Rabu, Oktober 9, 2024

Islam dan Sejarah Politik Kekuasaan

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Sejarah pada umumnya mencatat bahwa kekuasaan kaum Muslim atas dunia berakhir setelah Kesultanan Turki Utsmani dibubarkan pada 1 November 1922, lalu berubah haluan ke jalur nasionalisme sekuler di tangan Musthafa Kemal Pasha—dikenal dengan Attaturk. Republik Turki secara resmi dideklarasikan pada 29 Oktober 1923, dan lembaga kekhalifahan dihapus pada 3 Maret 1924.

Setelah itu praktis tak ada kekuasaan politik Muslim dominan di pentas dunia, selain negara-negara kecil yang kerap kali terlibat perseteruan tak produktif, dan cenderung saling melemahkan di antara mereka. Kaum Muslim mengalami semacam penyakit ‘inferioritas’ dalam percaturan politik global, dan seakan tak berdaya menghadapi realitas dunia.

Akibatnya, Islam yang diyakini sebagai agama paling benar dan diridai Allah Swt sering dijadikan “bulan-bulanan.” Opini global cenderung menuduh Islam “biang” dari kekerasan dunia modern, karena banyak kasus terorisme terjadi disiarkan melibatkan kaum Muslim. Islam yang berarti damai dan mengajarkan kedamaian ditampilkan sebaliknya: intoleran bahkan buas dan barbar.

Di beberapa tempat, orang-orang Muslim hidup dalam ketidakpastian, diliputi ketakutan, dan jauh dari kedamaian. Muslim Palestina, misalnya, sejak Zionis Yahudi menancapkan kekuasaan di tanah para nabi ini, kehidupan mereka jauh dari kondisi damai.

Negara-negara Muslim di sekitarnya seperti tak punya daya menghadapi dominasi Yahudi. Tak jauh dari situ—masih dalam lingkup wilayah yang dulu dikenal dengan tanah Syam dan pernah menjadi pusat dinasti Bani Umaiah—kehidupan Muslim Suriah luluh lantak oleh sengketa politik di antara mereka.

Agama Islam

Al-Quran menyatakan, Inna al-dîna ‘inda Allâhi al-islâm—Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam (Âli ‘Imrân [3]: 19). Menurut al-Thabari kata dîn—yang kita terjemahkan dengan ‘agama’—dalam ayat ini semakna dengan kata islâm, yakni sama-sama mengandung arti ketaatan dan ketundukan.

Lalu Ibn Katsir mempertegas bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi Allah selain Islam, yaitu mengikuti para rasul yang diutus oleh Allah Swt di segala zaman hingga berakhir pada Nabi Muhammad Saw. Dinyatakan dalam surah Âli ‘Imrân (3) ayat 85, Siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya…

Al-Zamakhsyari menafsirkan kata islâm dalam ayat tersebut bermakna tauhid dan keadilan, dengan merujuk pada ayat sebelumnya, yaitu: Allah menyatakan bahwa tiada tuhan selain Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada tuhan selain Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Âli ‘Imrân [3]: 18).

Tauhid merupakan ajaran inti agama serta pangkal dari keimanan, dinyatakan dengan kalimat: lâ ilâha illâ huwa—tiada tuhan selain Dia (Allah). Sedangkan keadilan adalah manifestasi dari kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, dinyatakan dengan: qâ’iman bi al-qisth—Dia yang menegakkan keadilan—lalu diisyaratkan dengan: huwa al-‘azîz al-hakîm—Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Islam dan Kekuasaan

Islam sebagaimana dimaknai al-Zamakhsyari adalah perpaduan tauhid dengan keadilan—ibarat dua sisi dari satu mata uang. Tauhid menghendaki keimanan, dan keadilan menghendaki amal saleh. Karena itu, beriman dan beramal saleh menjadi kunci dalam kehidupan beragama (Islam).

Surah al-Nûr (24) ayat 55 mengemukakan janji Allah Swt terhadap orang-orang yang beriman dan beramal saleh berupa kekuasaan di bumi, teguhnya agama, dan kedamaian. Allah menjanjikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan beramal saleh bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia pun akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengganti (keadaan) mereka dari sesudah ketakutan menjadi aman sentosa; mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Ku…

Sejarah mencatat, Islam sejak awal kemunculannya pada abad ke-7 M di tanah Arab hingga awal abad ke-20 M telah mewarnai gelanggang dunia melalui peran kaum Muslim di pelbagai bidang; mencakup kekuasaan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan budaya. Tentu, peran mereka tak lepas dari faktor Islam sebagai agama yang mengajarkan tauhid dan keadilan.

Dinamika kekuasaan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan budaya Islam mulai beriak sejak Nabi Saw dan para pemeluk Islam awal berkedudukan di Madinah—semula bernama Yatsrib—pada awal abad ke-7 M. Bisa dikatakan, di sinilah dan di masa itulah tonggak iman dan amal saleh ditancapkan melalui gerakan kenabian terakhir dengan petunjuk langsung dari Allah Swt.

Tonggak itu pun bertunas, dan setelah Sang Nabi wafat, tunas-tunasnya terus tumbuh-berkembang menjadi pohon peradaban Islam yang rindang.

Itulah masa subur iman dan amal saleh, yang menurut sebagian mufasir merupakan perwujudan janji Allah Swt saat mana kaum Muslim berkuasa dengan sistem kekhalifahan—setelah masa kenabian—berturut-turut mulai dari Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Di masa itu Islam teguh sebagai agama yang diridai Allah Swt, dan umatnya hidup dalam kedamaian. Mereka dikenal dengan sebutan “al-Khulafâ’ al-Râsyidûn,” artinya para khalifah yang lurus.

Setelah itu, terjadilah semacam disparitas kekuasaan di tubuh kaum Muslim. Di antara mereka saling berebut kekuasaan. Lahirlah kemudian dinasti-dinasti kekuasaan Muslim seperti Dinasti Umaiah, Dinasti Abbasiah, Dinasti Fatimiah serta dinasti-dinasti lain di berbagai tempat hingga Kesultanan Turki Utsmani yang berakhir pada awal abad ke-20. Pasang surut kekuasaan politik Muslim di masa-masa ini diiringi gerakan ijtihad di berbagai bidang, yang bisa dimaknai sebagai dinamika iman dan amal saleh.

Iman dan Amal Saleh

Inti hidup beragama adalah beriman dan beramal saleh. Dinyatakan dalam surah al-Hujurât (49) ayat 15 bahwa orang-orang beriman adalah mereka yang benar-benar percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu; dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mengisyaratkan bahwa keimanan menghendaki amal saleh.

Amal artinya penggunaan daya, sedangkan saleh artinya baik dan bermanfaat. Beramal saleh berarti menggunakan segala daya demi menciptakan kebaikan dan memberi nilai manfaat dengan cara-cara yang baik. Manusia dibekali daya fisik, daya pikir, daya rasa, daya kalbu, dan daya hidup.

Penggunaan daya fisik melahirkan keterampilan, daya pikir melahirkan ilmu pengetahuan, daya rasa melahirkan kepekaan, daya kalbu mengantar pada keimanan dan akhlak luhur, dan dengan daya hidup kita mampu menghadapi tantangan.

Sinergi iman dan amal saleh adalah kekuatan, yang menjadi faktor teguhnya agama dan tegaknya kekuasaan untuk kedamaian.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.