Jumat, Maret 29, 2024

Integrasi Indonesia Butuh Waktu

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.

“Integrasi yang utuh akan lahir, setelah semua pihak tidak lagi terikat dengan pertentangan primordial dan sejarah kelam, maupun dendam di masa lalu.

17 Agustus 1945, negara baru di kawasan Asia bagian tenggara diperkenalkan pada dunia. Indonesia, itulah namanya. Bangsa itu telah lahir, dan menyatakan kepada bangsa manapun di belahan bumi, bahwa mereka telah siap untuk berkiprah dalam kehidupan global sebagai entitas yang merdeka dan tidak lagi terjajah.

Perjuangan panjang telah mereka lalui untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain, mulai dari pengorbanan tenaga, darah, tak terkecuali harta benda. Kejayaan masa lampau dan takdir senasib sepenanggungan berupa penderitaan yang dirasakan berabad-abad, telah mendorong bangsa itu untuk mengakhiri kekejaman bangsa kolonial dan kebengisan tentara pendudukan.

Setelah 72 tahun berlalu, bangsa itu ternyata belum mampu mewujudkan satu persoalan yang cukup pelik, yaitu integrasi utuh dalam bingkai negara kebhinekaan.

Integrasi berarti penyatuan bangsa-bangsa yang berbeda menjadi suatu kesatuan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak menjadi satu bangsa. Berdasarkan pengertian tersebut, integrasi tidak hanya persoalan penyatuan wilayah, namun juga mengikat seluruh rakyat serta budaya yang hidup di dalamnya.

Dan Indonesia bukanlah wilayah yang dihuni oleh satu suku bangsa saja, melainkan gabungan dari banyak suku bangsa yang melebur menjadi satu entitas baru, yaitu bangsa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda-lah yang menjadi tonggak awal bagi mereka untuk mengintegrasikan diri sebagai bagian utuh dalam satu bangsa.

Belakangan ini saya melihat dan mendengar, banyak cendekiawan, politisi, dosen, pengamat politik, ataupun rakyat awam seperti saya, berbicara tentang semangat kebangsaan dan persatuan nasional.

Mereka berbicara tentang nasionalisme, NKRI, dan bangsa yang bhineka. Termasuk pula berceloteh terkait pluralisme, toleransi, multikulturalisme, bahkan kampanye anti SARA. Saya yang hanya rakyat awam, lahir di penghujung abad ke-20, serta merupakan bagian dari bangsa itupun menjadi bingung dan bertanya, “untuk apa bangsa ini membahas sesuatu yang sebenarnya sudah final dan disepakati semua pihak sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945?”

Namun kenyataannya, memang mayoritas bangsa ini masih terpecah belah, mengutamakan prinsip primordial, serta apriori terhadap identitas kelompok lain, baik yang menyangkut suku, agama, ras, ataupun adat istiadat. Dari keadaan tersebut, saya berusaha mencari jawabannya, “apa yang salah dengan bangsa ini?” Dan saya memiliki jawaban tersendiri, yang entah sudah pernah dikemukakan dan ditulis oleh orang lain atau belum.

Menjadi Indonesia

Bangsa Indonesia awalnya tidak pernah ada. Wilayah yang dahulu disebut sebagai Nusantara ini, sebelum memasuki abad ke-20, tidak pernah menyatakan diri sebagai satu negara-bangsa yang utuh, melainkan berbentuk kerajaan-kerajaan kecil maupun besar di setiap pulau yang terbentang di dalamnya.

Rakyatnya pun masih terikat dengan loyalitas dan kepatuhan terhadap raja, bukan demokrasi atau malah nasionalisme kebangsaan seperti yang dikenal saat ini. Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat di tiap wilayah melawan pasukan kolonial, semua masih bersifat kedaerahan dan berorientasi untuk menjaga kedaulatan raja sekaligus keutuhan kerajaan, atau setidaknya wilayah tempat tinggal mereka.

Mereka semua tidak mengenal kerajaan lain di wilayah Nusantara sebagai bagian dari diri mereka, tapi sebatas sebagai musuh atau sekutu saja. Dari sini dapat dilihat, bahwa mayoritas rakyat awam yang ada di akar rumput pada masa itu, tidak pernah berkenalan dengan lingkungan di luar daerahnya atau dalam artian, primordialisme mereka sangat tinggi.

Sumpah Pemuda yang hadir kemudian, memang menjadi pendobrak orientasi primordial tersebut dan menggantinya dengan konsensus persatuan bangsa, tetapi sebenarnya rakyat awam belum berpikiran hingga ke ranah itu.

Sehingga menurut saya, Sumpah Pemuda memanglah revolusioner, tetapi tiap pemuda yang hadir dari berbagai daerah itu, tidak dapat merepresentasikan pemikiran dan ‘wajah asli’ dari rakyat daerah yang diwakilinya. Proklamasi Kemerdekaan pun demikian. Proklamator bangsa ini sangat visioner dan memiliki ambisi besar untuk menyatukan seluruh wilayah bekas Hindia Belanda sebagai bagian dari negara Indonesia merdeka.

Namun demikian, kembali lagi, apakah bangsa yang awalnya terpecah dalam bentuk kerajaan-kerajaan yang telah berdiri selama ratusan tahun, sudah memiliki pemikiran dan pemahaman yang sejauh itu? Bukankah pada awalnya negara dan bangsa Indonesia, disatukan atas kesepakatan elit sekaligus pemuda terpelajarnya saja?

Bukankah pada awalnya rakyat awam hanya tahu dan peduli bahwa penjajah haruslah pergi dari tanah mereka, tanpa memikirkan ternyata bangsa baru telah terbentuk dan mereka menjadi bagian di dalamnya? Dengan demikian, mayoritas penduduk negeri ini masih berpegang pada konsensus persatuan yang lama, yaitu berdasar kedaerahan.

Orang Jawa tetaplah merasa Jawa, Minang tetaplah merasa Minang, Batak tetaplah merasa Batak, orang Irian tetaplah merasa Irian, dan sebagainya. Fenomena serupa juga terdapat dalam gerakan perlawanan berbasis keagamaan. Mereka awalnya tidak diikat dengan semangat kebangsaan, namun lebih karena semangat jihad atas nama Tuhan dalam mengusir penjajahan.

Bahkan pada gerakan yang lebih radikal, sebagian kecil di antaranya menginginkan terbentuknya negara Islam di bumi Nusantara. Saya berkesimpulan, integrasi Indonesia pada awalnya berorientasi pada penyatuan wilayah bekas Hindia Belanda, sementara integrasi rakyat sekaligus keseluruhan perangkat kebudayaan yang ada di dalamnya dilakukan kemudian hari, dan hingga kini belum selesai.

Pewaris

Setelah proklamasi kemerdekaan hingga hari ini, bangsa Indonesia telah mengalami beragam pergolakan, baik oleh pihak internal maupun eksternal. Mulai dari pemberontakan, pertentangan ideologi, gerakan separatis, konflik horizontal maupun vertikal, bahkan pernah pula menghadapi agresi militer dari bangsa lain. Semua itu diceritakan secara turun temurun, baik lewat lisan maupun tulisan, baik yang utuh maupun terdistorsi. Sejarah kelam dan pertentangan masa lalu yang bangsa ini alami, bukanlah sesuatu yang dengan mudah dihilangkan dari ingatan setiap rakyatnya.

Kebumen, kota kelahiran saya, salah satu basis Partai Komunis Indonesia di masanya, begitulah kata kakek saya. Beliau adalah pentolan Masyumi di kampungnya, yang berupaya melawan pengaruh komunis yang semakin meluas, bahkan hingga ke wilayah pegunungan Kebumen utara.

Hatinya sangat terluka, ketika Masyumi diharuskan membubarkan diri karena dianggap terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Ketidaksukaannya kepada Soekarno masih tersimpan dan diceritakan kepada anak cucunya, begitu pula kebencian pada Soeharto yang ternyata tidak lebih baik dari Soekarno dalam pengakomodasian politik Islam, dalam hal ini Masyumi.

Sementara PKI tetaplah menjadi musuh abadi yang tidak disukainya, hingga hari ini. Bukan hanya karena peristiwa G30S, namun sedari awal PKI memang menjadi lawan ideologis Masyumi. Beliau menyatakan, pembubaran diri Masyumi adalah kemenangan politis dan psikologis bagi PKI. Di sisi lain, luka ideologis yang diturunkan olehnya, juga berpengaruh kepada saya dalam kadar yang tidak terlalu besar.

Lalu saya berpikir, bagaimana dengan mereka yang anggota keluarganya dituduh PKI, lalu dipenjara, dibunuh, atau dihilangkan? Bagaimana dengan mereka yang keluarganya terbunuh dalam pergolakan di Aceh dan Papua, termasuk Timor Timur?

Bagaimana dengan mereka yang terbunuh atas nama etnis dan agama di Kalimantan, Lampung, ataupun Ambon? Bagaimana pula dengan mereka yang merasa diabaikan dalam pembangunan dan pemerataan ekonomi dibanding wilayah Jawa? Bagaimana dengan mereka yang merasa tereksploitasi oleh orang Jawa, bahkan di wilayah mereka sendiri?

Bagaimana dengan mereka yang pernah bertempur melawan tentara kolonial Belanda yang beretnis Cina, dan berinteraksi dengan centeng-centeng kolonial yang juga keturunan Cina? Bagaimana ingatan sejarah yang diliputi dendam itu bisa dihilangkan, padahal saksi sejarahnya masih banyak yang hidup hingga kini?

Melalui kisah sekaligus pertanyaan di atas, dapat dilihat bahwa sejarah kelam dan pertentangan di masa lalu, menjadikan bangsa ini memiliki dendam yang tidak pernah terputus dan terus diwariskan, sehingga integrasi rakyat belum bisa diwujudkan.

Masa Depan

Masa depan bangsa ini harus dipandang secara optimis. Saya melihat, bahwa integrasi rakyat sebagai sebuah kesatuan utuh akan terjadi di kemudian hari. Ketika saat itu tiba, keseluruhan komponen bangsa akan melepaskan sikap primordialisme mereka, dan menyatakan diri secara lahir maupun batin sebagai rakyat Indonesia sepenuhnya. Sehingga sudah tidak akan ada lagi konflik berbasis SARA, pertentangan ideologi yang desktruktif, dan dendam lama akibat sejarah masa lampau yang menghantui.

Bagaimana saya bisa yakin akan hal itu? Bangsa Indonesia telah melewati dua fase awal dalam kehidupannya, yaitu yang saya sebut sebagai fase menemukan Indonesia dan fase pembentukan Indonesia. Fase menemukan Indonesia telah terjadi saat bangsa yang awalnya tercerai berai, lalu dipersatukan melalui ide pembentukan satu bangsa dari otak para pemudanya.

Sementara fase pembentukan Indonesia telah dilalui dengan beragam dinamika, dimulai dari perjuangan diplomasi maupun militer dalam proses penyatuan wilayah, pemberontakan silih berganti, gerakan separatis, konflik horizontal, dan peristiwa lain yang dialami lazimnya bangsa plural yang baru dibentuk. Bangsa ini masih perlu untuk menyesuaikan diri dan saling memahami, itulah yang terjadi dalam fase pembentukan Indonesia.

Kini, di abad yang ke-21, bangsa Indonesia sudah memiliki generasi baru yang seharusnya terbebas dari beban sejarah masa lampau. Generasi yang tidak bersinggungan langsung dengan pertentangan ideologi di masa awal kemerdekaan.

Mereka juga tidak lagi terikat dengan masa-masa saat jiwa kedaerahan masih begitu kental. Perkawinan pada generasi sekarang sudah lebih fleksibel, tanpa menjadikan asal usul daerah sebagai yang utama, dan ini menjadikan proses munculnya “generasi Indonesia” akan segera terjadi.

Tidak adanya lagi beban sejarah, mulai hilangnya generasi lama, penghentian warisan dendam dan permusuhan melalui tersingkapnya sejarah dan berkembangnya ilmu pengetahuan, pertentangan ideologi yang hampir sudah tidak ada, dan generasi baru yang muncul sebagai hasil perkawinan campur beragam suku, menjadikan saya optimis bahwa di masa depan integrasi bangsa akan terjadi, tanpa harus terlalu dipaksakan dengan segera. Semua memerlukan waktu karena integrasi yang utuh akan lahir, setelah semua pihak tidak lagi terikat dengan pertentangan primordial dan sejarah kelam maupun dendam di masa lalu.

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.