Tiga hari belakang ini, tulisan yang berbicara tentang JIMM muncul di permukaan. Jejaring intelektual tersebut, harus diakui, memang tidak banyak mencuat namanya di kancah nasional. Namanya tidak terlalu familiar di kalangan anak muda.
Maka, di awal tulisan ini saya tetap harus menyelipkan sedikit informasi: JIMM adalah akronim dari “Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah”, yang diinisiasi dan dibina oleh alm. Moeslim Abdurrahman (yang dalam kultur pergaulan JIMM sering disebut Kang Moeslim saja) sejak tahun 2003.
Pada mula-mula gebrakannya, JIMM kerap dituduh sebagai ‘elemen liberal’ yang proyek pemikiran mereka berpotensi merusak anak-anak muda Muhammadiyah. Hal itu wajar, karena kritik JIMM pada Muhammadiyah memang tegas: Muhammadiyah justru mengalami involusi, dan semangat pembaruan yang dulu begitu menggebrak justru hari-hari ini melempem. Pihak yang tidak suka kritik ini kemudian menyebarkan isu ‘yang tidak-tidak’ tentang JIMM.
JIMM menghadapi rintangan tersebut dengan konsisten menyuarakan maksud baik mereka—sebagaimana akan dijelaskan—dan kini mulai banyak diapresiasi kontribusinya. Tapi tetap saja, nama JIMM belum bisa disebut ‘sangat raya’, seraya nama Jaringan Islam Liberal, misalnya, yang dibincangkan bahkan hingga santri-santri kelas 1 Madrasah Tsanawiyah di berbagai pesantren.
Maka artikel M. Shofan pada 7 Februari dan artikel A. Rizky Mardhatillah Umar pada 8 Februari kemarin—yang sahut menyahut—menarik untuk diapresiasi. Tentu bukan dalam rangka melambungkan JIMM, melainkan untuk mengemukakan aras perjuangannya selama lebih dari 1 dekade ini. Bagaimana pun, JIMM telah memberi ‘pengaruh teoritis baru’ bagi sejumlah kalangan muda Muhammadiyah terpelajar dalam mengarahkan minat intelektualnya. Bahwa ‘nakal yang bernas’ itu boleh, namun ia harus diiringi dengan sesuatu yang penting: tanggung-jawab gerakan sosial.
Kedua artikel tersebut di atas menyiratkan nada ‘berharap’, dengan membayangkan bahwa JIMM seharusnya lebih terbuka dan lebih serius lagi dalam menggarap proyek-proyek pemikiran yang progresif-liberal. Kantong-kantong tradisi intelektual harus diperbanyak: forum diskusi, seminar, workshop, dan tradisi berkarya harus mengikuti tren riset kekinian. Bahkan diseminasi ide harus dilakukan lebih kreatif dan menyentuh tren digital-online, yang mendokumentasikan kegiatan-kegiatan tersebut, dan disebarluaskan di jagad maya agar ide-ide yang ditawarkan JIMM jadi ‘meraya’.
Di luar persoalan itu, nampaknya besar harapan banyak pihak agar JIMM konsisten melahirkan ‘kenakalan-kenakalan bernas’ itu. Jangan sampai, JIMM yang mengkritik kemelempeman Muhammadiyah justru turut melempem: setiap yang berniat menyegarkan justru harus menyegarkan dirinya sendiri secara terus menerus. Tulisan dari M. Shafwan dan A. Rizky Mardhatillah Umar merupakan sokongan penting.
Namun, masih ada ‘bolong besar’ dalam tulisan-tulisan tersebut, yang saya pikir, tidak merepresentasikan semangat dan arah perjuangan JIMM sesungguhnya. Sebagai yang dibesarkan dalam kultur JIMM-Malang, tulisan ini saya maksudkan untuk menanggapi dan melengkapi tulisan sebelumnya.
Kerja-Kerja Nyata
Hal yang didorong semaraknya oleh JIMM, sebenarnya, bukanlah semata pengembangan wacana pemikiran Islam yang serba-seksi, melainkan ‘aktivisme’. Kerja-kerja nyata, kongkret, dan organik, di level akar rumput, dengan ‘transformasi’ sebagai tujuan besarnya. Dengan kata lain, sebuah gerakan sosial yang melibatkan anak muda muslim dalam mengenal perikehidupan rakyat kecil, melihat ketertindasan mereka dari dekat, dan memahami penderitaan mereka dari sisi yang paling berdempetan.
Dari situ, diharapkan anak muda muslim mengembangkan etos keberpihakan pada kemanusiaan, dan kepedulian pada penderitaan yang tidak bersifat karikatif—hanya membaca data-data, lalu lantang beraksi. Menentukan suatu kesadaran kelas. JIMM mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan sosial yang dengannya kaum terpelajar muslim belajar membaca persoalan-persoalan yang ada di tengah rakyat secara langsung. Kritik kemudian diluncurkan setelah, meminjam bahasa Adian Napitupulu, “Menghirup keringat rakyat tertindas itu sehari-hari.”
Sehingga, karya-karya intelektual JIMM seharusnya diarahkan ‘dari sisi rakyat untuk kepentingan rakyat’, bukan mendatangi mereka sepintas lalu, menganggap mereka sebagai ‘bank data’, lalu mendulang karya dari penelitian itu. Itulah kepedulian yang karikatif, dan eksploitatif. Karya-karya intelektual JIMM seharusnya diarahkan untuk, dengan kacamata tertentu dan idiom-idiom agama, membongkar berbagai relasi penindasan yang hidup di tengah masyarakat, baik dalam aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Untuk itulah JIMM mengembangkan konsep “Tiga Pilar”, yang mewajibkan jejaringnya menguasai (a) hermeneutika, untuk pembacaan kitab suci secara kontekstual dan menyegarkan tafsir-tafsirnya agar sesuai dengan kebutuhan transformasi sosial; (b) sejumlah teori sosial kritis untuk membaca kondisi-kondisi kemanusiaan di lingkungan juangnya; dan (c) gerakan sosial baru, sebagai pengamalan dari macam-macam pemikiran yang digeluti.
Semua itu agar JIMM tidak terjebak dalam retorika tanpa kontribusi pada nasib rakyat. Tidak cukup hanya konsep “Tiga Pilar”, alm. Kang Moeslim sendiri melengkapi JIMM dengan teori ‘dada ilmu dan punggung ilmu’, ‘teologi kalibokong’, atau ‘kritik atas konsumerisme saleh’ dan lain sebagainya.
Visi gerakan sosial tersebut diperkuat dengan narasi yang kerap diceritakan oleh tokoh JIMM-Malang dan murid-murid awal beliau, Dr. Pradana Boy, bahwa alm. Kang Moeslim suatu saat pernah “Merasa kecewa pada perkembangan karya-karya intelektual JIMM yang justru terbuai dengan pemikiran serba seksi, tanpa mengupayakan terbentuknya laboratorium-laboratorium pemberdayaan di tengah masyarakat.”
Ushul JIMM
Saya, sebagai anak bawang di kaki-kaki JIMM saat itu, memahami satu siratan yang kuat bahwa yang diinginkan JIMM sebenarnya adalah suatu kerja nyata. Siratan tersebut mendorong saya memilih jalan literasi tradisional sebagaimana yang dikembangkan Dr. Pradana Boy, dan membangun perpustakaan di Lombok, daerah asal saya, setelah saya menyelesaikan studi. Perpustakaan itu bernama “Perpustakaan Djendela”.
Meskipun perpustakaan tersebut lepas dari embel-embel nama Muhammadiyah, namun seperti JIMM, pada pokoknya yang harus diserap dari kebesaran sejarah Muhammadiyah adalah semangat besarnya. Semangat itulah yang harus diejawantahkan kemudian. Ushul perjuangan JIMM mengembangkan etos pengabdian KH. Ahmad Dahlan dalam teologi al-Ma’un dan menyeru agar kaum intelektual semestinya lebih concern pada persoalan-persoalan mendasar rakyat, bukan mendekam di dalam pucuk menara gading pemikiran. Setelah tahu kebenaran, yang terpenting adalah memperjuangkan kebenaran itu, bukan bersilat-pamer karya-karya intelektual. []