Jumat, April 26, 2024

Indonesia, Antara Nasionalisme dan Demokrasi

Hilman Gufron
Hilman Gufron
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Meskipun berasal dari kata ‘Nation’ yang berarti bangsa, sebuah nasionalisme suatu negara memiliki sebab berbeda pada awal terbentuk perjanjiannya. Ada yang sekalipun satu ras dan etnis namun memutuskan untuk memilih jalan berbeda dalam kebangsaan. Korea Utara dan Korea Selatan, terpisah karena ideologi. Pakistan dan India, terpisah karena agama.

Ada pula yang tidak menjadikan ras, etnis, maupun suku sebagai pembatas terbentuknya nasionalisme. Belgia, yang warganya adalah campuran etnis Belanda dan Prancis. Indonesia, yang terdiri dari ratusan suku, etnis, dan budaya yang berbeda namun memutuskan diri sebagai satu bangsa, Bangsa Indonesia.

Terlepas dari perbedaan sebab awal terbentuknya sebuah bangsa dan munculnya nasionalisme, negara-negara di dunia sudah mulai terbuka akan naturalisasi. Globalisasi memberikan sebuah kesepakatan bersama bahwa semua orang bisa menjadi warga negara mana saja yang ia mau. Tentu saja syarat-syarat yang dituntut di setiap negara untuk mendapatkan status kewarganegaraan pasti berbeda.

Demokrasi, yang secara umum berarti kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat menemukan beberapa gesekan dengan prinsip nasionalisme. Benturan ini sering sekali terjadi sehingga banyak akhirnya yang menganggap bahwa Nasionalisme dan Demokrasi itu bertentangan satu sama lain.

Di beberapa negara eropa serta amerika utara, masyarakat bahkan memposisikan individu yang nasionalis pada spektrum “right” pandangan politik. Artinya nasionalis adalah orang kanan. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa nasionalisme dan fasisme pada dasarnya sama saja, golongan “far-right”.

Semakin hari, masyarakat di Eropa, (khususnya Eropa Barat dan Skandinavia) dan Amerika Utara (AS dan Kanada) semakin condong ke dalam paham Globalis dan Internasionalis. Mereka mulai beranggapan bahwa pemujaan berlebihan terhadap negaranya sendiri adalah toxic.

Negara yang hanya merupakan Watch Dog atau Anjing Penjaga, tidak lebih dari sekedar sekuriti atau pelayan. Tugas mereka adalah melayanai masyarakat karena memang mereka dibayar melalui pajak untuk itu. Tidak perlu mengagung-agungkan simbol negara seperti bendera, lambang, maupun lagu kebangsaan. Tidak ada keistimewaan di dalamnya.

Nasionalisme, yang kebanyakan pahamnya mengharuskan warganya untuk mendahulukan kepentingan negara dibanding kepentingan individu, memiliki benturan dengan paham demokrasi. Paham Kebangsaan di Barat memposisikan rakyat dan negara adalah dua zat yang terpisah. Negara sebagai Pelayan Rakyat. Artinya kewenangan negara yang hanya sebatas anjing penjaga tadi tentu sangat kecil.

Bahkan di Amerika Serikat, dalam Konstitusi Negaranya, Warga Negara berhak memiliki senjata api dengan alasan agar terlindung dari Pemerintah jika suatu saat pemerintahnya zalim dan otoriter. Konstitusi lain misalnya, ‘Free Speech”, Memberikan Warga masyarakat nya perlindungan atas ucapan apapun yang keluar dari mulut mereka. Negara, tidak dapat menentukan ucapan mana yang tidak boleh keluar dari mulut warganya.

Benturan serupa antara Nasionalisme dan Demokrasi terjadi di Indonesia. Pertama, misalnya Perppu No. 2 tahun 2017 yang mengubah UU No. 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakat. Negara dapat memutuskan untuk membubarkan organisasi masyarakat mana yang dianggap tidak sejalan dengan dasar negara, Pancasila. Meskipun masih tidak sepenuhnya mendapat kekuasaan untuk membubarkan, karena harus dilalui tahapan lain, Negara telah memotong proses pembubaran ormas ini menjadi lebih cepat.

Aktivis demokrasi tentu saja tidak setuju dengan Perppu ini. Proses pembubaran ormas sebelumnya memiliki tahapan-tahapan panjang hingga tahap pengadilan. Sebuah Organisasi Kemasyarakatan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila harus dibuktikan secara konkret di Pegadilan.

Namun, sebagaimana pandangan Nasionalis dan pendukung kebijakan ini, Pemerintah sudah melakukan hal yang tepat karena ideologi negara adalah sesuatu yang sakral, yang tidak bisa dinanti-nanti untuk penangannya. Ancaman terhadap Ideologi Negara adalah ancaman terhadap Negara itu sendiri.

Kasus lain adalah mengenai kelompok separatis. Baik itu Kelompok seperti Gerakan Aceh Merdeka(GAM) dan Organisasi Papua Merdeka(OPM). Prinsip demokrasi sebagai kedaulatan rakyat harusnya tidak ada kekuatan manapun yang lebih tinggi dari rakyat. Maka, konstitusi berserta hukum turunan di bawahnya harusnya memfasilitasi dan mengakomodasi apapun keinginan dan aspirasi rakyatnya.

Maka, secara prinsip demokrasi, aspirasi GAM dan OPM seharusnya dapat diterima dan diproses. Ketika sekelompok masyarakat sudah tidak ingin membangun negara bersama, maka tidak ada satu hal pun yang dapat dijadikan alasan untuk melarangnya.

Sayang, Prinsip Nasionalisme dan satu kesatuannya menghalangi itu. Tidak hanya di Indonesia, negara seperti Tiongkok dengan “Xijiang” nya, atau Filipina dengan “Mindanao” nya pada akhirnya harus melakukan tindakan-tindakan agresi bersenjata untuk menangani gerakan separatis ini. Kelompok separatis yang merasa tidak memiliki harapan pada konstitusi dan hukum pada akhirnya melakukan gerakan bersenjata juga untuk memperoleh perhatian Internasional.

Bagi masyarakat Nasionalis, hilangnya sebuah pulau saja dengan beralih kepemilikan ke tangan Negara Jiran, adalah sebuah bencana besar. Apalagi kelompok masyarakat separatis. Kelompok ini selalu dianggap sebagai ancaman dari dalam. Ancaman yang lebih berbahaya dari Serangan negara luar. Sebuah kelompok yang tidak lagi menghormati negara dan segala simbolnya adalah kelompok pemberontak yang layak untuk ditahan.

Maka tidak heran di kebanyakan negara, apabila indeks demokrasi turun, makan indeks otoritarian pemerintah meningkat. Irak, Libya dan Syiria adalah contoh runtuhnya nasionalisme oleh demokrasi. Pemerintah terdahulu yang otoriter dan represi terhadap masyarakat pada akhirnya runtuh juga oleh tuntutan masyarakat dengan dalih demokrasi.

Hasilnya bisa kita lihat sendiri, Irak, Syiria dan Libya, mengalami perang saudara yang tidak selesai hingga kini. Kaum Nasionalis berdalih bahwa seburuk apapun sebuah pemerintahan, selama ia menjalankannya demi kepentingan negara, maka ia harus didukung.

Perpindahan ke orde reformasi dari orde baru menjadikan Indonesia yang tadinya cenderung “Far-Right” menjadi lebih Moderat.

Beberapa kalangan beranggapan bahwa Indonesia memiliki ciri khas sendiri yang tidak perlu dibanding-bandingkan dengan negara lain. Meskipun sesekali saling bertentangan satu sama lain, Nasionalisme dan Demokrasi adalah dua sisi mata uang koin. Keduanya seakan menghadap ke arah yang berbeda, namun pada dasarnya satu dan tak bisa dipisahkan.

Sebuah Nasionalisme tanpa Kedaulatan rakyat tidak akan langgeng. Suatu saat akan menemui kehancurannya. Sekalipun terkadang rakyat diberi kedaulatan palsu agar merasa memiliki kewenangan dalam negara padahal tidak sama sekali.

Demokrasi tanpa Nasionalisme akan menjadi Anarki. Agar Individu bisa berbicara, berbuat, dan memberikan aspirasi sesuai kehendaknya, tentu harus dilindungi oleh konstitusi dan hukum, yang juga merupakan kesepakatan bersama. Ia yang tidak menghormati negara dan konstitusinya dipastikan tidak dapat menikmati kebebasan individunya.

Hilman Gufron
Hilman Gufron
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.