Pendahuluan
Pembangun di Indonesia saat ini terlihat misorientasi. Trend pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan lingkungan, sebenarnya berpotensi membawa negara Indonesia kepada kehancuran. Sebagai contoh, saat ini semakin baik kondisi ekonomi suatu daerah, kualitas lingkungan hidup justru sebaliknya, menjadi semakin menurun. Deforestasi dilakukan secara besar-besaran. Alih-alih mendatangkan peningkatan ekonomi, malah menimbulkan bencana ekologis yang semakin tahun semakin besar. Bencana alam, terutama bencana hidrometeorologis di Indonesia meningkat 16 kali lipat sejak tahun 2002. Kerugian yang dialami oleh pemerintah Indonesia terlihat semakin besarnya alokasi dana penangananan bencana. Kementerian Keuangan memastikan pemerintah menyediakan anggaran mitigasi dan penanggulangan bencana alam sebesar Rp15 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Nilai tersebut meningkat dari realisasi sementara dana bencana 2018 yang sebesar Rp7 triliun.
Kehutanan sebenarnya memiliki nilai jasa lingkungan yang tinggi dalam meminimalkan dampak perubahan iklim dan pemanasan global bagi kesejahteraan manusia. Namun hutan di Indonesia mengalami degradasi lingkungan yang semakin parah setiap tahunnya karena deforestasi atau aktivitas penebangan. Menurut lapaoran World Resources Institute, Tahun 2000-2015 penyusutan hutan Indonesia sebanyak 3,6 juta Ha, atau 60 kali luas Jakarta.
Deplesi sumber daya alam juga terjadi setiap saat. Penyusutan karena penggunaan sumber daya alam yang dieksploitasi terus menerus, sehingga semakin lama semakin menipis. Terbukti cadangan minyak bumi yang dimiliki Indonesia saat ini hanya berkisar 3,3 miliar barel. Dengan jumlah tersebut, dalam 11 hingga 12 tahun ke depan Indonesia tidak mampu lagi memproduksi minyak bumi.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, mengatakan penghitungan cadangan itu dengan asumsi produksi konstan 800.000 per hari tanpa adanya temuan cadangan baru. Dia menambahkan, cadangan terbukti minyak bumi itu bukanlah cadangan yang melimpah. Bila dibandingkan dengan cadangan terbukti minyak dunia jumlah itu hanya setara dengan 0,2 persen.
Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia selama periode 2010-2014 menunjukkan peningkatan emisi gas rumah kaca yang diukur dengan CO2 ekuivalen mencapai 13 persen per tahunnya, lebih besar dari proyeksinya sebesar 5 persen. Sektor lahan, lingkungan hidup dan energi menyumbang emisi terbesar.
Sementara itu, penambahan jumlah penduduk Indonesia terus terjadi. Menurut data badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar 255,6 juta, sedangkan pada tahun 2045 akan sebesar 318,9 juta. Dari data ini terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia sejak tahun 2015 hingga tahun 2045 ada penambahan sebesar 0,74 persen.
Bertambahnya jumlah penduduk tentu saja berdampak pada jumlah kebutuhan; makanan, energi, tempat tinggal, air bersih, sanitasi dan lain sebagainya. Dengan asumsi jumlah penduduk sebesar 255,6 juta jiwa, maka dibutuhkan sekitar 7,56 milyar liter air setiap harinya. Dengan jumlah penduduk diatas, maka kebutuhan listrik pada tahun 2019 saja 50,531 MW, dan pada tahun 2024 sebesar 74, 536 MW.
Periode tahun 2020-2030 akan menjadi dekade penting dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia dalam menghadapi kerusakan lingkungan. Para ahli yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), menyatakan di beberapa tahun kedepanlah yang akan menentukan keberhasilan penanganan persoalan lingkungan dan perubahan iklim secara umum. Bagaimana strategi pembangunan yang harus diterapkan di Indonesia untuk menyongsong Indonesia emas pada tahun 2045?
Existing Policy
Data dan trend pembangunan di Indonesia saat ini menunjukkan semakin tinggi peningkatan ekonomi suatu daerah, maka semakin rusak lingkungan hidupnya. Dibutuhkan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai paradigma pembangunan.
Hasil rembuk nasional tahun 2017 bidang lingkungan, kehutanan, dan pertanahan menyampaikan bahwa untuk dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan, diperlukan dua kata kunci yaitu; Pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan tanpa melampaui
daya dukung. Kedua, memanfaatkan hasil-hasil ekonomi untuk mengembangkan teknologi hijau atau berkelanjutan sehingga ekonomi bisa terus menerus menyejahterakan masyarakat.
Menurut Council on Sustainable Development in the United States (USEPA, 2013), Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan suatu proses perkembangan yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian, menjaga kelestarian lingkungan, dan keadaan sosial untuk kebermanfaatan generasi sekarang dan generasi di masa depan. Pembangunan yang berkelanjutan mecoba untuk mencapai kesetaraan pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan dalam suatu sistem pembangunan yang berkaitan satu dengan yang lainnya.
Rekomendasi Kebijakan
Dibutuhkan keterlibatan multi aktor dalam mengatasi dampak kerusakan lingkungan di Indonesia. Antara lain; Pemerintah atau parlemen. Pemerintah dan parlemen harus percaya bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki profitabilitas politik. Untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dibutuhkan 3 hal prinsip. Pertama, perubahan paradigma dari parsial/sektoral yang statis dan kepentingan sesaat menjadi paradigma Systems Thinking yang holistik dan dinamis, khususnya untuk para pemangku kepentingan, terutama pengambil keputusan di pemerintahan. Sehingga cara pandang sektoral dan jangka pendek segera ditinggalkan. Berbagai kerusakan lingkungan maupun terganggunya ekonomi karena terdegradasinya sumber daya alam dan lingkungan yang terjadi saat ini menjadi momentum untuk melakukan perubahan paradigma. Kepala daerah dan partai politik harus mendorong target penurunan emisi dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim masuk dalam visi misi calon kepala daerah dan diikat melalui rencana perubahan Undang-undang Pilkada. Mendagri dapat di dorong sebagai avant garde dalam mendorong capaian ini.
Kedua, perlu dibangun kesadaran dan tindakan operasional para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, bahwa UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup dikerangkai dalam rangka pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan Indonesia berkelanjutan. Saat ini kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maupun kebijakan turunannya, masih dianggap oleh berbagai pihak sebagai instrumen lingkungan hidup ansich. Masih menyisakan situasi naif, mempertentangkan target capaian pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Padahal hal ini seharusnya telah dapat ditiadakan.
Ketiga, dalam menghadapi isu global, seperti perubahan iklim dan SDGs, perlu dikonstruksikan sesuai kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ada Indonesia, bukan sebaliknya. Upaya mitigasi gas rumah kaca sektor energi misalnya, pada saat yang sama harus mampu dan mendahulukan pemenuhan kebutuhan energi, termasuk dari sumber energi baru terbarukan melalui peningkatan elektrifikasi. Reduksi emisi dari sektor pertanian, pada saat yang sama juga harus mempertahankan atau meningkatkan ketahanan pangan nasional. Upaya untuk mencapai kondisi tanpa kemiskinan, pada saat yang sama juga didorong melalaui komitmen untuk melestarikan lingkungan.
Tiga prinsip diatas akan berimplikasi positif pada upaya pembangunan berkelanjutan. Kajian Lingkungan Hidup (KLHS) yang menjadi instrumen utama untuk pembangunan berkelanjutan, tidak boleh direduksi menjadi sekedar Amdal dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maupun kebijakan dan program lainnya. Sebaliknya KLHS harus diperluas, sehingga tidak sekedar untuk perlindungan dan pengelolaan aspek lingkungan saja, namun kajian ini juga memuat membangun sistem ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seimbang, yang berarti mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi lainnya untuk solusi jangka panjang adalah; dibutuhkan kebijakan pengendalian jumlah penduduk serta membangun kemandirian teknologi (air, pangan, energi,dan digital). Hal ini akan menjadi solusi jangka panjang dalam menyongsong Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 terbesar di dunia pada tahun 2030 mendatang, sebagaimana diramalkan oleh McKinsey Global Institute. Hal ini juga bersamaan dengan saat Indonesia memasuki usia emas, 100 tahun. Semoga.