Kamis, Maret 28, 2024

Islam dan Agraria: Melihat dari Perspektif Nabi Muhammad SAW

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Indonesia memiliki luas daratan sekitar 192 juta hektar, yang mana sekitar 125 juta hektar diperuntukkan untuk kawasan hutan. Di dalam rencana tata ruang nasional sekitar 67 juta hektar (35%) diperuntukan sebagai kawasan lindung, sementara sisanya sekitar 125 juta hektar (65%) dialokasikan untuk kawasan budidaya.

Melihat dari prosentase tersebut negara sebenarnya lebih mempriortaskan untuk sektor pangan, mengingat mayoritas penduduk Indonesia bercorak agraris (lebih spesifik pertanian).[1]

Namun problem yang terjadi sekarang lebih kepada alih fungsi tanah produktif untuk pangan, di mana banyak lahan-lahan tersebut dikonversikan menjadi kawasan infrastruktur terpadu, kawasan perindustrian, ruang produksi manufaktur dan ektraktif. Sehingga turut berimplikasi dengan tercerabutnya rakyat dari tanahnya, hingga munculnya problem struktural seperti konflik agraria.

Merujuk pada catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), pada tahun 2017 jumlah konflik mengalami peningkatan disbanding tahun sebelumnya, yakni terdapat sekitar 659 kasus konflik agrarian dengan luasan wilayah konflik sebesar 520.491,87 hektar dan melibatkan sebanyak 652.738 KK. Konflik sepanjang tahun 2017, pada urutan pertama terjadi pada sektor perkebunan dengan 208 konflik atau 32 persen dari seluruh jumlah konflik. Lalu, sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 konflik (30%).

Pada posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor pertanian dengan 78 konflik (12%). Selanjutnya pada sektor kehutanan tercatat sekitar 30 konflik (5%), sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 konflik (4%), dan yang terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 kejadian konflik(3%). Jika dirunut selama tiga tahun terakhir, pada era pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017) telah terjadi 1.361 konflik agrarian di berbagai sektor.[2]

Melihat eskalasi konflik yang semakin meluas, secara faktual hal tersebut telah membuka realitas baru, jika masifnya konflik turut dipengaruhi oleh pemerintah yang masih mengesampingkan problem rakyat.

Di mana pemerintah juga turut menjadi aktor dalam berbagai konflik yang terjadi, dengan proritas kerja utama mempeluas pembangunan secara masif, guna meningkatkan investasi dalam skala luas. Seolah-olah perampasan ruang hidup rakyat terutama di sektor pangan dibenarkan keberadaannya.

Belum lagi membincangkan problem agraria secara luas, di mana reforma agraria masih belum sepenuhnya diwujudkan, hasilnya ketimpangan semakin meluas dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat belum juga terwujud.

Relevansi Pemikiran Nabi Muhammad saw Terkait Persoalan Agraria

Islam memiliki sebuah persepktif dalam melihat persoalan agraria, terlebih dalam konteks tanah itu sendiri. Nabi Muhammad saw dalam Kitab Al-Amwal yang ditulis oleh Abu Ubaid, mengemukakan bahwa Ibnu Sirin pernah bercerita jika Rasulullah telah mengapling tanah untuk kalangan Anshar bernama Sulaith.

Selanjutnya ada hadist yang disampaikan dari Asma’ binti Abu Bakar ra, bahwa Rasulullah saw telah memberikan kapling tanah kepada sahabat Zubair ra di Khaibar lengkap dengan pepohonan dan tanaman kurma.

Selain kepada sahabat dan umatnya yang membutuhkan tanah, Rasulullah saw juga memberikan tanah kepada mereka yang baru memasuki Islam seperti kepada kelompok Bani Hanifah. Hal ini menunjukan bahwa Rasullulah saw dalam ajarannya begitu peduli pada persoalan ketimpangan, di mana ia dengan adil dan tak membeda-bedakan ketikan membagi lahan untuk keberlangsungan hidup manusia.[3]

Dalam beberapa riwayat selain concern dalam perihal ketimpangan, Nabi Muhammad saw juga mengajarkan untuk berlaku adil dalam persoalan lahan itu sendiri. Seperti dalam beberapa hadist yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan, ada sebuah hadist dari Hisyam bin Urwah ra, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mengelola tanah kosong (mawat), maka hal tersebut telah menjadi hak kepemilikannya dan tidak ada hak bagi pelaku kezaliman untuk mengambil dan merampasnya.[4]

Lalu dalam hadist yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Barang siapa yang bercocok tanam pada tanah orang lain tanpa sepengetahuan dan izin mereka, maka pemilik tanah berhak membiayai tanaman itu. Sementara penanam tidak ada hak untuk mendapatkan hasil dari tanaman yang telah diusahakannya.” [5]

Nabi Muhammad saw selain menyoroti perihal pengambilalihan hak secara semena-mena, di mana ada manusia yang ingin merampas hak manusia lain melalui perampasan lahan, juga membahas terkait persoalan pemanfaatan ruang untuk kemaslahatan umat.

Dari Abu Ubaid meriwayatkan hadist dari Hibban bin Zaid asy-Syar’abi ra dari seorang lelaki dari kalangan Muhajirin ia berkata: “aku telah bersahabat dengan Rasulullah selama tiga tahum, kemudian aku dengar dia berkata ‘Seluruh umat manusia mendapatkan hak yang sama di dalam air, padang rumput, dan api.” Selanjutnya Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang melarang memanfaatkan kelebihan air dari keperluannya dengan tujuan untuk mencegah pemanfaatan padang rumput yang lebih dari kebutuhannya, maka Allah akan melarang dan mencegahnya dari karunia-Nya pada hari kiamat.”[6]

Dalam persoalan ini sudah jelas jika Islam mengajarkan jika lahan yang produktif hendaknya dikerjakan atau dimanfaatkan, terlebih untuk penghidupan banyak orang. Apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw mengenai ihwal pemanfaatan lahan, hingga melarang mereka untuk mengambil alih lahan yang digunakan orang lain.

Merupakan salah satu manifestasi dari keadilan sosial yang menyeluruh, di mana ketimpangan dan alih fungsi itu secara implisit tidak dibenarkan, apalagi harus sampai mencerabut hak orang lain demi keuntungan pribadi.

Melihat persoalan perampasan tanah, kerusakan lingkungan, merupakan sebuah relasi yang tidak bisa difragmentasikan dengan ekspansi industri ataupun infrastruktur banal. Melalui sebuah akumulasi primitif, beralihnya tanah menjadi sebuah komoditas, menjadikan banyak insan teralienasi dari hidupnya.

Implikasinya tergambar dari persoalan-persoalan yang sangat sistemik dan struktural, seperti kemisikinan, ketidakadilan, penindasan dan penghisapan. Sangat berkontradiksi dengan perspektif Islam, lebih spesifiknya jika mempelajari pemikiran Nabi Muhammad saw merujuk pada nukilan-nukilan hadist terkait lahan dan perosalan pemanfaatan sumber daya untuk umat.

Referensi:

[1] Handoko, Widhi. 2017. Negara Makar Terhadap Pangan. Roda Publika Kreasi: Bogor. Hal: 58

[2] Launching Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2017, diakses dari http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/

[3]Anggarini, Gita. 2016. Islam dan Agraria: Telah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidadilan Agraria. STPN Press: Yogyakarta. Hal 13

[4] Ibid 14

[5] Ibid

[6] Ibid 15

 

 

 

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.