Indonesia masih tertinggal dari negara lain dalam penggunaan energi terbarukan di dunia. Alih-alih mendukung dalam pengurangan dampak krisis iklim pada Conference of the Parties (COP) yang telah diratifikasi lebih dari 195 negara dunia. Pada faktanya, mayoritas pembangunan pembangkit listrik untuk pemenuhan suplai energi di dalam negeri terus saja melirik pada sumber energi kotor yakni batubara.
Total Anggaran Pendapatan Nasional tahun 2019 yang digunakan sektor energi listrik termasuk peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 59.3 Trilyun rupiah seharusnya dapat mengubah arah kebijakan nasional untuk lebih banyak memilih pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) dibandingkan energi yang bersumber batubara.
Dimana potensi penggunaan EBT di berbagai wilayah belum dilakukan maksimal oleh pemerintah ataupun pihak swasta yang masih berpendapat cadangan bahan batubara yang masih melimpah di negeri ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot Ariyono pada laman Kompas.com tanggal 26 Juli 2019 mengatakan bahwa cadangan produksi batubara mencapai 41 miliar ton dan dapat digunakan hingga tahun 2100.
Hal ini disebut apabila produksi batubara per tahun tetap stabil di angka 400-500-an juta ton per tahun. Terlebih lagi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 56.6 Giga Watt (GW) atau rata-rata 5.6 GW/tahun.
Angka tersebut masih didominasi bahan bakar sektor batubara dengan perolehan 27.1 GW atau 44% dari total. Hal ini didukung data yang dihasilkan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) bahwa lebih dari 88% dari listrik yang dihasilkan berasal dari bahan bakar fosil, 60% diantaranya berasal dari batubara, 22% dari gas alam dan 6% dari minyak. 12% sisanya berasal dari energi terbarukan. Produksi batubara seperti yang kita tau menimbulkan emisi CO2 di udara lebih banyak dibandingkan PLT yang lain.
Hasil data penelitian Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mengenai perhitungan faktor emisi CO2 PLTU batubara dan PLTN. Tiga PLTU yakni PLTU Indramayu, PLTU Rembang dan PLTU Banten menghasilkan 16.309,4 Kilo Ton CO2 per tahun dari kapasitas produksi nya mencapai 2220 Mega Watt.
Bayangkan apabila total PLTU di Indonesia yang memiliki kapasitas energi mencapai 27.1 GW dihitung potensi emisi karbon yang dihasilkan, maka akan diperoleh data mencapai lebih dari 20 Terra Giga Ton CO2 yang terlepas diudara. Emisi karbon yang terlepas ke udara dapat menimbulkan banyak permasalahan tak hanya bagi manusia.
Sumber emisi karbon tersebut akan berdampak pada kesehatan manusia dan juga makhluk hidup yang ada. Data yang didapatkan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, jumlah lubang tambang tahun 2018 di Kalimantan mencapai 1735 lubang tambang dan sebanyak 36 korban meninggal di lubang tambang.
Jumlah tersebut masih dapat bertambah hingga saat ini dan belum dikalkulasikan secara nasional. Insiden korban meninggal di lubang tambang tidak direspon serius oleh pemerintah untuk memberikan sanksi berupa penghentian izin dan denda bagi perusahaan yang terbukti bersalah. Inilah sekian silang sengkarut yang terjadi di bumi pertiwi yang katanya kaya akan sumber daya alam.
Namun selalu saja dieksploitasi sektor energi tanpa memikirkan jasa lingkungan yang selama ini terjadi dan keanekaraaman hayati. Pengrusakan lingkungan tersebut tentunya tidak sejalan dengan kesepakatan Indonesia konferensi negara-negara di dunia akan diselenggarakan di Spanyol.
Pertemuan COP25 tentang perubahan iklim yang akan diselenggarakan di Madrid, Spanyol tanggal 2-13 Desember 2019 menyisakan tanda tanya bagi Indonesia. Apakah yang akan dikatakan oleh perwakilan Indonesia tentang apa yang telah dilakukan dan akan dilakukan terkait upaya meminimalisir dampak perubahan iklim sektor energi.
Hingga tahun 2018, sektor energi khususnya EBT baru mencapai 12% dari total pemenuhan energi nasional. Sedangkan target 23% EBT hingga tahun 2023 perlu dipercepat baik dalam pengalokasian APBN setiap tahunnya dalam pembangunan EBT maupun dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pembangunan EBT sangatlah tergantung pada kebijakan nasional. Pembangunan EBT dapat dimasukkan dalam rencana APBN setiap tahunnya maupun RPJMN 2020-2024. Namun target yang terdapat dalam RPJMN Revisi 14 Agustus 2019 diturunkan menjadi 20%. Hal ini tidak sesuai dengan komitmen pemerintah sebelumnya yang mengatakan akan meningkatkan pemenuhan EBT di Indonesia mencapai 23% tahun 2023.
Presiden baru (Jokowi) yang telah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019 lalu dinilai perlu untuk melakukan pengecekan kembali terkait langkah Indonesia dalam melakukan peningkatan EBT yang ramah lingkungan. Saat ini dalam lima belas nama dalam kabinet (baik menteri maupun wakil menteri)nya penuh dengan latar belakang yang berkaitan erat dengan pertambangan.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim diantaranya: melindungi hutan, mengaudit seluruh izin pertambangan dan memperketan potensi pertambahan izin lingkungan untuk pertambahan, dan kebijakan pembangunan nasional yang ditekankan pada pembangunan nasional.
Perlindungan kawasan hutan, perlindungan ini sangat penting dilakukan oleh Indonesia, mengingat telah banyak terjadi deforestasi, dan kebakaran di wilayah hutan. Selain itu, alihfungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi, peruntukan kawasan lain hingga masuknya izin pertambangan, perkebunan, pertanian melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) turut mempercepat perubahan iklim semakin ganas di dunia.
Perlindungan kawasan hutan mampu mengatasi dampak emisi karbon yang dihasilkan dari sektor pertambangan, peternakan, pemukiman hingga transportasi yang telah terjadi di Indonesia. Selain itu perlu adanya audit bagi seluruh izin pertambangan yang telah beroperasi di Indonesia.
Audit seluruh izin pertambangan dan memperketat dalam pertambahan izin lingkungan untuk pertambangan juga perlu dilakukan. Maraknya izin pertambangan di Indonesia ditambah tumpang tindih izin pertambangan antar perusahaan tambang di berbagai daerah memperkeruh proses izin investasi dari sektor energi. Kasus lubang tambang yang ditinggalkan oleh perusahaan hingga peristiwa meninggalnya orang dilubang tambang perlu dilakukan tindak hukumnya untuk perusahaan.
Untuk itu, perlu dilakukan pengawasan yang lemah dari sektor kementrian ESDM, KLHK, dan sektor lainnya yang berkaitan dengan terbitnya izin pertambangan di daerah tersebut sangatlah perlu dilakukan. Pengawasan dengan koordinasi multi kementrian dan pihak terkait tentunya perlu didorong dari segi kebijakan pembangunan nasional yang menekankan pada EBT. Pembagian dalam APBN untuk sektor energi nasional lebih digunakan pada pembangunan EBT. Selain ramah lingkungan, pembangunan EBT juga disesuaikan dengan beragam wilayah geografis di Indonesia.