Di usia yang tak muda lagi, Indonesia masih terus dilanda dilema, di mana mencari sosok dan tokoh yang benar-benar nasionalis, patriot, negarawan, adalah hal yang begitu sulit. Seakan-akan orang-orang yang belakangan ditokohkan, selalu syarat akan unsur politik golongan penuh kepentingan.
Kenapa demikian? Sebab pada praktik jalannya politik, justru yang terjadi malah menunjukkan ketidaknegarawan dan bentuk pengkhianatan seperti halnya masih tumbuh suburnya koruptor, radikalis, penjahat politik, dan model lainnya, yang hampir semuanya merujuk ke arah egoisme diri maupun kelompok khususnya di hasrat ekonomi.
Oleh karena itu, ancaman demi ancaman atas jalannya revolusi Indonesia ke arah kemajuan menjadi tersendat dan bahkan mengarah pada hal-hal yang sangat dihindari. Perpecahan, ketimpangan sosial dan hukum, dan lain sebagainya.
Sosok dan tokoh negarawan yang didamba-dambakan akan membawa revolusi Indonesia ke arah yang berkemajuan akhirnya adalah seperti menghisap jempol. Malah kita (bangsa Indonesia) akan menahan pil pahit di hari-hari yang terus berganti.
Belajar dari Bung Karno
Tampaknya kita, khususnya para petinggi di negeri ini memang harus membaca ulang bagaimana tokoh negarawan terdahulu yang namanya, semangatnya, dan pemikirannya terus hidup di hati bangsa Indonesia. Salah satunya tentang kenegarawanan Bung Karno.
Ada sebuah kisah tentang sosok Bung Karno yang menginspirasi, mengedukasi kebangsaannya, dan jauh dari sebagaimana disebutkan di atas, yakni sebuah egoisme yang mengarah pada hasrat diri untuk kesejahteraannya sendiri maupun kelompoknya.
Di dalam buku yang berjudul “Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno” yang ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, dan M.F. Mukti, menjelasakan kisah tragis di akhir kepemimpinan Bung Karno yang sejauh kita ketahui, dipolitisasi dan dihancurkan kehidupannya oleh Soeharto.
Soekarno, di suatu pagi di Istana Merdeka meminta sarapan roti bakar seperti biasanya kepada pelayan. namun para pelayan malah menjawab, “Tidak ada roti.” Soekarno lantas menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang”. Dijawab lagi oleh pelayan, “Itu pun tidak ada”. Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau”. Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.” Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.
Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan Soeharto terhadap dirinya tersebut. Bung Karno berkata, “Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu”.
Di saat yang lain, setelah menjemput dan mengantar Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi Saelan mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar”.
Soekarno sangat negarawan di dalam kisah tersebut. Terbukti bahkan sampai nasi kecap pun tidak didapatkan sosok proklamator kemerdekaan itu dan ia tidaklah protes dan bersikap layaknya pemilik negeri. Apalagi sampai saat ia harus dikurung di dalam penjara, ia tidak sampai mengorbankan nyawa rakyatnya oleh karena politik.
Untuk Para Tokoh Kini
Pilpres ronde kedua tahun 2019 yang begitu riuh hingga kini, dan telah memakan banyak korban dan perpecahan bangsa Indonesia, serta para sosok yang mengaku politisi dan negarawan yang malah menunjukan tindakan yang bertentangan dari yang semestinya seperti terus-terusan melakukan konspirasi, janji palsu, korupsi, mementingkan diri dan kelompoknya, dan semacamnya mau tidak mau harus menyadari bahwa Indonesia sedang kritis karena ulahnya.
Menyadari bahwa sejarah bangsa ini lahir dari darah dan nyawa orang-orang yang ikhlas berkorban agar tidak lagi ada yang disebut dengan penjajahan dalam model apapun.
Menyadari bahwa jalannya sejarah bangsa ini telah dibelokkan oleh mereka yang selalu mendengungkan secara lantang tentang kemajuan, namun justru sebaliknya yakni justru ke arah kemunduran. Sekian.