Jumat, April 19, 2024

Infodemi di Tengah Covid-19 dan Cacatnya Teori Konspirasi

yusuf mukib
yusuf mukib
Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan.

Lonjakan kasus COVID-19 membuka mata kita dalam melihat kekacauan penanganan Pandemi. Dalam hal ini, sektor media informasi memegang peran vital yang setara dengan otoritas kesehatan. Tugas media informasi tidak hanya menyebarkan pengetahuan namun juga memandu tentang apa yang harus kita lakukan dan tidak boleh dilakukan dalam situasi saat ini. Seiringan dengan itu, media digital dengan kecepatan dan kemudahan aksesnya menjadi primadona masyarakat dalam mencari informasi.

Akan tetapi, kondisi belakangan ini media digital menyimpan seumbrek masalah yakni berkaitan dengan infodemi. WHO mendefinisikan bahwa infodemi adalah terlalu banyak informasi, termasuk informasi palsu atau menyesatkan selama wabah penyakit. Tedros Adhnom, direktur jendral WHO mengatakan “Kita tidak hanya melawan pandemi, namun juga melawan infodemi”. Pada tanggal 29 Juni, WHO secara resmi memulai pembicaraan tentang efek global dan pengelolaan infodemi dengan Konferensi Infodemiologi ke-1 yang mengumpulkan para ahli internasional dari berbagai latar belakang ilmiah dan politik (WHO, 2020).

Di era keterbukaan infromasi saat ini, infodemi membuat keletihan dalam mengelola informasi yang pada giliranya orang-orang akan percaya informasi secara mentah-mentah. Persebaran informasi ibarat banjir bandang yang dapat melululantahkan tanggul-tanggul berpikir kritis. Banjir bandang tersebut beriringan dengan sampah dan rongsokan disinformasi/misinformasi yang dibawanya. Disinformasi adalah informasi palsu yang di sengaja sedangkan misinformasi ialah infromasi yang salah/tidak akurat.

Dampak yang diakibatkan oleh infodemi cukup signfikan terhadap penanganan pandemi. Hal tersebut dikarenakan dis/misinformasi dapat membuat masyarakat kebingungan dalam pengambilan sikap serta berakibat pada perilaku dan keputusan yang salah. Sehingga, itu akan berpengaruh terhadap lamanya wabah berakhir.

Launa dalam penelitianya menyimpulkan jika fenomena banjir infodemi tidak ditangani secara serius oleh pihak pemilik otoritas, potensial memicu ketidakpercayaan publik terhadap tanggung jawab institusi global dan otoritas negara, memantik sikap apatis publik dalam mengantisipasi dan menangani bahaya wabah secara kolektif (Luna, 2020).

Salah satu rongsokan dan sampah infodemi yang belakangan ini memenuhi laman media adalah beredarnya teori konspirasi. Bale mendefinisikan bahwa teori konspirasi adalah keyakinan bahwa sekelompok aktor bertemu dalam kesepakatan rahasia dengan tujuan mencapai beberapa tujuan jahat (Jan-Willem van Prooijen, 2018).

Isu teori konspirasi mengalami lonjakan seiringan dengan berlangsungnya pandemi. Hal tersebut berkembang dengan desas-desus yang berbeda, diantaranya seperti Virus Corona merupakan rekayasa Bill Gates, Virus Corona adalah senjata biologis China, sinyal 5G sebagai perantara virus, maupun pandemi merupakan akal-akalan elite global dll. Bisa dikatakan Pandemi Covid-19 telah menjadikan ladang beternak bagi perkembangbiakan teori konspirasi.

Teori konspirasi ibarat makanan basi yang di kerumuni lalat. Berbagai wacana konspirasi tentang COVID-19 di endors oleh publik figur seperti artis, pesulap, motivator dan bahkan koruptor. Dengan berbekal retorika dan logika anti-mainstream, mereka mudah mendapatkan pengikut. Hasil Survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan masih terdapat banyak misinformasi yang membuat banyak orang tak percaya terhadap COVID-19. “Sebanyak 18,5 persen plus 2,7 persen setuju sama pernyataan itu COVID-19 mungkin hanya hoaks. Jadi 20 an persen atau seperlima penduduk kita menganggap COVID-19 itu hoaks,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin.

Jika kita mengamati berbagai argumen dari para advokat teori konspirasi, kita akan menemukan berbagai kecacatan berpikir (logical fallacy) yang terkesan logis namun menipu dan menyesatkan. Salah satunya adalah Confirmation Bias. Kecacatan berpikir ini merupakan keinginan untuk membenarkan hal-hal yang hanya ingin kita percayai. Cara berpikir semacam ini membawa kita untuk hanya mencari informasi dan bukti yang sesuai dengan asumsi yang pada dasarnya kita percayai namun cenderung menafikkan dan menyangkal bukti dan informasi yang bersebrangan dengan kepercayaan dan hal-hal yang tidak kita sukai.

Confirmation bias lumrah terjadi dalam penalaran kehidupan kita sehari-hari. Hal ini berdasarkan pada sifat alamiah manusia yang cenderung mencari informasi, asumsi dan bukti berdasarkan hal-hal yang disukai. Hal itu diakibatkan karena kebenaran-kebenaran yang kita sukai merupakan area yang membuat perasaan kita nyaman. Sehingga kenyamanan tersebut menjadi tembok yang memenjarakan pikiran-pikiran objektif dan kontras dengan cara berpikir ilmiah yang melihat sesuatu secara objektif.

Di satu sisi, teori konspirasi merupakan hasil dari kenaifan seseorang dalam memahami situasi yang tidak pasti. Di dorong dengan kecemasan dan kepanikan saat pandemi, orang-orang cenderung mencari jawaban dengan jalan pintas sehingga teori konspirasi dengan penjelasanya yang pasti menjadi jalan keluar dari kebuntuan situasi. Dengan membuat musuh proyeksi dan rencana jahatnya yang rahasia, teori konspirasi begitu memuaskan untuk menjelaskan keadaan acak dan tak menentu.

Hal tersebut dapat dijelaskan secara historis. Teori konspirasi merupakan produk hasil evolusi manusia selama juataan tahun. Ketika Homo Sapiens hidup di alam liar mereka mengandalkan cara berpikir konspiratif untuk bertahan hidup. Saat mereka bertemu dengan kawanan Homo Sapiens yang asing, otak mereka akan cenderung berpikir bahwa kawanan asing tersebut memiliki agenda jahat terhadap kawanannya. Mereka mempunyai kecurigaan terhadap hal-hal yang belum mereka kenal sebagai naluri bertahan hidup. Akibatnya prasangka tersebut membuat sapiens mempertahankan kawananya dari ancaman sehingga dapat melanjutkan keturunannya.

Bagi yang sudah tenggelam dengan kebiasaaan malas berpikir, tentunya tidak mudah untuk memahami bagaimana kecatatan dari teori konspirasi. Namun cukup dengan menyediakan ruang kesabaran dalam pikiran dan tidak terburu menyimpulkan adalah cara sederhana untuk melihat kecacatan dalam teori konspirasi. Serta yang terpenting adalah memegang sains adalah obor terbaik untuk menerangi akal sehat.

Bisa dikatakan bahwa jebolnya tanggul berpikir akibat banjir informasi dan menjamurnya teori konspirasi di masa Pandemi bukan membuat kita bodoh namun telah melanjangi kebodohan yang sebelumnya mengakar.

DAFTAR PUSTAKA

1.Jan-Willem van Prooijen, M. v. (2018). Conspiracy Theories: Evolved Functions and Psychological Mechanism. Perspectives on Psychological Science , 771-786. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1745691618774270

2.Launa, Launa. (2020) Banjir Infodemi : Viralitas Akurasi Berita Virology Dalam Fenomena Coronavirus Desease, 1-33. Diakses dari http://jurnal.usahid.ac.id/index.php/ilmu_komunikasi/article/view/305

3.Syamsudi , Irwan (2021, Februari). Survei Indikator: 21,2% Percaya COVID-19 Hoaks, 41% Enggan Divaksin. Diakses dari https://tirto.id/survei-indikator-212-percaya-covid-19-hoaks-41-enggan-divaksin-gat3

4.WHO. Infodemi. Diakses dari https://www.who.int/health-topics/infodemic

yusuf mukib
yusuf mukib
Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.