Di tengah pandemi virus covid-19 atau corona yang meradang, masih saja ada orang yang menebar hoaks, menimbun kebutuhan pokok berlebihan, mencuri masker dan handsanitizer seperti yang terjadi di Sukabumi baru-baru ini. Bahkan, belakangan di beberapa kota acap terjadi korban korban kecelakaan yang hanya dibiarkan tergolek di bibir jalan.
Masyarakat tak berani mendekat apalagi menolong korban. Mereka takut korban positif terpapar corona. Warga tak lebih hanya menonton dan memilih menunggu petugas tiba. Selain itu, kelakuan kita masih menjadi-jadi terhadap pasien positif corona dan keluarganya, misalnya penghinaan, penggunjingan dan pengucilan maupun perundungan lainnya yang acap membuat tidak nyaman.
Penolakan pemakaman jenazah pasien corona masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Tasikmalaya, jenazah positif corona terpaksa harus tertahan di mobil ambulans selama berjam-jam lantaran pemakamannya ditolak warga. Di Sumedang , Jawa Barat, jenazah seorang profesor yang meninggal dunia setelah terjangkit virus corona juga mengalami hal serupa (kompas.com, 1/4/2020).
Pasien positif corona di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah mengalami penolakan ketika hendak dimakamkan. Warga berspekulasi jika virus corona masih bisa menular ketika jenazah sudah dimakamkan.
Menanggapi hal itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo meminta, agar kejadian penolakan jenazah yang terjadi di Purwokerto adalah yang terakhir. Menurutnya, penolakan tersebut melukai perasaan keluarga pasien. Beberapa pakar kesehatan yang telah dihubunginya, menyimpulkan jika pasien sudah meninggal dan sudah melakukan prosedur pemakaman tidak menimbulkan penularan (suarajateng.id,1/4/2020).
Membaca situasi demikian, Istana tak tinggal diam, melalui Tenaga Ahli KSP Ali Mochtar Ngabalin menyayangkan adanya warga yang menolak pemakaman jenazah korban virus corona. Istana menegaskan tak boleh ada penolakan pemakaman jenazah korban covid-19 (detiknews.com, 1/4/2020). Sebelumnya diberitakan, fenomena penolakan pemakaman jenazah korban Corona terjadi di sejumlah daerah, di antaranya di Gowa, Makassar, Medan dan Depok, dll.
Perilaku kita dengan pembiaran korban kecelakaan di jalan, perundungan pasien positif corona maupun penolakan pemakaman jenazah korban corona mengindikasikan sebagai aksi-aksi kontraproduktif, yang hanya menujukkan buruknya mutu kita sebagai bangsa besar. Atau kita memang hanya (bermulut) besar
Ketika kita menolong korban di jalan mestinya tak melihat dia positif corona atau bukan. Hal ini harus kita kembalikan pada diri kita sendiri atau keluarga kita yang mengalami. Apa yang mesti kita perbuat. Inilah refleksi kemanusiaan yang mesti naik kelas. Maka kemudian seharusnya tak ada lagi perundungan bagi pasien maupun keluarga positif corona apalagi penolakan pemakaman.
Kearifan lokal kita menyorongkan bahwa orang hidup itu harus tolong menolong, kita tak bisa hidup sendirian dalam kondisi apapun. Pancasila pun selalu menyuarakan pada kita untuk saling membahu, memandu dan membantu. Kemerdekaan negeri ini juga tak lepas dari modal sosial itu, yakni gotong royong.
Para Pahlawan kita akan menangis menyaksikan masyarakat yang terpapar corona acap di-bully oleh saudaranya sendiri. Jangan sampai pasien dan keluarganya ini mengungsi di tanah sendiri. Itu tak boleh terjadi.
Pada fragmen lain, adanya penolakan pemakaman korban covid-19, jelas-jelas tindakan itu tak relevan dengan konten-konten kerukunan, persatuan dan tanpa diskriminasi. Jangan malah belanja ke mal memakai pakaian hazmat atau APD lengkap. Di rumah saja jauh lebih baik dan terjaga. Corona menguji sense of crisis kita.
Memerdekakan
Selama kita menghirup udara di negeri yang bernama Indonesia, kita tak boleh mencabik kerukunan, kedamaian dan persatuan. Apalagi mereka yang sudah meninggal, banyak diributkan, dimusuhi dan ditolak. Pola-pola yang kurus dari nilai tepaslira, toleransi mesti dihentikan. Jangan pernah mengaku milenial jika mindset-nya masih kolonial.
Mesti dipahami, pasien maupun korban corona juga telah, sedang dan akan terus berjuang melawan corona. Sekurangnya membebaskan diri dan keluarganya dari agresi corona. Siapapun kita memastikan tak ada yang mau terjangkit corona, tapi sekali lagi cara-cara buruk di atas justru semakin menguatkan predikat mereka lebih tepat sebagai covidiot.
Covidiot sebelumnya lebih banyak mengarah pada mereka yang bebal atas protokoler kesehatan dan keamanan dalam mencegh penyebaran virus corona, tapi covidiot satu ini telah mati gaya dan mati rasa.
Karena, di samping bebal, mereka ini juga menjadi raja tega. Tidak saja tega larane ora tega patine (tega sakitnya tapi tak tega meninggalnya), tapi malah tega larane lan patine (tega sakit dan meninggalnya). Kita bukan bangsa yang bebal, bukan bangsa yang malang.
Sudah saatnya kita memerdekakan diri, keluarga dan menjaga bangsa dari koloni corona. Ada saatnya berkata-kata, ada saatnya kita berbuat nyata. Bukan jamannya hanya menuntut dan menyalahkan pemerintah. Menjadi part of solution lebih baik ketimbang part of problem. Mari guyub rukun, saiyeg saeka praya meringkus keliaran corona. Pandemi corona, sekurangnya menjadi momentum kita memperkuat toleransi dan merawat kebhinekaan. Kita bukan Don Kisot, menyerang kincir angin yang dikira raksasa.