Jumat, Maret 29, 2024

Irasionalitas Konsumerisme di Tengah Pandemi

Rio Saputro
Rio Saputro
Menyelesaikan pendidikan formal terakhirnya pada program studi S1 Sosiologi, Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga negara. Di waktu luangnya, Ia adalah pembaca yang mencoba menulis.

Belakangan ini publik dihebohkan dengan beredarnya beberapa rekaman video yang menunjukan kerumunan orang yang berdesak-desakan untuk berlomba memasuki pusat perbelanjaan. Di tengah situasi pandemi dan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kerumunan orang tersebut mengabaikan segala risiko demi menuntaskan dahaga mereka untuk berbelanja.

Tindakan bebal dan berbahaya oleh sejumlah orang tersebut jelas membikin geram berbagai pihak, khususnya bagi mereka yang selama hampir tiga bulan dengan kesadaran penuh telah membatasi gerak demi mencegah penyebaran virus.

Tindakan individu takkan pernah bisa dilepaskan sepenuhnya dari konteks masyarakat di mana ia berada. Fenomena ini setidaknya dapat kita lihat sebagai konsekuensi dari pembangunan masyarakat berdasarkan logika kapitalisme.

Masyarakat yang berinti pada produksi komoditas secara massal demi perputaran dan akumulasi modal; pada konsekuensi logisnya akan menyediakan mekanisme untuk senantiasa menjaga atau membuat dorongan konsumtif di dalam diri individu tetap tinggi.

Jadi, bukan hanya barang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan/atau keinginan, tetapi keinginan konsumtif pun turut diciptakan untuk membuat individu senantiasa menyerap komoditas hasil produksi.

Mekanisme pembentukan keinginan konsumtif yang menimbulkan ciri konsumerisme dilakukan secara terstruktur, intens dan massal. Semua dilakukan berdasarkan riset terukur dan disokong dengan dana yang tak main-main.

Semua metode pengiklanan dan/atau pemasaran dilakukan secara efektif untuk mengarahkan pandangan dan pola pikir individu agar mengidentikkan segala esensi yang baik kepada komoditas yang dipasarkan.

Contoh sederhana: Lebaran berarti suci, indah dan baik. Bagaimana merepresentasikan semua esensi itu? Ya, apalagi kalau bukan dengan pakaian baru. Belum lagi ada diskon spesial. Jadi, mari berbelanja.

Praktik penanaman nilai konsumerisme yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang ini pun perlahan telah membentuk budaya masyarakat kapitalistik; konsumerisme.

Nilai konsumerisme ini secara sadar atau tidak, telah merasuk jauh ke dalam pola pikir dan pemaknaan individu. Peristiwa irasional tindakan berbelanja di tengah pandemi hanyalah puncak gunung es yang menunjukkan betapa kokohnya budaya konsumerisme yang tumbuh di dalam masyarakat.

Masyarakat seperti inilah yang dikritik oleh aliran teori kritis sekolah Frankfurt. Sindhunata telah mengartikulasikan pertanyaan kritis Horkheimer –salah satu tokoh kunci aliran teori kritis– secara jernih:

“apakah nilai yang bersifat ekonomis semata masih bisa disebut nilai dalam arti sesungguhnya? Tidakkah nilai yang sifatnya ekonomis semata-mata telah melupakan sesuatu yang lebih hakiki, yakni martabat manusia itu sendiri?” (Sindhunata, 2019 : 129)

Masyarakat kapitalistik dengan corak konsumerisme yang kuat telah berhasil mencerabut esensi rasionalitas kemanusiaan dengan sangat efektif. Banyak individu kini tak ubahnya seperti zombi yang rela berbuat apapun demi menunaikan semangat konsumerismenya.

Di saat pandemi ini, peristiwa berdesak-desakan sekumpulan orang demi dapat masuk ke pusat perbelanjaan telah menunjukan bahwa nilai konsumerisme kini seolah telah merangsek naik mengalahkan semangat apapun yang ada pada diri individu. Orang-orang telah secara irasional membahayakan kesehatan dan keselamatan dirinya serta orang lain demi bisa berbelanja.

Mungkin bagi mereka, apalah arti hidup tanpa mengonsumsi? Apalah arti lebaran tanpa pakaian baru? Atau apa ada yang lebih berharga daripada diskon?

Menurut Horkheimer, dewasa ini ada satu tanda ketika orang telah kehilangan sikap rasionalnya. Tanda itu adalah ketika individu tidak lagi menanyakan apakah tuntutan-tuntutan yang telah dipasang di dalam masyarakat masih bisa disebut rasional dan sesuai dengan hakikat kemanusiaan atau tidak. (Sindhunata, 2019 : 147)

Aliran teori kritis mengajarkan kepada kita untuk dapat mempertanyakan dan mempersoalkan nilai, tradisi dan pola pikir yang secara umum telah diterima sebagai kewajaran. Ini adalah ciri hakiki akal budi, senantiasa mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan kejelasan.

Lagipula, hanya karena mayoritas orang mengamini suatu hal bukan berarti itu otomatis membuat hal tersebut menjadi benar adanya. Itulah alasan kenapa Argumentum Ad Populum tergolong sebagai salah satu logical fallacy. Kita akan mengetahui hal tersebut hanya jika kita berpikir dengan kritis.

Individu memiliki potensi untuk dapat menjadi eksistensi yang aktif dan menemukan esensinya yang luhur, bukan sekadar menjadi objek pasif yang melulu menerima secara sukarela segala hal yang dilemparkan kepadanya.

Namun demikian, era kapitalisme terkini dengan segala teknologi dan metode pemasarannya membuat hal ini menjadi tidak mudah. Kemanapun individu menoleh, hampir pasti ia akan melihat komoditas yang dipasarkan.

Dari mulai billboard di pinggir jalan, rangkaian iklan pada tayangan televisi, pun berbagai media sosial  kini tak luput dari iklan dan pemasaran komoditas. Bahkan banyak narasi-narasi di dalam film atau sinema elektronik yang turut mendorong konsumerisme. Sejauh individu membuka matanya, ia takkan lepas dari paparan nilai konsumerisme.

Kita tak pernah mengetahui telah sejauh dan sedalam apa nilai konsumerisme masuk ke dalam alam pikir dan sistem pemaknaan kita. Di era yang penuh distraksi dan manipulasi ini, sudah sepantasnya individu sadar untuk senantiasa berusaha mengaktifkan akal budinya secara kritis.

Akal budi bukan lagi dianggap hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Melainkan lebih dari itu, individu harus berusaha mewujudkan kepenuhan potensi akal budi. Yakni dengan mulai mengaktifkannya sebagai kesadaran yang mandiri, reflektif, serta kritis dalam menerima segala nilai, tujuan dan pemaknaan yang dilemparkan kepadanya.

Referensi:

Sindhunata. Dilema Usaha Manusia Rasional Teori Kritis Sekolah Frankfurt Max Horkheimer & Theodor W. Adorno. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 2019.

Rio Saputro
Rio Saputro
Menyelesaikan pendidikan formal terakhirnya pada program studi S1 Sosiologi, Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai pegawai di salah satu lembaga negara. Di waktu luangnya, Ia adalah pembaca yang mencoba menulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.