Jumat, Oktober 4, 2024

Interpretasi Hegemoni Politik Kampus

Isna Maulida
Isna Maulida
Mahasiswi Antropologi Sosial, Universitas Diponegoro. menyukai isu-isu kebudayaan, dan seorang pembelajar yang cepat.

Tahun 2020 akan segera menutup usia yang tidak lebih dari satu setengah bulan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, akan ada pergantian jabatan dalam organisasi mahasiswa. Sebagian besar terdapat kampus yang sudah menjalankan PEMIRA (Pemilihan Mahasiswa Raya).

Pemira adalah ajang bagi mahasiswa dominan untuk menghegemoni mahasiswa lain guna mendapatkan persetujuan dan kekuatan memenangkan hegemoni. Mahasiswa yang memiliki dominasi senantiasa mempromosikan ideologi yang membenarkan posisi mereka untuk mendapat kepercayaan dari mahasiswa lain.

Praktik hegemoni tidak akan pernah lepas dari berbagai lini kehidupan, baik itu politik, ekonomi, hukum, sosial, maupun pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan ada yang memerintah dan yang diperintah. Siapa saja bisa mempraktikan hegemoni baik dalam tingkat kelompok maupun individu, mereka memberikan hegemoni dalam rangka mencapai tujuanya masing-masing ( Muhammad Syukur,2019:78).

Praktik hegemoni yang paling sering dijumpai dalam dunia pendidikan yaitu perguruan tinggi atau kampus. Menurut McDonald & Coleman1, melalui pendidikan, elit dapat menghasilkan dan mempromosikan ideologi yang membenarkan posisi mereka dengan membuat kepercayaan mereka tampak umum.

Di kampus ada yang dianggap sebagai pimpinan mahasiswa, ketika ada pimpinan berarti ada kekuasaan, kekuasaan diperoleh dari kontestasi politik kampus. Politik kampus senantiasa dirawat dan dipertahankan hingga detik ini.

Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana hegemoni ini dilanggengkan oleh individu maupun kelompok berperan dalam politik kampus? Dan bagaimana mahasiswa dapat menerima hegemoni ini?

Dalam kesadaran semu, penanaman nilai-nilai hegemoni yang dilakukan oleh kelompok dominan dalam kampus telah ditanamakan sejak menjadi mahasiswa baru. Mereka menanamkan ideologi melalui perekrutan anggota organisasi dan menjalankan kaderisasi. Setelah dikader, mereka dipersiapkan untuk berkontestasi pada politik kampus. Duduk di atas jabatan-jabatan strategis organisasi internal.

Selaras dengan teori hegemoni gramsci, kelas dominan yang berhasil mempertahankan posisi hegemoni kelompok lain yang telah memiliki asimilasi berisikan mahasiswa dengan jumlah yang  tidak sedikit. Mereka senantiasa meluaskan hegemoninya dan menundukan lawanya.

Pihak yang menang senantiasa berusaha membangun hegemoninya dalam organisasi-organisasi strategis di fakultas. Serta mengisi posisi jabatan organisasi dengan menempatkan temanya sendiri, atau istilah politik jawanya “wonge dhewe”

Inilah hegemoni yang hendak dibangun dan dipertahankan oleh kelompok dominan supaya dapat memobilisasi massa, dan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kelompok yang diyakininya.

Ketika semua jabatan terisi oleh “wonge dhewe”, maka segala pemberontakan bisa diminimalisir. Mereka berusaha diselaraskan menjadi satu tujuan. Kelompok lain jarang bisa mendapatkan kedudukan di organisasi dominan yang mereka kuasai. Mereka bagaikan bangunan yang kuat dan utuh sulit untuk dirubuhkan. Hegemoni yang begitu besar membuat kaum kelas bawah tidak bisa berbuat apa –apa.

Tentunya seseorang dari kelompok dominan yang ingin menguasai politik kampus telah memiliki Track Record yang bagus. Mereka memiliki kepemimpinan moral dan intelektual digunakan dalam praktik hegemoni politik kampus. Memperlihatkan contoh yang baik dalam hal tingkah laku maupun intelektual sehingga mahasiswa lain menjadikan mereka sebagai panutan.  Para pimpinan ini lebih mudah dalam mengarahkan mahasiswa untuk mengakui dan mendapatkan persetujuan hegemoni (Muhammad Syukur,2019:86)

Martabat dan harga diri para calon pemimpin organisasi ini dipertaruhkan jika mereka mentranformasikan pengetahuan kepada mahasiswa lain. Mereka memiliki budaya hegemoni dalam dirinya sendiri berupa pengetahuan dan cara bertindak yang lebih matang dibanding mahasiswa lain. Akibatnya, mahasiswa terlebih maba sebagai masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa mereka adalah sosok pemimpin yang pantas diikuti

Kekalahan kelas yang berada pada kontestasi pemira, menurut gramsci penyebabnya ialah karena mereka tidak mampu membentuk aliansi dengan kelompok bawahnya (Steve Jones,2006:42).

Mereka kurang bisa mempengaruhi mahasiswa lain untuk mendukungnya, barangkali ideologi dan nilai yang ditanamkan sebagai alat hegemoni tidak bisa dipahami maupun diterima oleh mahasiswa lain. Walaupun ada kelompok yang bisa ditundukan oleh kelompok dominan, namun mereka bisa saja berusaha membuat perlawanan untuk menggulingkan kekuasaan.

Setelah resmi menjadi ketua pimpinan organisasi, terdapat upaya mengcounter hegemoni dari mahasiswa lain untuk melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan yang sekarang menghegemoni. Banyak sekali bentuk akun-akun media sosial yang mengatasnamakan keresahan mahasiswa terus mengkritik oragnisasi tersebut dari segala aspek. Banyak akun-akun media sosial dengan identitas semu melakukan kritik. Tujuan mereka adalah mengkritik tanpa menampilkan identitas.

Kritik menurut Gramsci muncul karena tindakan penguasa yang tidak popular atau meningkatnya aktivisme politik oleh massa yang sebelumya pasif. Manakala kelas penguasa sudah kehilangan konsensusnya -mereka dianggap tidak lagi memimpin keresahan mahasiswa, melainkan hanya berperan sebagai dominasi- hal ini berarti mahasiswa sudah tidak percaya dengan kekuasaan mereka, mahasiswa telah lepas dari ideologi yang ditanamkan.

Hal inilah yang akan mengalami krisis kekuasaan yang dalam istilah gramsci “ yang tua sedang sekarat dan yang muda belum lagi lahir”. Tentu ini adalah situasi yang membahayakan, sehingga diisi oleh kritik-kritik yang mencoba menggulingkan kekuatan hegemoni.

Benar saja krisis ini memang terjadi, namun mereka tidak bisa mengcounter mahasiswa umumnya untuk melakukan perlawanan dalam bentuk aksi, hal ini dikarenakan kesadaran masa belum ada. Sedangkan kesadaran inilah yang akan menghasilkan perubahan revolusioner

“titik pertama gerakan pengkritisan adalah kesadaran itu sendiri”

-Antonio Gramsci-

Sumber Referensi:

Syukur Muhamad.2019.Praktik Hegemoni Mahasiswa Senior Terhadap Junior di Dalam Kehidupan Kampus.Jurnal Society.Vol.7(2)

Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci. New York: Routledge

Isna Maulida
Isna Maulida
Mahasiswi Antropologi Sosial, Universitas Diponegoro. menyukai isu-isu kebudayaan, dan seorang pembelajar yang cepat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.