Berkembangnya industri hiburan Korea rupanya telah menyihir masyarakat di penjuru dunia untuk terus mengikuti perkembangan mereka. Film, drama, dan K-Pop merupakan sihir yang membuat candu. Drama dan K-Pop menjadi bagian dari produksi yang tidak pernah redup di mata masyarakat. Setiap tahun jumlah penikmatnya meningkat pesat sehingga menuntut para industri seni untuk memproduksi karya-karya baru dengan daya pikat tinggi.
Aksesnya pun sangat mudah. Saat ini banyak aplikasi yang menyediakan produk dari industri hiburan di Korea yang dapat diakses kapan saja. Tentunya ini sangat fleksibel bagi para pencintanya, sebab mereka dapat memantau kapan saja dan di mana saja, baik di kampus, di kantor, di kantin, sebelum tidur, bahkan di sela-sela jam kerja.
Grup K-Pop, khususnya Girl Band, selalu menghadirkan personil-personil seks, atau biasa juga dikenal dengan bom-seks. Dalam hal ini, seks yang dimaksud bukan semata-semata merujuk pada perilakunya, tapi lebih kepada sisi fisik atau penampilannya.
Contoh nyata yang mungkin masih segar untuk diperbincangkan adalah Blackpink. Girl band terkenal ini lagi-lagi merajai jagat perK-pop-an berkat aksi comebacknya. Tak tanggung-tanggung, lagu berjudul “How You Like That” berhasil menggaet 100 juta lebih penonton dalam waktu dua hari.
Jika kita mempertanyakan kenapa hal tersebut bisa terjadi, mungkin jawaban sederhananya adalah karena orang-orang menyukai mereka. Namun, sebenarnya ada alasan tersembunyi kenapa orang-orang begitu mengidolakan K-Pop, khususnya Blackpink.
Kekuatan tersembunyi dari kesuksesan Blackpink (begitu juga dengan grup K-Pop yang lain) tidak lain adalah fantasi yang dihadirkan. Sebagaimana disebutkan oleh Jacques Lacan, tokoh psikoanalisis dari Prancis, fantasi ini memegang prinsip “Che Voi” yang berarti “apa yang kamu inginkan dariku?
Blackpink berhasil menghadirkan para personil dengan visual yang nyaris sempurna. Wajah cantik, kulit putih, tubuh tinggi dan ramping, serta kemampuan dance dan suara yang apik itu terkemas menjadi satu kesatuan dalam tiap personil yang kemudian mampu menjadi objek bagi kemunculan fantasi seseorang.
Dalam hal ini, orang-orang yang menginginkan wajah cantik, kulit putih, tinggi, ramping, lincah, bahkan terkesan seksi, dapat direpresentasikan oleh kehadiran Blackpink sehingga grup tersebut yang pada akhirnya dijadikan acuan untuk memenuhi keinginan itu. Maka, dapat dikatakan bahwa Blackpink adalah fantasi itu sendiri.
Visual Blackpink yang menjadi objek fantasi ini adalah bagian dari pemenuhan hasrat seksual seseorang, yang berkaitan dengan terangsangnya organ-organ tubuh. Jadi, sebagaimana dikatakan di awal bahwa girl band K-Pop selalu menghadirkan personil-personil seks itu karena visual yang mereka hadirkan mampu menyentuh sisi seksualitas seseorang.
Fantasi yang disuguhkan ini menyasar ke berbagai kalangan. Jika kaum perempuan saja terobsesi, maka sudah jelas kaum laki-laki pun akan terangsang dan berfantasi untuk memiliki pasangan seperti para personil Blackpink.
Dalam ranah fantasi ini kemudian menurut Lacan dikenal dua istilah, yaitu objek hasrat dan objek penyebab hasrat. Objek hasrat adalah sosok yang hadir. Dalam hal ini, visual dari personil Blackpink yang cantik, putih, mulus, langsing, dan ramping tersebut adalah objek hasrat.
Sementara itu, objek penyebab hasrat adalah sesuatu yang abstrak, yang bersembunyi di balik sesuatu yang konkret. Misalnya, bagaimana para personil Blackpink itu direpresentasikan sebagai perempuan yang feminim, lincah, genit, bahkan terkesan seksi.
Dengan demikian, alasan kenapa K-Pop begitu diobsesikan oleh banyak kalangan, bahkan tidak sedikit yang menjadikan personilnya sebagai role model oleh para penggemarnya adalah konstruksi fantasi yang mampu memenuhi hasrat mereka. Maka, prinsip dari fantasi “apa yang kau inginkan dariku?” itu memang menepati janjinya.
Namun, perlu diingat, ketika fantasi seseorang terlayani, maka pada akhirnya hal tersebut akan membuatnya berhasrat terhadap sesuatu yang mungkin saja sulit atau bahkan mustahil untuk dipenuhi/dimiliki.
Lalu, apakah obsesi terhadap K-Pop itu selamanya negatif? Bisa saja kita menjawab tidak. Dewasa ini, sebagaimana disebutkan oleh Wahyu Budi Nugroho, Sosiolog Universitas Udayana, dikenal istilah glokalisasi, yaitu bagaimana Timur mengadaptasi segala hal yang datang dari Barat sehingga menjadi suatu budaya yang sama sekali baru.
Korea-yang merupakan bagian dari negara Timur-adalah salah satu contoh dari proses glokalisasi itu. Kita mengamini bahwa genre musik pop memang berakar dari Barat, tapi kemudian grup-grup K-Pop itu mampu mengadaptasi budaya barat menjadi sesuatu yang baru di negaranya. Bahkan saat ini, Barat pun sudah tidak asing lagi dengan K-Pop.
Tentunya proses ini tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh negara kita. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengadaptasi aliran musik pop itu ke dalam lagu-lagu daerah yang kita punya. Belakangan, cara ini tampaknya sudah mulai dipraktikan. Terlihat dari bagaimana kaum-kaum muda pegiat musik berusaha mengemas lagu-lagu lokal menjadi aliran musik pop, diantaranya “Kasih Slow”, Karna Su Sayang”, dan “Sayang”.
Beberapa lagu tersebut menambah daftar lagu Indonesia yang berhasil terdengar sampai ke luar negeri. Ini adalah bagian dari glokalisasi yang sangat perlu untuk dikembangkan. Cara ini juga sekaligus mengubah stereotip yang cenderung memposisikan negara-negara Timur sebagai korban dari budaya Barat, atau biasa dikenal dengan “globalisasi”.