Memilih bukanlah suatu pekerjaan mudah. Pilihan pasangan calon satu mewakili kebebasan memilih, pasangan kedua malah mendukung kuminis, pasangan ketiga sangat agamais (demi Tuhan). Fenomena konflik dalam sosial media tak dapat dipungkiri mewakili suara politik tertentu.
Salah satu fenomena asik juga terdapat di facebook. Ada seorang teman penulis jelas-jelas membuat status di facebook, “pasangan siapakah yang bagus dipilih? Yang jelas bukan banteng”. Wah ini sudah jelas-jelas terlihat keanehan.
Padahal, di belakang pasangan calon (yang dia pilih) justru membentuk koalisi yang bahkan banteng itu ada sebagai sekutunya. Ini aneh atau sebagian para pemilih (voters) itu kurang bijak dalam memilih?
Fenomena-fenomena politik sekarang makin hari makin lucu, atau bisa saja sebaliknya. Kemarin sewaktu pemilihan justru ada seorang tuyul yang berwarna ungu, makin ngawur aja.
Ada juga kesan positif bagi kaum adam. Bagi kaum adam, mereka memiliki kesempatan membuat status-status galau. Misalnya di facebook, “aku bisa memilih di TPS, tapi belum bisa memilih pasangan hidup.” Jadi seakan-akan cocoklogi ini makin merajalela.
Setidaknya ada 3 jenis para pemilih yang bisa dilihat melalui fenomena politik saat ini:
- Eksistensialis
“Aku berpikir, maka aku mengada.” Bukannya itu mengada-ngada? Seperti itulah doktrin Descartes, yang telah lama dikibarkan di barat hingga ke timur. Kita berada di dalam selimutnya. Walaupun pada akhirnya, doktrin tersebut mati. Sekarang mengada-ada banyak versi, baik melalui teknologi maupun agama sekalipun.
Seorang eksistensialis merupakan seorang yang mengada, yang selalu memprioritaskan makna keberadaan. Namun, bagaimanakah jika jenis itu ada di seorang pemilih?
Tergantung dari aspek manakah dia berpijak. Jika dia seorang agamais, maka tentu dia berada dengan mendahulukan aspek agama yang ada di dalam dirinya. Tentunya, pemilih ini biasanya ribut di sosial media, dan lebih mendukung pemimpin yang dilihat dari aspek agamanya.
Akan tetapi, bagaimana dengan aspek moral dari seorang calon pemimpin yang bakalan dipilih itu (tapi ini belum pasti, tergantung dari sudut pandang agama lagi)? Yah, tentu saja dicueki. Tapi bukan berarti itu semena-mena, hanyalah tindak lanjut cocoklogi belaka.
Inti diri eksistensialis sebenarnya tak lepas dari ateisme. Isme merujuk kepada narsisme kemanusiaan tanpa sentuhan Tuhan. Mereka mengada, bukan karena ada tuhan, tapi karena mereka sendiri berusaha untuk mengada. Tapi sekarang aspek dari eksistensialis mulai goyah dikarenakan teknologi yang makin canggih. Jadi “aku bersosmed, maka aku mengada…”
- Nihilis
Para kaum nihilis tentunya mengetahui nama Nietzsche. Dialah seorang guru dan filsuf terbesar saat ini. Tapi di sini tidak diperkenang bicara yang sulit untuk dipahami oleh para pembaca. Sebenarnya bukan si filsuf itu sih, tapi para artis yang milih tapi belum mandi seperti Nella Kharisma, dan Via Vallen. Mereka berdua memiliki paham nihilis. Ngapain coba mandi kalau belum milih?
Mohon maaf (ralat), ternyata yang belum mandi itu Dodit Mulyanto. Dialah pemimpin kaum nihilis. Dia berani mandi asal selesai pemilihan. Entah makna pemilihan itu apa artinya bagi dia.
Kaum nihilis menganggap keberadaan makna di muka bumi ini tak ada. Sangat buram, bukan? Tapi sebenarnya kaum nihilis lebih condong ke materialis. Jika memang makna tak akan pernah tercapai, satu-satunya jalan yaitu melalui materi.
Jenis kedua ini cenderung mempunyai perilaku yang menerima seorang pemimpin kalau ada ‘serangan fajar’ yang diberikan. Jenis ini kebanyakan berada di kelas menengah ke bawah.
- Absurdis
Jenis ketiga ini kadangkala memperlihatkan betapa kecewanya diri mereka di hadapan pilihan politik. Mereka merasa lelah dengan pilihan-pilihan yang ada. Bagi mereka, pilihan tersebut absurd. Itu disebabkan karena tak adanya perubahan. Apa yang mereka sangka sebelumnya, justru berbalik arah dengan hasilnya. Mereka merasakan keabsurdan.
Jenis ketiga ini biasanya diwakili oleh pemilih sebelumnya. Istilah trennya biasa disebut sebagai bubble politics. Istilah ini cenderung dipakai dalam bidang ekonomi dan politik. Artinya ada ketidakstabilan pilihan yang dimiliki oleh para pemilih.
Pilgub sebelumnya dukung si anu, tapi karena kecewa, pigub kali ini milih si ani. Atau biasanya didapati kalau saat kampanye calon pemimpin berjalan. Visi misi sudah mantap, tapi kampanye tak bertanggung jawab. Aduh! Jenis ketiga ini juga cenderung untuk tak memilih. Yah, kecewa gitu.
Dari ketiga jenis di atas, jenis manakah para pembaca? Apakah absurdis? Eksistensialis? Atau nihilis? Terus, bagaimana sikapnya jika ini masalah status jomblo yang dimiliki pembaca? Iya, kamu…