Pembangunan infrastruktur yang santer terdengar beberapa tahun belakangan ini agaknya merupakan frasa yang cukup pelik untuk dipahami. Secara praktis infrastruktur diafiliasikan dengan fasilitas-fasilitas yang dianggap dapat memudahkan aktivitas masyarakat. Bentuknya bermacam mulai jalan, listrik, jembatan, sarana transportasi, sampai telekomunikasi.
Konsep pembangunan infrastruktur ini sendiri selalu disandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Anita Kumari & Anil Kumar Sharma dalam tulisannya yang berjudul Infrastructure financing and development: A bibliometric review merangkum beberapa penelitian yang bertalian dengan kajian infrastruktur dan mendapat kesimpulan bahwa infrastruktur sejatinya merupakan instrumen penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Ia menyatakan bahwa peningkatan infrastruktur sebesar 1% disuatu negara berbanding lurus dengan peningkatan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 1% di negara tersebut.
Proyeksi menjanjikan tersebut menjadikan pembangunan infrastruktur cukup trendy di banyak negara di dunia dalam dekade terakhir ini. Ambilah satu contoh proyek ambisius China dalam Belt and Road Initiative (BRI) yang banyak membangunkan negara-negara dari tidur panjangnya ihwal infrastruktur di negaranya.
Mulai dari Asia, Afrika, sampai Amerika Latin. Dari Pakistan, Montenegro, Mongolia, Georgia, sampai Djibouti. Bangunnya negara-negara tersebut banyak diikuti oleh negara lain yang akhirnya turut beramai-ramai membangun beton-beton dengan ambisi meningkatkan ekonomi di negaranya.
Pun hal yang sama terjadi di Indonesia.
Berkaca pada pembangunan infrastruktur di Indonesia sendiri, bukan hal yang asing lagi jika Presiden Joko Widodo tengah memiliki fokus yang begitu besar terhadap pembangunan infrastruktur. Komitmen Jokowi akan infrastruktur kemudian dibuktikan dengan dilakukannya peningkatan anggaran belanja infrastruktur negara, formulasi proyek prioritas dan proyek strategis nasional, merangkul partisipasi swasta melalui skema Public Private Partnership, sampai hutang luar negeri.
Motivasi pembangunan infrastruktur tersebut kemudian digadang-gadang dilakukan untuk meningkatkan konektivitas dan lagi-lagi soal ekonomi, yaitu masalah ketimpangan. Dalih tersebut kemudian diperjelas dengan tujuan yang lebih rigid yaitu mengurangi biaya transportasi dan logistik yang lebih murah, pertukaran barang dan jasa yang lebih efisien, dan persaingan produk-produk nasional dengan produk asing.
Tak ayal jika infrastruktur jamuan pemerintah ini disambut baik oleh sebagian masyarakat. Misalnya Jalan Tol Transjawa yang dapat mempersingkat waktu perjalanan bagi mereka-mereka yang ingin memindahkan barang atau keperluan lain seperti bertemu handai tolan saat bermudik. Manfaat lain juga terjadi di sektor listrik yang kemudian dapat berdampak positif terhadap pemenuhan kebutuhan listrik pabrik-pabrik.
Meskipun demikian manisnya infrastruktur bukan tanpa menyisahkan pahit. Dengan membuka mata sedikit lebar, pembangunan infrastruktur tak melulu soal ekonomi dan kemudahan yang tak habis-habis. Lebih jauh dari itu, banyak obyek materiil yang harus dikorbankan oleh masyarakat.
Masalah Klasik Pembangunan di Indonesia: Land Grabbing dan Dampak Lingkungan
Dibalik hingar bingar kebermanfaatan infrastruktur tersebut, nampaknya masih banyak pihak yang harus menelan pil pahit tanpa merasakan khasiatnya. Sebut saja Bendungan Sukamahi, Pelabuhan Kijing, Tol Manado-Bitung dan proyek-proyek lain yang menghadapi masalah yang sama yaitu pengambilalihan lahan milik rakyat.
Salah satu proyek yang juga mengalami masalah yang sama adalah PLTU Batang. Ambisi pemerintah dalam menyediakan sarana pembangkit listrik terbesar se-Asia Tenggara itu bukan tanpa meninggalkan pedih bagi masyarakat disana.
Lahan-lahan pertanian dibeberapa desa seperti Desa Karanggenengan, Ujungnegoro, dan Wonokerso dipagari untuk dijadikan lokasi proyek. Terhitung berapa kepala yang harus kehilangan mata pencahariannya. Jalur hukum coba ditempuh oleh masyarakat Batang untuk mempertahankan kepemilikannya meskipun pada akhirnya harus menerima kekalahan melawan yang lebih berkuasa.
Semua kerugian rakyat yang jelas nampak didepan mata kemudian dibayar tuntas dengan ganti rugi. Atau kalau tidak jika perusahaan yang terlibat mau berbaik hati dengan semua welas asih yang diberikan masyarakat maka akan dibayar lagi melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Padalah diluar masalah itu juga masih ada dampak lingkungan yang tidak diperhitungkan. Dalam proyek yang sama, Greenpeace mencatat bahwa PLTU Batang akan melepaskan 226 kg merkuri setiap tahun ke wilayah Ujungnegoro – Roban yang merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Sebuah debit tahunan 226 kg merkuri bisa menjadi bencana bagi perikanan lokal, mengingat bahwa 0,907 gram merkuri dalam danau dapat membuat ikan di area seluas 100m2 tak layak dimakan. Belum juga masalah penggunaan bahan bakar batu bara yang dampaknya tak kalah buruk.
Hitung Menghitung Dampak Buruk Infrastruktur
Memahami bahwa masalah terbesar infrastruktur di Indonesia adalah masalah pembebasan lahan dan dampak lingkungan menjadikan pemerintah Indonesia memiliki PR besar untuk melakukan kajian lebih lanjut. Terlepas dari pemerintahan Jokowi akan selesai dalam hitungan bulan, permasalahan lahan, lingkungan, atau masalah teknis pembangunan lain di lapangan harus segera diselesaikan.
Terlebih anggapan mengenai infrastruktur digunakan untuk memudahkan masyarakat nampaknya juga sering tidak seirama dengan pendapat masyarakat sendiri. Tak semua supir truk dan bus memilih lewat jalan tol dengan dalih lebih cepat. Bahkan beberapa supir yang saya temui lebih memilih jalan trabasan dengan alasan gak perlu bayar.
Jika pertimbangan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah semata-mata adalah pertimbangan ekonomi, maka pemerintah masih mengamini konsep pembangunan yang sangat usang. Senada dengan cuitan akun @mrshananto di sosial media yang perlu dipertimbangkan lagi, “Deandels juga bangun jalan gak berarti Jawa bahagia.” Lantas bagaimana?
Daftar Pustaka
Fiyanto, Arif. 2014. Abuses: “Health impacts and Risks Associated with Indonesia’s Batang Coal Fired Power Plant Project”. Greenpeace Brief Paper. http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/587242/2014-03%20Batang%20briefing%20paper_FINAL.pdf
Kerja Nyata, https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/KSP%202%20Tahun%20Jokowi%20JK.pdf
Kumari, Anita & Kumar Sharma, Anil. (2017),. Infrastructure financing and development: A bibliometric review. International Journal of Infrastructure Protection . Vol 16
Safitri, Hilma. 2015. Commoditization of Energy: a Case of PPP Scheme Implementation in Central Java Power Plant/CJPP Projects, International Academic Conference, Chiang Mai University: The Regional Center for Social Science.