Kasus intoleransi di sekolah kembali menyita perhatian. Tekanan oleh pihak sekolah SMK N 2 Padang Sumbar pada salah satu siswinya untuk memakai jilbab membuat publik bereaksi kencang. Kejadian ini dalam banyak hal menunjukkan ada masalah serius dalam pendidikan intoleransi pada khususnya dan Pendidikan Agama di sekolah pada umumnya, karena peristiwa tersebut berulang terjadi.
Sebelumnya, pada Oktober 2020, kasus pemilihan ketua OSIS SMA 58 Jakarta juga mengundang perhatian publik. Oknum guru dan Rohani Islam (Rohis) setempat dengan jelas mengusung sentimen agama dalam mengkampanyekan calon ketua OSIS yang didukung mereka. Beberapa bulan sebelumnya, masih pada tahun yang sama, seorang siswa di Sragen mendapat teror dari anggota Rohis karena tidak memakai jilbab.
Pada kasus demikian, SMA Negeri, tempat dimana kejadian intoleransi berlangsung, yang notabene dibiayai sepenuhnya oleh negara telah mempertontonkan praktik buruk dalam hal toleransi beragama. Kejadian seperti ini sejalan dengan temuan Wahid Foundation dalam Laporan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) tahun 2019. Wahid Foundation melaporkan salah satu temuan mereka tentang pelanggaran yang yang dilakukan oleh pemkab/pemkot khususnya terkait dengan pelarangan aktivitas menggunakan dalih agama tertentu, tindakan pembiaran, tindakan pemaksaan pentaatan agama serta diskriminasi berdasarkan agama
Dalam konteks penelitian yang mirip, lembaga penelitian lain juga menyampaikan laporan yang senada. Secara periodik, survey terkait toleransi di lembaga pendidikan yang dilakukan berbagai lembaga penelitian secara konsisten menunjukkan hasil negatif. Penelitian Kemenristekdikti (2018), Kemendikbud (2016), Setara Institute (2016), dan PPIM UIN Jakarta (2016) tentang toleransi di lembaga pendidikan secara umum menunjukkan lampu kuning dalam hal toleransi di sekolah. Garis besar berbagai penelitian tersebut juga menunjukkan kecenderungan sekolah negeri menjadi ladang tumbuhnya intoleransi dibanding SMA swasta berbasis agama.
Artinya, berdasar data-data tersebut, negara dan masyarakat sipil telah dengan jelas menemukan masalah dalam hal toleransi di sekolah dan perguruan tinggi. Hal ini bukan berarti menafikan potensi intoleransi pada lembaga pendidikan keagamaan (pondok pesantren dan sejenisnya). Sebagai hasil dari pola pemahaman terhadap teks agama, pendidikan agama dan keagamaan yang disampaikan oleh individu pengajar, baik guru maupun ustaz, sangat mungkin dipengaruhi keyakinan personal ketimbang bagaimana seharusnya materi pengajaran disampaikan sesuai standar dan substansi yang digariskan pemerintah lewat kurikulum nasional.
Membaca dan meneliti berbagai afirmasi dalam penelitian tersebut, kita akan mendapat banyak hal yang perlu segera mendapat penanganan. Jika selama ini fokus berbagai penelitian tentang intoleransi banyak menyasar buku, guru, dan siswa sebagai objek penelitian, maka kejadian di Sumbar adalah intoleransi yang diprakarsai kelembagaan. Lebih dari itu, sekolah juga berlindung dan berinisiatif lebih jauh dengan keberadaan regulasi pemerintah daerah yang ada, dalam hal ini Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005 tentang Wajib Berbusana Muslim.
Melarang versus Mengharuskan
Pada tahun 1982 Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah. Inti regulasi ini adalah larangan bagi pengguna jilbab di sekolah negeri. Jika bersikukuh menerapkan keyakinan untuk tetap memakai jilbab, bersiaplah untuk dikeluarkan dari sekolah.
Regulasi tersebut akhirnya memang dihilangkan pada tahun 1991 yang menandai dibolehkannya siswa berjilbab di sekolah. Namun, sentimen pelarangan jilbab bukan tidak masih terjadi. Di Tulungagung (2015) dan Manokwari (2019), kejadian pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri juga terjadi.
Hal lainnya, anjuran atau tekanan untuk memakai jilbab di sekolah juga sangat mungkin dialami siswi muslim. Hal ini tentu saja merupakan bentuk pemaksaan.
Dari kontras cerita di atas, boleh jadi berpakaian seragam di sekolah memang memiliki dramanya sendiri. Entah melarang, mengharuskan, dan mewajibkan jelas bertentangan dengan kebebasan dan keyakinan siswa. Toh, pada dasarnya regulasi tentang seragam sekolah telah diatur dengan baik, dengan mengakomodasi berbagai perbedaan dan latar belakang, dalam Permendikbud 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah.
Kita, mestinya, tidak usah meributkan formalisme berpakaian secara ekstrem dengan label agama. Kepantasan berbusana, apalagi pada lembaga pendidikan sekolah, telah diatur sedemikian rupa secara umum dengan batas-batas kewajaran yang bisa dipahami. Meributkannya dari sudut inchi per inchi ukuran hanya makin membuat kualitas pendidikan nasional makin tertinggal dari negara lain.
Pelajar dari negara lain telah bergerak sedemikian jauh dalam prestasi pendidikan mereka sebagaimana dengan mudah dilihat dalam perankingan PIRLS dan PISA. Ini akan membuat kualitas bangsa makin tidak kompetitif.
Rekrutmen Guru PAI
Salah satu masalah serius dalam penanganan pendidikan agama Islam di sekolah adalah rekrutmen guru. Selama ini, pengangkatan guru PAI berasal dari empat sumber, yakni Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah, dan yayasan sekolah (swasta). Akibatnya, pemetaan kebutuhan guru PAI juga sulit dilakukan dengan tepat.
Tiga pihak pertama yang merupakan jalur pemerintah menjalankan sendiri-sendiri proses pengadaan guru agama pada instansi kerja masing-masing. Tidak ada koordinasi memadai menyangkut kualifikasi rekrutmen. Jadinya, tidak ada kesatuan pemahaman kualifikasi dan proses asesmen calon guru PAI.
Sementara itu, pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan berada dalam kewenangan Kementerian Agama sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Kegamaan. Meski diberi mandat seperti ini, Kementerian Agama tetap menghadapi kesulitan terkait.
Paradoksnya, saat Kementerian Agama diberikan tugas untuk menjadi pengelola teknis pendidikan agama dan keagamaan, kewenangan yang diberikan tidak bersifat menyeluruh dari hilir ke hulu. Kemendikbud yang memilki kelembagaan sekolah tentu saja merasa posesif terhadap “aset”nya, demikian juga Pemda yang terkait langsung dengan sekolah dalam pengelolaan anggaran melalui Dinas Pendidikan. Dmapak negatif dari kondisi ini adalah rekrutmen dan kebutuhan guru PAI, sambil dengan mudah bisa membayangkan kesulitan lain, misalnya kurikulum PAI dan konteks buku ajar.
Dengan problem mutu dan koordinasi dalam manajemen guru PAI yang belum terpecahkan, pengembangan konsep Moderasi Beragama yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 menghadapi masalah serius. Konsep Moderasi Beragama adalah langkah yang ditempuh pemerintah secara regulatif untuk menangani problem intoleransi dan (potensi) radikalisme pada lembaga pendidikan.
Solusi mendasarnya kiranya adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Kemenag sesuai regulasi yang ada. Disamping itu, Kemenag juga harus menjadi bagian sentral dari asesmen kelembagaan sekolah dan perguruan tinggi umum, terutama dalam kaitan profiling lingkungan keberagamaan.