Jumat, April 26, 2024

Inkonsistensi Larangan Mudik

Ronny Josua
Ronny Josua
Bekerja di suatu lembaga mandiri yang setingkat dengan lembaga negara lainnya

Kejadian timbulnya antrean panjang terjadi di Terminal 2 Bandara Udara Soekarno-Hatta buntut dari pelonggaran kebijakan larangan mudik. Antrean diisi oleh banyaknya orang yang sudah memiliki izin untuk berpergian dengan transportasi udara.

Hal ini mengakibatkan terjadinya penumpukan di bandara sehingga sangat sulit untuk menjaga jarak antar calon penumpang. Fenomena ini adalah salah satu wujud dari inkonsistensi pemerintah serta perumusan kebijakan yang tidak memiliki dasar yang valid.

Semenjak terbitnya larangan mudik pada tanggal 23 April 2020 lewat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.25 Tahun 2020 pergerakan keluar dan masuk dilarang di daerah yang menerapkan PSBB, zona merah penyebaran COVID-19, dan aglomerasi yang ditetapkan sebagai wilayah PSBB.

Kebijakan larangan mudik ini diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu langkah untuk mencegah perluasan sebaran COVID-19 di berbagai daerah. Kendati dalam hal legalitas kurang tepat karena hanya berlandaskan pada Peraturan Menteri dan juga dirasa cukup terlambat, namun kebijakan larangan mudik ini diapresiasi beberapa kalangan sebagai suatu kemajuan.

Tidak lama dari kebijakan tersebut, pada tanggal 6 Mei 2020 Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 .

Dalam SE tersebut terdapat beberapa pengecualian orang keluar atau masuk wilayah batas negara dan/atau batas wilayah administratif kendaraan pribadi atau sarana transportasi umum. Hal ini sontak menimbulkan perdebatan di masyarakat. Pemerintah dianggap tidak konsisten mengenai larangan mudik (atau pulang kampung?) yang telah diterapkan.

Tentu bukan pertama kalinya pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri. Salah satu contoh adalah kebijakan PSBB yang pada dasarnya mewajibkan penutupan atau peliburan tempat kerja, namun pemerintah -lewat Kementerian Perindustrian- membuat mekanisme pengajuan izin operasional dan mobilitas bagi beberapa perusahaan yang bergerak di bidang industri. Bentuk-bentuk pengecualian ini pada akhirnya membuat kebijakan penanggulangan COVID-19 tidak efektif.

Rawan Penyalahgunaan

Meskipun aparat penegak hukum termasuk personil-personil dari ragam instansi pemerintah sudah diturunkan untuk mengawasi pergerakan mudik, namun masih banyak warga yang nekat melakukan mudik.

Berbagai cara dilakukan warga agar lolos dari pantauan petugas seperti bersembunyi di bawah terpal truk dan menggunakan jasa travel gelap. Kejadian-kejadian ini menandakan masih rendahnya kesadaran atau bahkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya virus COVID-19. Apalagi tekanan ekonomi di perkotaan pada masa pandemi membuat mereka semakin ingin pulang ke kampung halaman.

Pengecualian pergerakan orang sebagaimana diatur dalam SE Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 No. 4/2020 membuat kondisi semakin membingungkan. Alih-alih memperketat ketentuan larangan, pemerintah justru membuat pelonggaran dalam larangan mudik tersebut.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati menyatakan bahwa pengecualian dilakukan untuk kegiatan yang berhubungan dengan penanganan COVID-19. Namun faktanya banyak celah yang berpotensi disalahgunakan. Seperti dalam ketentuan persyaratan perjalanan orang yang bekerja pada lembaga pemerintahan atau swasta dimana salah satu syarat harus menunjukkan surat tugas bagi PNS/Polri/TNI dan pegawai BUMN yang ditandatangani pejabat berwenang.

Melihat kiprah oknum pegawai yang sering memalsukan atau membuat surat tugas ‘pesanan’ maka tidak mengherankan apabila ketentuan pengecualian ini rawan disalahgunakan. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengamini hal tersebut dengan menyatakan bahwa kebijakan ini bisa disalahgunakan ASN untuk mudik.

Adanya syarat kesehatan sebagai pertimbangan pengecualian juga tidak serta merta menjamin keamanan tidak terjadinya penularan. Siapapun bisa melakukan perjalanan dengan menunjukkan hasil negatif COVID-19 berdasarkan PCR Test/Rapid Test atau surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/rumah sakit/puskesmas/klinik kesehatan.

Surat keterangan sehat sebagaimana praktiknya di masyarakat sangat mudah untuk didapatkan. Ketentuan indikator yang digunakan dalam surat keterangan sehat tersebut relevan atau tidak dengan COVID-19 sama sekali tidak diatur dalam SE tersebut. Sehingga bisa saja seseorang yang sudah terinfeksi COVID-19 tanpa gejala dapat memperoleh surat keterangan sehat dengan datang ke klinik kesehatan terdekat yang tidak memiliki fasilitas uji COVID-19.

Apabila sudah memiliki prasyarat surat tugas dan surat keterangan kesehatan namun tidak mewakili lembaga pemerintah dan swasta, maka seseorang masih bisa melakukan perjalanan dengan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai oleh lurah/kepala desa setempat. Tentu kita berharap seluruh kepala desa atau lurah di Indonesia dapat menjalankan wewenangnya dengan penuh tanggungjawab namun mengingat praktik KKN yang masih sering ditemui dalam penyelenggaraan pemerintahan baik tingkat rendah hingga tertinggi, maka munculnya surat pernyataan ‘bodong’ yang dapat dipesan agar bisa mudik sangat memungkinkan.

Jadi Praktik Diskriminasi

Ketentuan pengecualian perjalanan ini juga bernuansa diskriminatif. Keistimewaan diberikan kepada beberapa kalangan untuk melakukan perjalanan di tengah-tengah larangan mudik. Terlebih praktik-praktik penyalahgunaan ini hanya bisa dilakukan bagi orang yang memiliki akses atau relasi dengan pihak yang berwenang mengeluarkan dokumen prasyarat.

Masyarakat kelas atas yang memiliki ‘fungsi ekonomi penting’ tentu berbahagia dengan munculnya SE ini. Seharusnya pemerintah bisa membuat ketentuan yang lebih ketat apabila ingin membuat suatu kebijakan pengecualian. Jangan sampai pengecualian ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Hal ini bisa melukai hati masyarakat lain yang sudah bersusah payah menahan keinginan untuk mudik.

Dalam masa perperangan melawan pandemi COVID-19, penting bagi pemerintah untuk memastikan setiap kebijakan seharusnya dikeluarkan secara hati-hati dan telah melalui kajian yang cukup. Jangan sampai kebijakan yang bertujuan baik justru menambah masalah yang baru.

Virus bisa menyerang siapapun sehingga penerapan setiap kebijakan guna memperlambat penyebaran COVID-19 sebaiknya diaplikasikan secara merata dan adil. Di beberapa negara yang telah berhasil mengalahkan COVID-19, kedisiplinan dan kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan. Jangan ada lagi inkonsistensi kebijakan. Semua pihak harus menyikapi dengan ekstra serius agar bisa menang.

Ronny Josua
Ronny Josua
Bekerja di suatu lembaga mandiri yang setingkat dengan lembaga negara lainnya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.