apa? Kalau NKRI dan Pancasila memangnya bukan Khilafah? Kalau Khilafah memang sudah pasti tidak NKRI dan Pancasila? Islam ini bagian dari negara atau negara bagian dari ijtihad, jihad, dan wirid kita kepada Allah yang menganugerahi kita iman islam untuk memperjuangkan Rahmatan lil ‘alamin sebagaimana yang telah diamanatkan oleh-Nya? Dengan ideologi negara kita mengelola agama ataukah dengan keilmuan dan khazanah agama-lah kita mengelola negara?
Itu baru contoh-contoh terdekat dari belum tuntasnya kita memahami islam. Sebelum keributan akhir-akhir ini, para pendahulu kita pun dibuat berdebat oleh dikotomi demokrasi dan islam. Sebagian yakin bahwa tidak ada kata demokrasi di Al-Qur’an dan kitab-kitab fiqih. Sebagian lainnya yakin bahwa demokrasi itu salah satu anjuran penting dalam islam. Dan sebagian lainnya yakin bahwa islam dan demokrasi bisa berjalan berdampingan. Memangnya apa itu demokrasi? Apa itu sifat-sifat islam? Demokrasi itu kata kerja atau kata benda? Islam itu kata kerja atau kata benda? Apa kalau berdemokrasi berarti tidak islam? Apa kalau islam berarti tidak demokratis? Islam ini sangat demokratis atau demokrasi yang sangat islam?
Ketika para pendahulu kita merumuskan bangunan negara ini, perdebatan antara islam dan republik pun mencuat. Begitu pula ketika perumusan sila-sila dalam Pancasila. Sebagian orang islam yang merasa sebagai umat mayoritas merasa punya hak untuk diberikan “ruang khusus” dalam bunyi sila pertama. Untunglah suku Jawa tak ikut menambahi masalah pada saat itu dengan tidak ikut-ikutan merasa dirinya sebagai suku mayoritas untuk menuntut supaya bahasa nasional harus bahasa jawa dan setiap kegiatan kenegaraan harus sesuai dengan adat dan tradisi Jawa. Lagi pula, apakah islam harus disebut sebagai islam supaya ia terlihat nyata sebagai islam? Apakah dasar negara tanpa kata “islam” berarti dasar negara itu tidak islami? Apakah ayam, bebek, ikan, sapi, kerbau, tanaman, langit, lautan tidak islam karena tidak pernah menyampaikan kepada kita bahwa dirinya adalah makhluk yang berpasrah kepada Allah? Islam itu kata benda atau kata kerja?
Itu baru contoh-contoh persoalan islam dan negara, belum persoalan islam dengan adat dan budaya yang juga meresahkan masyarakat. Bahkan untuk disebut sebagai orang islam pun anda harus memakai atribut-atribut yang terlanjur disebut sebagai “atribut islami”. Memangnya kalau kita berbudaya pasti tidak islami? Apa kalau mau berbudaya harus ada contohnya dari Kanjeng Nabi? Contohnya yang bagaimana? Kanjeng Nabi itu memberi “benih” atau “nasi”? Kalau kita nonton wayang dan pertandingan sepak bola memang bukan islami? Kalau kita ngomong, “sugeng rawuh”,”hampura ka sadayana”, “konnichiwa”,”Hello, bro”,”dari mana lo”, pasti tidak islami? Yang bagaimana yang islami dan yang bagaimana yang tidak islami?
Memangnya islam itu apa sih? Muslim itu maknanya bagaimana? Siapakah yang berhak berpendapat mengenai islam? Apakah hanya para ulama dan kaum intelektual? Apakah rakyat biasa seperti kita juga berhak untuk berpendapat mengenai apa itu islam dengan ilmu, pengetahuan, dan roso kita sendiri? Islam itu di dalam atau di luar diri kita? Islam itu mulai ada sejak kapan? Sejak Malaikat Jibril memberi wahyu, “Iqro!” kepada Rasulullah, atau sejak Allah SWT menciptakan makhluk pertamanya? Makhluk pertama Tuhan itu apa? Cahaya yang terpuji, Nur Muhammad, atau Big Bang? Mana yang lebih benar di antara itu? Dan apakah hanya saya yang bertanya-tanya mengenai itu, ataukah anda juga bertanya-tanya mengenai itu?
Kalau anda sudah punya jawabannya, yakinkah bahwa jawaban anda 100% benar? Kalau anda masih dalam proses pencarian layaknya saya, yakinkah kita dapat menemukan jawaban yang sangat pasti dari segala unek-unek itu semua?
***
Islam akan selalu menjadi “sumber masalah” bagi kita selama kehendak dan kepentingan kita bertentangan dengan nilai-nilai islam.
Kalau kita suka memfitnah teman dan saudara, senang pada harta dan suka menimbun kekayaan,suka korupsi, suka menginjak-injak orang lain, maka kita akan bertentangan dengan islam. Bahkan kalau perlu, kita melindungi diri dengan dalil yang menyebutkan bahwa Tuhan mempersilahkan kita untuk melakukan hal-hal yang demikian. Dan kita pura-pura tidak tahu bahwa Tuhan telah mengingatkan kita melalui surat Al-Ma’un dan ayat-ayat lainnya.
Memangnya apakah islam itu? Dan untuk menjadi muslim yang baik harus seperti apa?
Maka, jangan berharap anda menemukan jawaban yang pasti di tulisan ini. Saya tak punya kualitas diri dan kekuatan untuk menyampaikan jawaban yang autentik. Karena saya pun masih, “ihdinas-shirothol mustaqim.”
Hehehehe.