Setelah melewati bulan – bulan dengan ragam intrik kerjadian semasa di tahun 2018. Wacana keagamaan Islam dibutuhkan, ada yang mengatakan sebagai agenda politik tahun 2019, ada pula menganggap bahwa ini adalah saatnya Islam bangkit karna Islam sebagai pemeluk agama mayoritas di Indoensia, dan berbagai macam tanggapan masyarakat tentang wacana ke-Islaman itu dibangkitkan.
Berbagai probelimatika bangsa Indonesia di tahun 2018 yang paling hangat dibicarakan tetap sama di tahun sebelum – sebelumnya adalah agama Islam. Berbagai kalangan ikut menkritik punya jenjang pendidikan Agama Islam akan pendapat para alim Ulama yang tinggi akan pemahaman nilai – nilai toleransi.
Semua itu karena ulah dogma Cyber hoaks sosial media yang menjelek – jelekkan para alim Ulama dengan penafsiran sembarangan tanpa ada rujukan tertentu dengan bumbu hadits dan ayat al – qur’an tanpa rujukan tafsir alim ulama.
Itulah sebabnya Nilai – Nilai toleransi keislaman Indonesia terasa berkurang dengan hadirnya hoaks di sosial media dan para politikus begitu berani memasukkan Agama Islam sebagai lahan rebutan bagi mereka. Pencintraan keislaman dilakukan, dengan protret ritual ibadah mereka demi meraup suara simpati masyarakat Muslim.
Meski kuatnya wacana keislaman tentang mudahnya memfatwa haramkan sesuatu di Indoensia tetap masyarakat Muslim tak begitu banyak terperngaruh oleh biasnya issu Agama akan hangatnya intoleransi dan kasus menyerupai Agama nonmuslim di akhir tahun 2018.
Salah satu kota yang tidak merayakan malam tahun baru tanpa kembang api dan terompet adalah kota Banda Aceh. Pemprov Aceh mengeluarkan surat imbauan Nomor 003.2/30781 tertanggal 27 Desember 2018 yang ditandatangani oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Aceh memang dikenal sebagai serambi Mekkah, sebaegai salah satu pusat syariat keislaman diberlakukan, bahkan seringkali melakukan swipin pakaian wanita yang ketat. Di malam pergatian tahun baru 2019, Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman rela mencabut izin usaha jika kedapatan melakukan perayaan tahun baru dengan perayaan meniup terompet, live musik dan membakar kembang api, di Hotel, Restoran, dan Cafe. Semua ini dilakukan karena alasan adat dan Agama.
lalu bagaimanakah pandangan Islam yang merayakan malam tahun baru dengan banyaknya anegdot yang beredar di masyarakat, yang merayakan malam tahun baru dan meniup terompet menyerupai Agama lain (non muslim).
Pendapat Abu al-Hasan al-Maqdisi yang dikutip dalam al-Hawi karya Imam al-Suyuthi, tampaknya, pola pikir realisitis lebih relevan dengan redaksi yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam menyikapi kemungkina kemunkaran, yaitu “fal-yughayyirhu” yang berarti “maka ubahlah”. Artinya, penanganan kemungkaran tidak melulu melalui prosedur larangan (nahi munkar), dapat juga melalui prosedur perubahan (transformasi).
Misalnya ketika walisongo menggunakan wayang sebagai alat menyebarkan Agama Islam dengan mengubah cerita wayang yang biasanya. Sama halnya kegiatan malam tahun baru di isi dengan Doa bersama meski tetap ada semacam ucapan selamat tahun baru atau bentuk apresiasi suka cita dengan kembang api sebagai wujud kebahagiaan menyambut tahun baru masehi.
Cak Nun saja memberikan penalaran bagi kita tentang meniup terompet itu, bukanlah perkara melanggar atau menyerupai suatu Agama tertentu (Yahudi). Jika meniup terompet itu melanggar ketentuan beragama Islam maka malaikat Israfil sang peniup sangkakala termasuk beragamakan Yahudi atau pengetahuan Agama tentang tugas malaikat Israfil itu adalah ajaran Yahudi.
Mengucapkan selamat tahun baru masehi atau mengucapkan selamat hari natal bagi kaum Kritiani tidak menjadi sebuah larangan dalam beragama Islam, asal semata – mata niat dalam diri kita hanya ingin menyambung silaturahim atau hubungan harmonis dengan yang berbeda Agama, contoh ulama yang memperbolehkan adalah yusuf al-Qaradhawi, Musthafa al-Zarqa, Ali Jumah dan Quraish shihab.
Meski pengharapan besar beberapa pemerintah daerah, untuk tidak melakukan perayaan malam tahun baru, namun realitas masih banyak merayakan malam tahun baru dengan suka cita. Baik yang berada di kota – kota besar dan kampung ikut bersuka cita menyambut kedatangan malam tahun baru.
Tanpa menghiraukan beredarnya fatwa – fatwa yang melarang merayakan dan mengucapkan “sealamat tahun baru 2019”.Seperti halnya Ibu Kota negara DKI Jakarta, berharap tak ada letupan kembang api dan uforia lainya sebab anggapan gubernur jakarta Anie Baswedan, di akhir tahun 2018 terjadi Tsunami di selat sunda, tetap saja warga jakarta melakukan perayaan malam tahun baru dengan letupan kembang api yang menghiasi langit bundaran HI Jakarta.
Sepatutnya pemerintah daerah tidak begitu radikal dalam menanggapi yang sifatnya perayaan malam tahun dengan berbagai macam ancaman. Harusnya memiliki terobosan baru, misalnya jika memang suatu daerah bermayoritaskan beragama Islam, melakukan doa bersama masyarakat dan pehujung acara melakuka pesta kembang api, seperti halnya yang dilakukan pemerintah banyuwangi dalam momentum menyambut tahun baru 2013 lalu, yang dihadiri langsung oleh Prof, Dr. Quraish Shihab.
Tak perlu adalagi perdebatan panjang perihal halal haramkah perayaan tahun baru masehi. Ini hanyalah perbedaan, melihat cara pandang tanggal melalui matahari dan bulan. Matahari yang didasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi) dan Bulan yang didasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan). Kelender matahari dianut tahun Masehi, sedangka kelender bulan dianut tahun Hijriah.
Namun, kelender Matahari dan bulan tidak bisa diklaim sebagai milik pribadi suatu agama, entah Kristen ataupun Islam. Keduanya adalah kelender milik bersama, karena digunakan sebagai standar penanggalan di seluruh dunia, seperti penanggalan Tionghoa dan Saka, lalu masih takutkah kita mengucapkan selamat tahun baru 2019 ?.