Jumat, April 26, 2024

Islam Liberal dan Reinterpretasi “Turats” Jalan Tengah Pembaharu

Barangkali istilah Islam liberal masih menuai banyak pro dan kontra, apakah ini semacam kemajuan atau kekeliruan. Akan tetapi, yang pasti gagasan Islam Liberal ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk kontribusi pada perbendaharan khazanah keilmuan dalam Islam.

Walau ada sebagian dari komunitas Islam yang menolaknya, baik secara general seperti kelompok konservatif, atau menolak namun secara selektif, seperti kelompok Islam moderat, tetapi kita jelas bisa melihat bahwa hadirnya gagasan Islam Liberal dapat membangunkan umat muslim dari tidur panjangnya dalam soal pemikiran.

Kita simak baik-baik sejarah peralihan peta pemikiran Islam, yaitu kehadiran para intelektual Islam Liberal pada pertengahan 1990-an yang memiliki hubungan ideologis maupun sosiologis dengan gerakan Islam terdahulu yang sering disebut sebagai gerakan Islam Tradisional dan Islam Modern yang muncul pada awal abad ke-20.

Islam Liberal adalah sebuah gagasan yang lahir dari dialektika sosial, meliputi tradisi, kultur, adat istiadat manusia, sehingga para pemikir liberal muncul sebagai bentuk respon dari terjadinya dialektika tersebut.

Jika kita amati pada peta pemikiran Islam, munculnya para pemikir baru yang melahirkan karya-karya pengkajian ulang terhadap “Turats”, pasca kalahnya bangsa Arab oleh Israel pada perang Teluk 6 Juni 1967 merupakan bentuk evaluasi terhadap warisan budaya intelektual Islam.

Tetapi lagi-lagi saya melihat bahwa hal ini hanya persoalan perspektif dari para pemikir Islam sesuai dengan latar belakang prinsipnya masing-masing. Terkait dengan respon terhadap gagasan Islam Liberal, sebetulnya kalau kita mau bijak, tidak pantas bagi seorang intelektual, atau pelajar untuk bersikap apriori terhadap ilmu pengetahuan apapun.

Bagaimanapun juga Al-Quran turun sebagai respon dari kondisi sosial pada saat itu yang mengalami kebobrokan mental. Kemudian berawal dari situ, para ulama “usul” mengatakan bahwa persoalan yang mendasar dan menentukan pada sebuah produk hukum adalah “al-adat” atau “al-urf“.

Perlu untuk dipahami bahwasanya  “al-adat” atau “al-urf” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan adat, tradisi, atau kultur, merupakan poros yang dijadikan sebagai pisau analisis untuk menemukan buah yang terkandung dalam “nash” agar melahirkan produk hukum yang mengandung kemaslahatan.

Sepertinya hal tersebut memiliki kemiripan dengan konsep dasar Islam liberal. Rachman  mengatakan, konsep dasar Islam Liberal adalah keyakinan bahwa di balik teks suci ada makna; ada teks dan konteks. Liberal, sampai pada titik tertentu, berarti membebaskan agama dari hal-hal yang di luar agama, dari pemaknaannya yang melampaui batas-batas privatnya, terutama politisasi atau kapitalisasi terhadapnya.

Ajaran Islam dalam Al-Quran adalah “sholihun likullizaman wa makan” (relevan di setiap zaman dan tempat), maka menjadi pekerjaan serius bagi para cendikiawan Islam atau Ulama, untuk mampu mentransformasikan kekayaan intelektual Islam yang relevan terhadap kondisi-kondisi baru yang terus bermunculan.

Oleh karena hal tersebut, apabila yang dikehendaki dari Islam Liberal adalah sebuah pembaharuan, walaupun di dalamnya mengandung makna pembebasan agama dari hal-hal di luar agama dan melampaui batas privatnya, maka tetap harus mengacu pada metodologi atau epistemologi yang jelas dalam menelurkan sebuah gagasan barunya.

Reinterpretasi TuratsUsul Fiqh” Jalan Tengah Pembaharuan

Jika konsep Islam Liberal yang ditawarkan oleh sarjana Islam kontemporer seperti Syarur, dan Fazlul Rahman, dinilai kurang bisa diterima akibat terlalu melampaui batas-batas privasi Al-Quran. maka konsep “usul fiqh” yang merupakan warisan budaya intelektual Islam dan menjadi metodologi “istinbath” produk hukum, harus mulai dilakukan “reinterpretasi”, khususnya pada pokok persoalan yang mendasari berbagai aspek hukum di atasnya.

Kita dapat pelajari dari buah penelitian Al-Jabiri dalam permasalan epistemologi ilmu “ke-Islam-an” yang dapat kita simpulkan nantinya sebagai fakta kondisi sosial mempengarui produk keilmuan.

Al-Jabiri mentransformasikan Nalar Arab bahwa epistemologi ilmu ke-islam-an terdiri dari tiga hal yakni “bayani, burhani, dan irfani“. ( Ketiganya tersebut akan nampak senjang sesuai kondisi geografi dan kulturnya masing-masing, sehingga para interpreter akan memahami makna ketiganya sesuai dengan prinsip dasar yang menjadi batas acuan pemikiranya.

Prinsip dasar tersebut tertanam dalam diri para intelektual Islam melalui fakta empirik. Alhasil ketiga instrumen tersebut secara alami akan melakukan dialog dengan peradaban manusia yang semakin kompleks, dan hilangnya keteraturan yang merupakan ciri dari era postmodern, sehingga memunculkan pelbagai disiplin keilmuan.

Kemudian dari prinsip “al-urf”  tersebut, dapat kita kembangkan untuk mencapai pembaharuan terhadap pemahaman Islam yang inklusif sehingga ramah terhadap perbedaan geografi sebagai faktor terjadinya perbedaan kultur sosial. Kita dapat belajar dari pemikiran para mazhab dalam melakukan ijtihad dan menghasilkan buah pemikiran yang berbeda.

Abdul Wahab Kholaf pada penjelasan tentang konsep ”al-urf” mengatakan salah satu dari mazhab 4 yang sebagian besar buah pemikirannya berdasarkan pada analisis “al-urf”  adalah Imam Abu Hanifah.

Masih menurut Abdul Wahab Kholaf; konsep yang seiring dengan “al-urf” adalah “maslahah mursalah” yaitu kemaslahatan umum yang tidak terdapat “nash” di dalamnya, namun tidak bertentangan dengan hukum syareat. Kemaslahatan ini jelas dikembalikan terhadap pemahaman manusia sebagai subjek kemaslahatan agar dapat  disesuaikan dengan kultur muammalahnya.

“Antum a’lamu bi amri dunyakum” Hadis ini tentunya akrab di telinga para pemikir Islam, bahwa Nabi menyampaikan pernyataan, “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” Kemaslahatan urusan manusia diserahkan kepada manusia.

Oleh sebab itu, persoalan-persoalan baru yang muncul seiring kemajuan zaman sepenuhnya diserahkan kepada manusia dengan pertimbangan kemaslahatan sesuai konsep makna dalam “nash”, Al-Quran maupun Hadis yang multi interpretasi.

Korelasinya terhadap gagasan Islam Liberal, yakni berkeyakinan bahwa di balik teks suci ada makna; ada teks dan konteks  adalah bahwa teks “nash” yang multi tafsir tersebut harus dipahami secara kontekstual sesuai kondisi historis pada zaman, dan geografi masyarakatnya, dan memakai metodologi yang jelas sekaligus dipakai oleh mayoritas ulama di dunia.

Islam memiliki hazanah keilmuan yang dinamis warisan para ulama tanpa harus terjebak oleh teks-teks warisan budaya intelektual tersebut dan tanpa harus melakukan dekontruksi radikal terhadapnya. Caranya dengan memakai metode ijtihad atau “manhaj turats“, kemudian melakukan reinterpretasi untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang inklusif dan keluar dari zona dilematis keilmuan.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.