Rabu, April 24, 2024

Influks Pencari Suaka di Australia?

Zakia Shafira
Zakia Shafira
Political Science student. Interested in geopolitics and defence studies.

Berkali-kali Malcolm Turnbull, perdana menteri Australia ke-29 yang memimpin sejak 2015 hingga 2018, membahas tentang keterbukaan ekonomi dan fluiditas pertukaran sumber daya manusia, baik itu pelajar maupun tenaga kerja.

Tetapi, dalam kuliah umumnya di awal Oktober lalu yang bertempat di kampus FISIP UI, Depok, ia luput membahas kebijakan-kebijakan yang diterapkan bagi pengungsi dan pencari suaka yang kini banyak ditelantarkan maupun dikirim kembali ke negara asal.

Mungkin sedikit disinggung hanya ketika ada satu audiens yang bertanya mengenai hal terkait. Padahal, perlu digarisbawahi bahwa kerja sama antara Indonesia dan Australia bukan hanya sebatas perekonomian, perdagangan, atau pertukaran tenaga kerja, namun juga permasalahan pengungsi dan pencari suaka.

Influks kedatangan pengungsi dan pencari suaka bukan hanya menjadi masalah bagi kepentingan nasional dan kedaulatan Australia, tapi juga Indonesia sebagai negara transit dan tempat tinggal para pengungsi dan pencari suaka yang bersifat temporer.

Sebagai pengaturan skema kerja sama antara negara-negara di Asia Tenggara dan negara-negara Barat, telah dibentuk Comprehensive Plan of Action (CPA) yang menyetujui bahwa negara-negara Barat bersedia memberikan suaka kepada para pengungsi dengan syarat negara-negara di Asia Tenggara harus bersedia menampung mereka sementara waktu.

CPA disetujui pada bulan Juni 1989 dalam konferensi di Jenewa yang diselenggarakan oleh Steering Committee International Conference on Indo-Chinese Refugees. Australia sepakat menjadi salah satu negara tujuan para pencari suaka sejak tahun 1954 dengan meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

Masalah mulai merebak setelah Tony Abbott mengeluarkan kebijakan baru. Mulai tahun 2013 di periode kepemimpinan Tony Abbott, Australia menerapkan kebijakan Operation Sovereign Borders dengan mekanisme Regional Deterrence Framework, yang pada intinya mengintersepsi dan mengusir kembali pencari suaka yang datang ke laut Australia.

Ia menolak semua orang asing yang memasuki wilayah lautnya secara ilegal, termasuk pengungsi dan pencari suaka untuk memerangi imigran gelap yang berpotensi mengganggu kedaulatan.

Kemudian, kapal yang mengangkut orang-orang asing tersebut dikembalikan ke negara keberangkatan terakhir (Khamdan, 2014). Sementara itu, di Indonesia sendiri penanganan pengungsi dan pencari suaka juga kurang optimal.

Pada dasarnya, kebijakan ini melanggar prinsip hukum internasional, di antaranya prinsip non-refoulement (Negara-negara Pihak pada Konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah Negara.

Pihak yang akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena opini politiknya), hak asasi manusia, SAR obligation, penanganan penyelundupan imigran, dan juga pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia (Jufri, 2017).

Ditambah lagi, Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang artinya Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima para pengungsi dan pencari suaka atau menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi mereka (seperti lapangan pekerjaan, tempat tinggal, dll), namun tidak juga diperbolehkan untuk melakukan pengusiran (prinsip non-refoulement). Peristiwa ini menjadikan hubungan diplomatik Australia dan Indonesia sempat memanas.

Hingga kini, kebijakan Operation Sovereign Borders masih terus diberlakukan dengan slogan “turn back boats”-nya. Beberapa pengungsi dan pencari suaka yang ditolak untuk masuk ke wilayah perbatasan Australia terpaksa mengungsi di Pulau Manu dan Nauru di kamp-kamp penahanan yang tidak kalah menderitanya.

Jika tidak, cukup besar pula kemungkinan mereka akan hilang atau mati di pemakaman laut. Para pengungsi dan pencari suaka, dengan kondisi stateless-nya, mengalami kerentanan yang luar biasa. Sebab, hak-hak dasar mereka sangat sulit untuk terpenuhi karena statusnya yang tidak dilindungi oleh payung hukum negara manapun.

Jika Australia terus membawa narasi yang  menjunjung tinggi keamanan dan kedaulatan negaranya, lalu, bagaimana dengan nasib negara-negara yang, dengan kesepakatan Australia juga, telah menyetujui untuk jadi negara transit sebelum para imigran menuju ke Australia untuk menetap?

Indonesia tidak pernah bersikap dengan senang hati dan sukarela dalam menerima kedatangan gelombang pengungsi dan pencari suaka. Meski demikian, Indonesia tetap mentolerir dan menyediakan mereka dengan kebutuhan-kebutuhan khususnya, dengan catatan, untuk sementara waktu.

Referensi: 

Jufri, M.M., “Violations of International Law by the Government of Australia in Practice of Turn Back the Boat Management Policy for Asylum Seekers” dalam Jurnal Hukum Internasional Volume 14 Number 2 January 2017.

Khamdan, M., (2014) “Imigrasi Nasional dan Problem Para Pencari Suaka” dalam BPSDM Kementerian Hukum dan HAM RI, diakses dari http://www.bpsdm.kemenkumham.go.id/id/artikel-bpsdm/130-imigrasi-nasional-dan-problem-pencari-suaka?tmpl=component&print=1&layout=default

Konvensi mengenai Status Pengungsi, 25 Juli 1951.

Missbach, A., (2016), Troubled Transit: Politik Indonesia bagi Para Pencari Suaka, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zakia Shafira
Zakia Shafira
Political Science student. Interested in geopolitics and defence studies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.