Beberapa hari yang lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan manuver politik yang kembali membuat gaduh seantero jagat dunia maya. Pasalnya Anies tidak ada angin, tidak ada hujan, secara tiba-tiba mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di lahan reklamasi Teluk Jakarta.
Izin tersebut diberikan untuk wilayah pulau reklamasi tentang pemanfaatan lahan, ia berkilah bahwa apa yang dilakukannya sudah berdasarkan aturan Pergub No. 206 Tahun 2016 tentang IMB itu sendiri.
Selain itu Anies seolah-olah membenarkan tindakannya dengan memberikan IMB pada pengembang. Ia berpegangan pada 5% lahan yang terlanjur digunakan untuk perumahan, dan hal tersebut tidak melanggar aturan IMB.
Jika berkaca pada Pergub No. 206 Tahun 2016. Selain itu, Anis juga berargumentasi ada sekitar 95% lahan yang tidak dimanfaatkan di atas pulau reklamasi, hal tersebut akan sangat merugikan jika tidak dimanfaatkan. Ia menekankan jika lahan reklamasi tersebut akan ditata ulang untuk kepentingan publik.
Argumentasi lainnya yang cukup tendensius juga diungkapkan oleh Anies, salah satunya ialah demi menjaga stabilitas ekonomi, terutama kepercayaan para investor dan pengembang, serta menegakkan hukum yang telah dibuat. Maka menurutnya itu menjadi dasar yang kuat untuk memberikan IMB, dan memulai babak baru sengkarut reklamasi di Teluk Jakarta. Hal inilah yang menjadi perbincangan hangat berbagai elemen masyarakat, hingga menjadi cukup viral di media sosial.
Inkonsistensi Politik Anies Baswedan
Dalam kampanye terdahulu Anies Baswedan tergolong cukup cerdik, ia memanfaatkan isu yang menjadi kelemahan musuh politiknya. Sebagai contoh, saat kampanye ia berjanji akan menghentikan penggusuran di daerah pinggiran Jakarta. Karena baginya rakyat butuh diajak dialog dan memiliki hak untuk tetap tinggal di Jakarta.
Hal tersebut bak angin yang disambut oleh kincir, beberapa organisasi yang menaungi masyarakat pinggiran memanfaatkannya untuk memberikan kontrak politik, sebagai gantinya mereka akan memilih Anies.
Di lain sisi Anies juga menjanjikan akan menghentikan segala proyek reklamasi Teluk Jakarta. Hal tersebut disambut riang dan gembira oleh masyarakat yang pro terhadap penolakan, dan mendapatkan respons positif dari kelompok nelayan Teluk Jakarta. Tentu, suara Anies terkatrol oleh masyarakat di sekitar Teluk Jakarta, serta para pendukung penolakan reklamasi.
Itu semua hanya persoalan menjelang pemilu. Pasca digebukknya Ahok dengan suara-suara masyarakat pinggiran, Anies pun setali tiga uang dengan Ahok. Wajah pemerintah DKI Jakarta tetap tidak berubah, persoalan penggusuran dan reklamasi masih saja bergulir. Setahun pemerintahan Anies, masyarakat mulai menagih janji-janjinya di kampanye lalu. Tanpa dinyana pada September 2018, ia mencabut izin pembangunan pulau reklamasi.
Tetapi, pencabutan izin tersebut serasa tak berarti. Pasalnya pada bulan November 2018, ia mengubah nama pulau reklamasi menjadi kawasan pantai dan memberikan pengelolaanya pada PT. Jakarta Propertindo atau Jakpro, BUMD yang fokus pada bidang properti.
Walaupun ia mencabut izin, tetapi di satu sisi ia juga membuka pola-pola eksploitasi dan ekspansi kapital ke kawasan tersebut. Sangat kontras dengan komitmen yang ia bangun sejak masa kampanye. Karena sejatinya penolakan atas reklamasi tidak sekedar mencabut izin, tetapi juga menolak segala aktivitas di atasnya dan berupaya untuk merehabilitasinya.
Puncak dari inkonsistensi Anies sebagai Gubernur dengan janji pro masyarakatnya, terpampang tiga hari yang lalu. Ketika ia berulah dengan menerbitkan IMB untuk perumahan, serta membuka peluang eksploitasi di pulau reklamasi. Lantas apa bedanya Anies dengan Ahok, tentu dalam konteks ini sama-sama saja. Yang berbeda hanya gaya kepemimpinannya saja, Ahok bercorak developmentalis dan Anies yang populis.
Reklamasi Tetaplah Reklamasi
Maka melihat ramainya komentar tentang inkonsistensi Anies, dengan segala gimmick politik terkait pemberian IMB di pulau reklamasi. Tidak ada hubungannya dengan keberpihakan pada salah satu tokoh. Karena yang bergulir sekarang ialah nyinyiran terhadap para penolak reklamasi Teluk Jakarta. Mereka dituduh tidak adil, karena tidak mengkritik Anies, lalu mengaitkannya dengan Ahok dan Jokowi.
Hal tersebut tidaklah tepat, reklamasi tetaplah reklamasi. Sekali menolak akan tetap menolak, karena tidak sesuai aturan dan penuh kamuflase. Serta kepentingannya tidak menyasar publik lagi, tetapi lebih ke syahwat kapital atau dalam kaitan dengan akumulasi profit. Sebagaimana sejarah awal reklamasi di Teluk Jakarta. Sejak awal reklamasi tersebut memang dikhususkan untuk kawasan ekonomi, sebagai kawasan komersil untuk para pengembang besar.
Mulai dari perubahan munculnya Keppres No. 52 Tahun 1995, lalu munculnya perubahan Perda RTRW 1995 di tahun 1999, pemberian izin ke PT. Indah Kapuk oleh Sutiyoso di tahun 2007. Penerbitan Perpres No. 54 Tahun 2008 terkait tata ruang di wilayah Jakarta, sebagai jalan yang meligitimasi eksistensi Keppres No. 52 Tahun 1997. Penerbitan Perda No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW Provinsi DKI Jakarta 2010-2030, disusul dengan terbitnya Pergub No. 121 Tahun 2012 tentang penataan kawasan pantai di era Fauzi Bowo.
Tidak hanya itu, tata aturan yang meligitmasi reklamasi pun berlanjut di era gubernur setelah Fauzi Bowo. Di tahun 2013 ketika era Jokowi menjadi gubernur, ia sempat berkoordinasi dengan DPRD untuk melanjutkan proyek reklamasi dengan bungkus Coastal Defense System yang berganti nama menjadi National Capital Integrated Coastal System (NCICD). Proyek tersebut sudah ada sejak era Fauzi Bowo dan akan dilanjutkan di era Jokowi.
Pada tahun 2014, Jokowi mundur sebagai Gubernur, lalu ia digantikan dengan Ahok. Walaupun protes bermunculan, aneka kajian tersajikan. Tetap saja Ahok tidak bergeming, ia kembali melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Bahkan ia memberikan izin pelaksanaan reklamasi untuk anak perusahaan Agung Podomoro, yaitu PT. Muara Wisesa Samudra. Tidak hanya itu saja, sejak itu program reklamasi digulirkan tanpa henti dan memberikan aneka izin kepada korporasi terkait.
Sampai pada detik ini, pola tersebut masih berjalan dan bergulir. Anies yang dari awal mengangkat isu akan menghentikan reklamasi, di tengah jalan berubah haluan. Dengan menerbitkan IMB untuk kawasan pulau reklamasi, serta mengubah nama hingga wacana penerbitan RTRW kawasan tersebut. Tak lebih melanjutkan pola-pola yang sudah ada, tidak ada bedanya dengan gubernur yang lalu-lalu.
Reklamasi tetaplah reklamasi dengan aneka kepentingan akumulasi profitnya, kepentingan publik hanya gimmick belaka. Karena reklamasi di Teluk Jakarta hanya akan memperparah keadaan ekosistem, ekonomi mikro dan sosial budaya masyarakat. Maka, apa yang dilakukan Anies selain mengingkari janjinya kala kampanye, juga menunjukan inkonsistensinya sebagai politisi.