Rabu, April 24, 2024

Islam dan Nasionalisme Indonesia, Polemik yang Tak Berkesudahan

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Islam dan Indonesia selalu menarik diperbincangkan, apalagi ketika dikaitkan dengan isu-isu sosial politik. Tidak saja karena populasi muslim di negeri ini yang sering disebut-sebut terbanyak dan mayoritas dibandingkan dengan populasi muslim di negara-negara Islam lainnya. Ada banyak faktor yang turut mewarnai dinamika-dinamika keislaman dan keindonesiaan di sini, dari soal-soal sejarah dan kebudayaan hingga masalah ekspresi keagamaan serta kiblat sosial dan aliran politik.

Konteks mayoritas tidak serta merta menjadikan negara kepulauan terbesar di dunia dengan konstruksi sosial multietnik ini berasaskan Islam—untuk tidak menyebut: bukan Negara Islam. Terkait hal ini kerap timbul selang-seling politik.

Islamisasi Indonesia

Tempo-tempo dimunculkan opini bahwa “Indonesia adalah Islam.” Tanpa umat muslim, tak ada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negeri ini berdiri berkat jasa para pejuang yang notabene mayoritas dari mereka adalah muslim. Karena itu menyisihkan Islam dan/atau menyampingkan umat muslim dari elan politik, ekonomi, dan budaya sama artinya dengan “pengkhianatan (?).”

Meski cenderung lebay, opini semacam ini bukan tanpa dasar. Buku Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia karya Ahmad Mansur Suryanegara, misalnya, menguraikan secara cukup terperinci tentang perjuangan dan peran vital umat muslim bagi negara ini.

Dalam buku—yang edisi revisinya diterbitkan (Surya Dinasti, 2016) dalam 2 jilid tebal dengan total halaman mencapai 1000-an lebih—ini diungkap bagaimana sepak terjang para ulama dan santri dalam perjalanan sejarah bangsa ini serta daya juang mereka yang tak pernah padam hingga hari ini.

Di antara slogan yang ditonjolkan—selain digambarkan juga oleh anak judul buku—adalah kutipan dari pernyataan E.F.E. (Ernest François Eugène) Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi (1879-1950): “djika tidak karena sikap dan semangat perdjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.”

Kita tahu, ulama dan santri merupakan kaum elite Islam di Indonesia. Apa yang diuraikan oleh buku ini bisa dijadikan argumen untuk mendukung opini bahwa “Indonesia adalah Islam.”

Penetrasi Sekularisme

Namun demikian, tak semua komponen dari warga bangsa dan negara ini—termasuk sebagian dari umat muslim sendiri—setuju dengan argumen yang menarasikan bahwa “Indonesia adalah Islam.” Opini semacam ini bisa dianggap sebagai apologi atas kepentingan yang hanya akan menabalkan sektarianisme keagamaan serta superioritas Islam di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, negara ini tak boleh berasaskan agama apapun termasuk Islam. Dari sinilah sekularisasi Indonesia ambil posisi untuk berkembang.

Keberatan terhadap ide Islamisasi selain dipengaruhi oleh konteks zaman ketika negara ini mulai dibentuk, hal lebih mendasar adalah menyangkut historisitas serta realitas akan kemajemukan warga bangsa ini. Betapapun umat muslim memiliki andil besar terhadap pembentukan NKRI—ini pun bisa dipandang sebagai kewajaran karena mereka mayoritas—tidak berarti bahwa “Indonesia adalah Islam” atau “milik umat muslim” dan karena itu mesti berasaskan Islam.

Historisitas Indonesia diwarnai oleh beragam kebudayaan mulai dari animisme-dinamisme serta Hinduisme dan Buddhisme hingga Islam dan Kristen. Karena itu narasi tentang Indonesia selalu diklasifikasikan ke dalam sejarah klasik dan sejarah modern. Realitas warga bangsa ini pun multirasial dan multietnik. Maka dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara tak boleh ada superioritas.

Ketika negara ini mulai dibentuk, situasi dunia sedang berada dalam rambatan sekularisme. Penetrasi sekularisme ala Barat (Eropa) merambahi dunia Timur, tak terkecuali wilayah Nusantara. Penetrasi inilah yang merangsang timbulnya kecenderungan ideologisasi agama—terutama di kalangan umat muslim—dan sekaligus menciptakan polarisasi dalam proses penentuan asas negara maupun dalam sejarah perjalanan kebangsaan berikutnya.

Seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak awal asas kebangsaan negara ini terbentuk melalui dua arus pemikiran yang berkembang pada masa itu, yakni nasionalisme yang berafiliasi kuat pada ajaran keislaman dan nasionalisme yang berpegang pada pemisahan tegas antara agama dan negara. Arus pemikiran pertama bisa disebut dengan istilah “nasionalisme keislaman,” dan yang kedua sering disebut dengan istilah “nasionalisme sekuler.”

Dua arus pemikiran yang berpangkal pada “dialektika hubungan antara agama dan negara” ini terus mewarnai sejarah perjalanan bangsa hingga hari ini, dan cenderung menjadi polemik gagasan maupun gerakan yang tak berkesudahan.

Polarisasi Umat Muslim

Betul bahwa rumusan Pancasila telah disepakati bersama sebagai asas-falsafah negara; mencakup asas-asas Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Asas-asas ini dipandang ideal serta merupakan titik temu atas berbagai kepentingan yang berkembang dalam sejarah awal kebangsaan, termasuk antara nasionalisme keislaman dan nasionalisme sekuler.

Namun sebagaimana sejak awal perumusannya yang diwarnai polarisasi, dalam pengamalannya pun demikian. Hal ini bisa diteropong melalui kronik sejarah kebangsaan, khususnya mulai dari 22 Juni 1945 ketika pertama kali konsensus Preambul bagi UUD 1945 yang memuat asas-asas kebangsaan dicapai dalam rangka persiapan kemerdekaan.

Dokumen Konsensus ini ditandatangani di Jakarta—dan karenanya kemudian dikenal dengan nama “Piagam Jakarta”—oleh sembilan tokoh yang dipandang mewakili dua aliran dari nasionalisme keislaman; yakni Agoes Salim, Abikuesno Tjokrosoejoso, dan Abdoel Kahar Moezakkir serta Soekarno, Moh. Hatta, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, dan Mohammad Yamin dari nasionalisme sekuler.

Syahdan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, ketika UUD Sementara bagi negara yang baru dilahirkan ini ditetapkan, terjadi penghapusan tujuh kata dari bagian isi Preambul yang telah disepakati dan ditandatangani bersama, yakni pada bagian asas “Ketuhanan” yang semula rangkaiannya, “…dengan kewajiban menjalankan syari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tujuh kata ini dihapus, dan redaksi asas ini menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Preseden penghapusan tujuh kata ini—dengan segala dinamika “apologis” di belakangnya—tak pelak menumbuhkan kekecewaan pada sebagian kalangan dari nasionalis muslim. Dari sini, kehendak untuk menjadikan Islam sebagai asas negara ini seperti bersemi kembali.

Berbagai polemik gagasan tentang dasar-struktur-praktik bernegara maupun variasi dan inovasi gerakan terutama terkait politik keislaman telah, sedang, dan mungkin akan terus mewarnai sejarah bangsa ini. Bisa dilihat, misalnya, gagasan dan gerakan tentang Negara Islam yang tak pernah padam mulai dari soal DI-TII hingga masalah Khilafah; polemik seputar pluralisme-liberalisme-sekularisme agama dan masalah Islam Nusantara hingga soal-soal terkait pemimpin pro-anti Islam dan/atau pro-anti Pancasila. Ditambah lagi bahwa pengamalan Pancasila sebagai asas-falsafah negara dalam praktik kehidupan berbangsa masih jauh panggang dari api.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.