Jumat, Oktober 11, 2024

Independensi Jurnalisme dalam Tahun Politik

Rio Tirtayasa
Rio Tirtayasa
Mahasiswa yang sering mendapatkan inspirasi dari lamunan. Bersekolah di Universitas Pendidikan Indonesia.

Belum lama ini, Edy Rahmayadi, Ketua Umum PSSI menyinggung wartawan sebagai akibat buruknya penampilan Tim Nasional (Timnas) Indonesia di ajang Piala AFF 2018. Dia mengatakan kalau wartawannya baik, maka Timnasnya juga baik. Terlepas dari sisi benar atau tidaknya di kemudian hari, Edy sebenarnya sedikit menyayangkan pemberitaan tentang Timnas Indonesia.

Bukan tanpa sebab, pemberitaan media terhadap Timnas, atau lebih tepatnya PSSI berujung pada kritik kinerja. Dalam hal ini, apa yang dikatakan Edy adalah baik-buruknya Timnas atau lebih tepatnya PSSI, semua karena media.

Edy sadar betul, jika ingin baik, Timnas dan PSSI di dalam sebuah pemberitaan media harus baik. Tentunya PSSI tidak mempunyai media yang skala khusus pemberitaan untuk pencitraannya.

Sebagai pemenang Pemilu Gubernur Sumatra Utara lalu, dia sadar peranan penting media dalam memenangkan hati rakyat. Sebab itu, dia dengan spontan mengatakan Timnas akan baik, jika wartawannya baik. Dia sudah belajar dari pengalaman. Dalam hal ini, yang dimaksud oleh Edy bukan permainan Timnas Indonesia, melainkan baiknya dalam pemberitaan untuk memenangkan hati masyarakat.

Seperti yang khalayak umum tahu, hari ini, media di Indonesia telah banyak dikuasai oleh Partai Politik (Parpol), mereka melakukan pencitraan Parpol untuk dianggap baik di mata masyarakat. Seperti tiga partai besar yang memiliki stasiun televisi masing-masing. Lucunya lagi, dua partai saling baku hantam dalam pemberitaannya. Satu lagi, sibuk cari perhatian melalui mars yang sudah melekat di para penonton setia saluran televisi itu.

Bercermin dari Bill Kovach

Bill Kovach adalah salah satu wartawan Amerika Serikat yang reputasinya menembus banyak negara. Goenawan Mohamad dari Tempo pernah mengatakan pada bahwa Kovach adalah orang yang sulit dicari kesalahannya.

Andreas Harsono dalam tulisan di situsnya menjelaskan sedikit pengalaman Kovach. Pada tahun 1960, Richard Nixon bertanding melawan John F. Kennedy untuk jadi presiden Amerika Serikat. Kovach sebagai wartawan saat itu menyelidiki tentang pembelian suara. Ternyata sahabatnya Peas, ikut bekerja memenangkan Kennedy. Akhirnya Peas dihukum dan memilih hukuman menjadi militer dan dia dikirim ke Vietnam.

Pada tahun 1966 Peas meninggal dalam sebuah pertempuran. Meski sedih dan marah dengan dirinya sendiri, dia tetap yakin bahwa dirinya adalah wartawan. Tugas wartawan adalah memberi tahu warga kalau ada penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat harus tahu apa yang salah, apa yang benar, sehingga masyarakat bisa mengambil sikap dengan informasi yang lengkap.

Bercermin dari pemberitaan yang dibuat oleh Bill Kovach tersebut. Jurnalisme merupakan kegiatan mencari dan mengumpulkan setiap informasi. Maksudnya informasi-informasi yang didapat nantinya akan disebarkan kepada masyarakat supaya nantinya dapat dikonsumsi. Tentu saja, informasi-informasi yang dikumpulkan berupa fakta yang terjadi, bukan fiktif belaka.

Jurnalis di Antara Dua Pilihan pada Tahun Politik

Tahun 2019 merupakan tahun besar bagi pertarungan politik di Indonesia. Bukan tanpa sebab, 17 April nanti, pertarungan demi memperebutkan kursi kekuasaan akan dilaksanakan. Dua calon dengan reputasi besar akan saling adu gagasan dan janji untuk memenangkan hati rakyat Indonesia. Bukan hanya itu, politik pencitraan akan gembar-gembor di setiap media yang dikuasai oleh Parpol yang mendukung kedua calon masing-masing itu.

Jurnalisme dalam hal ini seharusnya berperan sebagai penengah dalam mewujudkan rasa percaya masyarakat kepada media. Namun, dalam beberapa kasus, jurnalisme diambil alih oleh pemilik media untuk mempromosikan calon dari Parpolnya agar menang saat pemilihan nanti. Jurnalis berada di antara dua pilihan. Pertama, pada hakekatnya ia independen dan berpihak pada kebenaran. Kedua, ia mengikuti redaksi media tempat di mana bekerja sebagai jurnalis.

Dikutip dari Tirto.id, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, 2,5 tahun belakangan ini Indonesia kebanjiran hoaks atau kabar-kabar bohong. Lebih parahnya, berita-berita hoaks itu semakin mengkhawatirkan karena bercampur dengan ujaran kebencian yang mengandung SARA. Semestinya pers di Indonesia berupaya keras menghadirkan informasi akurat untuk melawan berita-berita hoaks.

Seiring berjalannya waktu, masih banyak praktik-praktik politik pencitraan dan politik menjatuhkan lawan yang mengandung unsur SARA. Memang kasus terparah adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu.

Dalam hal ini, bukan hanya demokrasi di Indonesia saja yang mengalami kemunduruan. Tapi jurnalisme di Indonesia juga mengalami kemunduran, atau bahkan tenggelam dalam lautan kepentingan politik. Bukan tanpa sebab, media tempat jurnalis bekerja memiliki peran dalam penyebaran isu-isu SARA yang tersebar di masyarakat Indonesia.

Bukan suatu yang mustahil menjelang pemilihan presiden nanti akan terjadi luapan informasi-informasi SARA untuk menjatuhkan lawannya. Apalagi belakangan ini sering sekali terdengar bahwa salah satu calon adalah antek-antek komunis, Yahudi, Kristen, atau hal lainnya. Media dan Jurnalis sudah sepatutnya tidak ikut berperan dalam memberitakan hal tersebut, dan juga seharusnya menjadi pemantau berita-berita yang beredar juga.

Jurnalis berada di antara dua pilihan di dalamnya. Jurnalis mengikuti hakekat jurnalisme atau mengikuti redaksi tempat ia bekerja. Nama dan pekerjaan dipertaruhkan dalam pengambilan keputusan tersebut.

Menjadi Jurnalis Seutuhnya

Pada perkembangan saat ini, sulit menjadi jurnalis yang mengikuti hati nuraninya. Seperti Bill Kovach yang berani menyampaikan sesuatu yang menurutnya salah, walaupun ia mengobarkan persahabatannya. Apalagi jika seorang jurnalis sudah terpengaruh dalam sebuah pusaran arus politik tertentu.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pernah membuat buku panduan untuk seluruh wartawan di dunia. Dalam bukunya mereka menulis beberapa elemen tentang keberpihakan jurnalis dalam sebuah pemberitaan. Seperti jurnalis yang independen sebagai pemantau kekuasaan.

Dalam hal ini, seharusnya jurnalis bukan sebagai media humas salah satu calon atau memberitakan kebaikannya. Seorang jurnalis yang baik adalah ia yang memantau calon untuk menginformasikan ke masyarakat. Jikalau ada sebuah ketidakpercayaan dari masyarakat kepada calon tertentu, ia berkewajiban memverifikasi informasi tersebut.

Belum lagi, seorang jurnalis harus mengikuti hati nuraninya. Ia harus mempunyai sikap dalam sebuah media atau redaksi tempat ia bekerja. Jurnalis tak seharusnya mengikuti kehendak mutlak dari redaksi. Redaksi juga sebenarnya tidak seharusnya memaksakan sesuatu hal untuk diikuti oleh para jurnalisnya. Sebab seorang jurnalis pun mempunyai hati nurani dalam sebuah pemberitaan yang ia buat.

Pada akhirnya, jurnalis dan media sepatutnya harus independen dari sebuah kepentingan politik kekuasaan. Jurnalis dan media harus tetap berpihak, hanya saja keberpihakannya adalah pada kebenaran. Sebab loyalitas utama sebuah media adalah kepada masyarakat, bukan Parpol, dan jurnalis harus tetap tidak terpengaruh dari pihak yang mereka liput, semisal jika ia meliput salah satu dari calon penguasa.

Rio Tirtayasa
Rio Tirtayasa
Mahasiswa yang sering mendapatkan inspirasi dari lamunan. Bersekolah di Universitas Pendidikan Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.