Jumat, Maret 29, 2024

Insentif Korupsi di Indonesia

Syahril
Syahril
Peneliti di Philosophian Institute

Kasus penangkapan Bupati Batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan seolah menunjukkan bahwa perang melawan korupsi belum tuntas. Perilaku korup yang semakin marak dan menyebar hampir disemua level pemeritahan (pusat hingga desa, membuat Transparancy International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tinggi pada tahun 2016. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada pada peringkat 90 dari 176 negara, menurun dari tahun sebelumnya yang menempati rangking 88.

Hal tersebut disebabkan karena kasus korupsi yang kian tahun terus bertambah. Berdasarkan data KPK, dari tahun 2005 hingga 2017 tercatat ada 2.902 kasus korupsi di Indonesia. Dari keseluruhan kasus, ada 14,75% kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) dan 15,64% kasus masuk pada fase eksekusi. Namun sebagian besar kasus masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan masing-masing dengan persentase sebesar 30,88%, 21,30%, dan 17,44%.

Dilhat dari jabatan pelaku korupsi, pejabat Eselon I / II / III menempati posisi paling tinggi dengan 22 kasus korupsi tahun 2017, kemudian diikuti swasta dengan 14 kasus, dan anggota DPR dan DPRD sebanyak 10 kasus. Angka ini diperkirakan akan bertambah, melihat kinerja KPK yang semakin gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT).  Laporan KPK tahun 2016 menungkap jumlah OTT pelaku korupsi mencapai 58 kasus, meningkat lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Tidak adanya efek jera para pelaku korupsi disebabkan karena insentif melakukan korupsi di Indonesia sangat  tinggi (benefit>biaya). Koruptor akan menghitung biaya yang harus mereka bayar jika tertangkap dan membandingkan dengan keuntungan yang mereka terima. Biaya tersebut adalah denda finansial atas kerugian negara dan hukuman penjara. Jika perilaku korupsi di Indonesia semakin marak, patut diduga karena biaya (opportunity cost) tindakan korupsi jauh lebih rendah daripada benefit/profit yang mereka terima.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, membahas besaran denda finansial dan durasi hukuman penjara. Namun penentuan denda finansial dan hukuman penjara tidak didasarkan pada jumlah kerugian negara akibat korupsi tapi pada siapa yang melakukan.

Misalnya dalam pasal 5 dijelaskan bahwa siapapun yang memberi atau menjanjikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya akan dikenai denda finansial paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000 dan terancam hukuman penjara paling singkat  satu tahun dan paling lama lima tahun. Jika ada seseorang memberikan uang kepada pegawai pajak misalnya, sebesar Rp.500.000.000 untuk pengaturan pajak yang mungkin merugikan negara sebesar Rp. 1 Milyar hanya dikenai hukuman maksimal penjara lima tahun dengan denda paling tinggi 250 juta. Artinya masih ada keutungan (profit) yang dinikmati oleh pelaku korupsi sebesar Rp 250 juta.

Dalam Analisis Database Korupsi yang dilakukan oleh Rimawan Pradiptyo (dkk) tahun 2016 mengemukakan rerata kerugian negara akibat perilaku korupsi mencapai Rp. 203.9 Trilliun. Dari total kerugian tersebut, pelaku hanya dituntut oleh jaksa sebesar Rp. 65,5 Trilliun, sedangkan putusan pengadilan hanya mengharuskan membayar Rp. 21,3 Trilliun atau 10,45% dari total kerugian negara.

Untuk pelaku korupsi dari kalangan PNS, jaksa hanya menuntut denda finansial sebesar 4,9% dari total kerugian negara dan pengadilan hanya memutus 4,0%. Artinya jika negara dirugikan Rp 21.271 Milyar, jaksa hanya menuntut denda finansial sebesar Rp 1,044 Milyar sedangkan vonis pengadilan hanya Rp. 844 Milyar. Selisih antara total kerugian negara dan vonis pengadilan adalah Rp. 20.427 Milyar. Parahnya, denda finansial yang rendah juga diikuti oleh masa hukuman penjara yang relatif singkat.

Dalam tulisanya, Rimawan Pradiptyo membandingkan rerata vonis penjara pelaku korupsi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa selain rendah, penetapan hukuman penjara untuk koruptor juga cenderung tidak adil. Rata-rata tuntutan hukuman penjara oleh Jaksa untuk pelaku korupsi skala gurem (nilai korupsi dibawah Rp. 10 juta) mencapai 22,3 bulan. Jika mereka mengajukan banding di Mahkamah Agung, vonis menjadi rerata 13,7 bulan atau 61.4% dari tuntutan jaksa. Namun tuntutan jaksa untuk pelaku korupsi skala kakap (nilai korupsi Rp. 25 Milyar atau lebih) hanya 53,8 bulan, sedangkan vonis banding hanya 58,8% dari tuntuan jaksa atau 31,7 bulan. Persentasi vonis MA untuk pelaku korupsi skala gurem jauh lebih besar daripada kakap.

Rendahnya opportunity cost dan besaranya benefit dari perilaku korup membuat fungsi pencegahan oleh KPK tidak berjalan. Untuk itu isu pemiskinan koruptor relevan dilakukan di Indonesia. Denda finansial yang tertulis dalam UU Tipikor harus didasarkan pada perhitungan kerugian negara bukan hanya jenis tindakanya. Jika negara dirugikan Rp. 1 Milyar, maka denda finansialnya seharusnya lebih besar. Selain itu, durasi hukuman seharunsya lebih adil, dilihat berdasarkan skala korupsi. Pelaku dengan nilai korupsi Rp. 25 Milyar seharusnya mendapat vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa dan lebih tinggi lagi jika mengajukan banding di MA. Tapi tentu ini semua terantung pada berbagai variabel dalam proses persidangan.

Syahril
Syahril
Peneliti di Philosophian Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.