Messi bersama Argentina berhasil menyempurnakan dirinya menjadi pemain bola sejagat yang mampu meraih trofi di semua level kompetisi baik bersama klub dan negaranya, baik secara personal maupun secara tim.
Dunia dibuat tak berhenti takjub. Di semua sudut bumi, hampir semua manusia “berisik” untuk membicarakan sosok sang pemain atas segala pencapaian yang diraihnya. Mungkin, akan sulit, di masa depan, bagi seorang pemain bola untuk bisa merengkuh pencapaian yang dicapai oleh Messi.
Yang tersisa dari Messi adalah cerita, sejarah, dan mahakarya prestasi sepakbola yang kini menjadi buah bibir manusia sejagat dan mungkin sampai seterusnya.
Berbeda dengan Messi yang dibicarakan dunia karena prestasinya. Di Indonesia, meski Sepakbola berbeda jauh dengan Pemilu, orang justru dibuat gaduh oleh dugaan manipulasi hasil Verifikasi Faktual Partai Politik (Verfak Parpol) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Desas desus, gonjang ganjing, dan bola liar makin berkembang setelah KPU menetapkan 17 partai politik yang berhak menjadi peserta Pemilu 2024 pada 14 Desember 2022 lalu.
Manipulasi Data dan Kejahatan Pemilu Berat
Bermula dari konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kawal Pemilu yang melaporkan adanya dugaan manipulasi data hasil verfak parpol, dan adanya dugaan intimidasi KPU pusat ke KPU Kabupaten/Kota untuk merubah hasil verfak dari Tidak Memenuhi Syarat (TMS) ke Memenuhi Syarat (MS) untuk sejumlah parpol tertentu. Isu ini kemudian mencuat ke permukaan setelah dua media nasional, Kompas dan Tempo, memberitakan persoalan tersebut secara intensif di halaman muka media mereka.
Menurut laporan, Koalisi Masyarakat Sipil memiliki data terkait dugaan manipulasi data melalui modus instruksi KPU pusat ke KPU daerah untuk meloloskan partai-partai tertentu yang semula TMS. Peristiwa ini disebut-sebut terjadi di sejumlah daerah, seperti yang terang disebutkan terjadi di Sulawesi Selatan.
Untuk menjadi peserta Pemilu 2024, sejumlah parpol non parlemen harus melalui tahapan yang namanya verifikasi faktual partai politik. Pada saat tahap pertama verfak, parpol yang belum memenuhi semua persyaratan, maka statusnya adalah Belum Memenuhi Syarat (BMS). Lalu parpol diberikan kesempatan perbaikan selama 14 hari (10-23 November), setelah masa perbaikan habis, parpol kembali menjalani verfak perbaikan, jika parpol tidak juga bisa memenuhi semua persyaratan, maka statusnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Laporan Kompas menyebutkan, di tahap ini terdapat kejanggalan yang mengarah pada dugaan upaya KPU pusat memaksa KPU daerah untuk meloloskan partai tertentu dengan memanipulasi data verfak dari TMS menjadi MS. Ini tergambar, misalnya, dari laporan Kompas yang menyebut terdapat parpol di tingkat provinsi yang memiliki dua Berita Acara (BA) yang berbeda isinya, tetapi tanggal yang tertera sama. Di BA pertama disebutkan bahwa status akhir keanggotaan parpol BMS lebih dari 50% kabupaten/kota. Sementara di BA kedua, statusnya MS di semua kabupaten/kota, tetapi belum semua anggota KPU di daerah bersangkutan memberikan tanda tangan. Anehnya, menurut Kompas, BA yang MS sama dengan BA acara rekapitulasi nasional pada 8 November 2022. BA dengan pola ini, menurut laporan Kompas, mungkin juga terjadi di daerah yang lain.
Tidak hanya Kompas, Tempo bahkan secara terang benderang melaporkan adanya dugaan kecurangan dalam proses verfak parpol oleh KPU RI. Sejumlah indikasi yang mengarah pada hal itu diungkap oleh Tempo melalui pemberitaannya. Misalnya, laporan yang diterima Tempo dari KPU Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang menyebut bahwa ada instruksi dari Ketua KPU RI untuk mengubah data hasil verfak partai Gelora dari TMS menjadi MS. Dalam laporan ini, setidaknya ada 16 kabupaten/kota yang diarahkan untuk melakukan itu. Hal yang sama juga misalnya dipertanyakan oleh KPU Aceh di group WA KPU, yang menemukan adanya perbedaan data MS dan TMS di Sipol (Sistem Informasi Partai Politik) dengan BA hasil verifikasi faktual.
Apa yang terjadi di atas sesungguhnya membuat publik bertanya-tanya, sejauh mana sesungguhnya KPU sebagai penyelenggara pemilu memiliki integritas dalam menyelenggarakan Pemilu 2024 yang bersih, adil, transparan, dan akuntabel. Apa yang kita saksikan terkait gonjang ganjing pelaksanaan proses tahapan pemilu oleh KPU mencerminkan wajah KPU yang belum sesungguhnya menggambarkan wajah yang berintegritas. Hal ini tampak pada bagaimana para pimpinannya merespon semua persoalan di atas dengan normatif tanpa memberikan kepastian bahwa apa yang berkembang sesungguhnya tidak benar.
Apa pun itu, manipulasi data dalam proses tahapan pemilu adalah suatu kejahatan yang bukan hanya memalukan, tetapi juga sebuah kejahatan yang besar karena mencoreng inti terdalam pemilu yakni integritas, dan ini tentu mencoreng wajah demokrasi serta menginjak-injak wajah konstitusi kita. Bagaimanapun, dalam konteks pemilu, manipulasi dan rekayasa data adalah pelanggaran berat terhadap asas pemilu dan praktik pemilu konstitusional. Hal ini karena perbuatan tersebut mengkhianati konstitusi dan menodai hak warga masyarakat untuk mendapatkan pemilu yang jujur, adil, dan berkala.
Mau Dibawa Kemana Semua Persoalan?
Jika diperhatikan, setidaknya isu dugaan pelanggaran pemilu pada aspek manipulasi data di tahapan verfak parpol dibunyikan oleh empat elemen kelompok berbeda. Setiap kelompok mengklaim memiliki data terkait bukti dugaan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Pertama, elemen Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Indonesia Corruption Watch, Netgrit, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Constitutional and Administrative Law Society, Forum Komunikasi dan Informasi Non Pemerintah, Pusako Universitas Andalas, Themis Indonesia, dan AMAR Law Firm. Mereka menyatakan bahwa memiliki bukti-bukti yang menunjukkan adanya dugaan pelanggaran tersebut. Bahkan, dalam laporan Kompas menyebutkan bahwa mereka memiliki data yang secara perlahan akan dibuka ke publik.
Kedua, elemen penyelenggara. Dugaan manipulasi data verfak parpol ini juga mencuat dari KPU kabupaten/kota yang berani bicara di publik terkait adanya upaya instruksi KPU RI untuk merubah data verfak parpol dari aslinya. Mereka bahkan merasa diintimidasi dan melihat adanya kejanggalan data, di mana data MS dan TMS di Sipol berbeda dengan BA hasil verfak di lapangan. Hal ini sungguh menyentak kita, karena dugaan manipulasi data justru muncul ke publik dari sumber internal KPU sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Tempo. Agak aneh jika kita mengabaikan laporan ini.
Ketiga, elemen Media. Media, dalam hal ini Tempo dan Kompas, adalah salah satu elemen yang menyebut memiliki data informasi yang menunjukkan adanya dugaan pelanggaran tersebut. Jika kita baca Kompas dan Tempo terkait masalah ini, maka kita akan menemukan secara gamblang bagaimana secara kronologis dugaan manipulasi data hasil verfak parpol ini dilakukan oleh KPU. Dalam konteks jurnalistik, sebuah berita atau informasi yang masuk ke meja redaksi hingga terbit tentu telah mengalami proses screening dan pembuktian yang ketat. Tentu, media tidak mungkin akan memberitakan jika dugaan pelanggaran tersebut tidak kuat dan mereka tidak memiliki bukti-buktinya.
Keempat, elemen partai politik. Salah satu dari empat elemen yang menyebut terdapat kecurangan dalam tahapan verfak parpol oleh KPU adalah Partai Ummat. Partai Ummat adalah satu-satunya partai yang dinyatakan TMS dan tidak lolos sebagai peserta pemilu 2024. Dalam keterangan persnya, pimpinan Partai Ummat, Amin Rais menyebut bahwa terdapat kejanggalan dan dugaan manipulasi hasil verfak dari keputusan KPU. Atas hal ini, Partai Ummat berencana mengajukan gugatan sengketa Pemilu ke Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu.
Pada dasarnya, semua elemen ini mengklaim dan menyatakan memiliki data-data pelanggaran tersebut. Namun, beberapa arah dan upaya ke mana muara ini akan dituju belum terlihat jelas. Kecuali beberapa upaya hukum yang akan ditempuh oleh Partai Ummat terkait tidak lolosnya partai mereka. Sementara itu, Themis Indonesia dalam konferensi Pers 17 Desember 2022 mengatakan berencana akan membawa persoalan manipulasi data ini ke ranah hukum. Adapun langkah yang lain masih berupa himbauan dan somasi kepada KPU.
Padahal, dalam konteks pemilu, manipulasi dan rekayasa data merupakan pelanggaran berat karena mengkhianati konstitusi dan juga menodai hak masyarakat sipil untuk mendapatkan pemilu yang jujur, adil, dan berkala. Jika kita sepakat dengan hal itu, mestinya harus ada upaya lebih dari sekadar membunyikan ini semua ke publik. Karena pada dasarnya sinyal dugaan pelanggaran ini kuat dan berasal dari empat elemen berbeda yang menyatakan memiliki bukti-bukti yang kuat. Jika ini menyangkut aspek pelanggaran pemilu oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, maka elemen-elemen tersebut harus segera membawa masalah ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk diselidiki menyangkut persoalan etik pemilu. Namun, jika ini menyangkut soal manipulasi data dan kaitannya dengan pidana, maka segera dibawa kepada pihak kepolisian untuk diselidiki.
Di sisi lain, Bawaslu sebagai lembaga pengawas dan juga penegakan hukum pemilu yang bersifat aktif mestinya segera menyambut dan merespon hasil-hasil dugaan pelanggaran manipulasi data hasil verfak parpol oleh KPU dari empat elemen di atas tanpa harus menunggu adanya laporan yang masuk. Bawaslu bisa melakukan penelusuran atas informasi awal yang berkembang di publik tersebut. Hal ini karena Bawaslu berbeda Dengan DKPP, DKPP baru hanya akan bergerak jika ada aduan, tetapi Bawaslu tidak, dia bisa bergerak ada ataupun tanpa aduan. Jika pun Bawaslu tidak memiliki data temuan dari hasil pengawasan di tahapan verfak parpol sebagaimana empat elemen di atas, maka tugas dan kewajiban Bawaslu adalah merespon semua dugaan temuan pelanggaran tersebut agar tampak bahwa Bawaslu benar-benar memfungsikan tugas dan kewajibannya. Dan ini juga untuk memastikan kebenaran yang sesungguhnya.
Integritas Penyelenggara
Ketika wasit asal Polandia, Szymon Marciniak, memberikan hadiah penalti kepada Argentina di babak pertama, sebagian warga net menduga bahwa wasit memang berkehendak memenangkan Argentina untuk menjadi juara Piala Dunia 2022 Qatar. Hal itu lantaran wasit memberikan hadiah titik putih kepada Argentina tanpa melihat VAR untuk memastikan apakah terjadi sentuhan yang berbuah pelanggaran oleh pemain belakang Perancis kepada Argentina.
Walhasil, penalti tetap diberikan dan dituntaskan dengan sempurna oleh Messi. Setelah itu, gol kedua tercipta untuk Argentina. Sepanjang pertandingan, bahkan setelah babak pertama, wasit tampak cukup adil dan berwibawa dalam mengatur jalannya pertandingan tersebut. Terbukti, dua hadiah penalti yang diberikan kepada Perancis di babak kedua dan injury time babak tambahan menunjukkan kualitas dan integritas sang wasit kepada mereka yang meragukan kepemimpinannya di lapangan. Pada akhirnya, Argentina menang dalam drama adu penalti melawan Perancis. Dan semua orang pun menerima hasilnya dan mengapresiasi kinerja wasit dan menghargai kerja keras peserta (tim)
Apa yang disuguhkan di laga final Piala Dunia Qatar itu semestinya juga bisa menjadi spirit dalam proses “pertandingan” Pemilu yang tahapannya sudah dimulai sejak 14 Juni 2022 lalu. Namun, belum juga sampai pada menit-menit pertengahan kick off pemilu, kontroversi besar justru muncul dalam diri KPU yang menyangkut integritas dalam proses tahapan verifikasi faktual parpol.
Sejak diumumkan 14 Desember 2022 terkait 17 partai yang sah menjadi peserta Pemilu 2024, gonjang ganjing dan desas desus soal dugaan jahat KPU dalam memanipulasi data hasil verfak parpol muncul ke permukaan publik tanpa tedeng aling-aling.
Isu mahadahsyat itu diduga diubah dengan sengaja dan terstruktur serta sistematis berdasarkan instruksi KPU pusat ke KPU kabupaten/kota. Jika demikian, apa yang bisa diharapkan dari penyelenggara pemilu yang sejak awal diduga sudah menginjak-injak pemilu dan melecehkan prinsip integritas penyelenggaraan Pemilu?
Pada dasarnya, upaya untuk membawa persoalan ini ke titik yang lebih fair dan jelas dengan membawa ini ke ranah hukum (baik hukum Pemilu dan Pidana) adalah upaya untuk menjaga pemilu tetap pada jalurnya yang bersih, jujur, dan adil. Upaya untuk membawa ini ke ranah yang lebih terang adalah upaya untuk mengawal pemilu tetap berjalan dengan baik, bukan justru sebaliknya menghambat atau bahkan mengganggu jalannya proses pemilu. Sebaliknya, apa yang dilakukan ini adalah upaya agar pemilu tetap dapat berjalan pada jalurnya dan tidak bergerak ke mana-mana yang justru nanti akan mendelegitimasi hasil dari pemilu itu sendiri karena prosesnya yang tidak bersih.
Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban kita sesungguhnya untuk mengawal pemilu ini tetap pada jalurnya dan sampai pada puncaknya di tahapan pungut hitung. Salah satu upaya itu adalah dengan menjernihkan kasus dugaan manipulasi data ini dari sekadar isu liar yang bermuara di persoalan eksistensi semata, tetapi lebih kongkrit dari itu adalah upaya untuk menguji semua klaim tersebut. Benarkah ada pelanggaran, siapa yang melakukannya, dan bagaimana sanksinya?