Menapak awal tahun 2018 suhu politik kian memanas dan dinamis, genderang tahun politik pun telah ditabuh, tanda dimulainya pilkada serentak yang akan diselenggarakan di beberapa daerah di Indonesia. Apalagi, pilkada serentak tahun 2018 ini adalah tiket bagi partai politik untuk menghadapi pemilihan presiden pada 2019 nanti, tentunya banyak partai yang mengambil sikap untuk all out kekuatan politik demi meraih kemenangan pada Pilpres 2019.
Sikap all out tersebut dapat kita lihat pada PDIP di kontestasi Pilgub Sumatera Utara 2018 ini. Demi melanggengkan kemenangan di 2019 nanti, PDIP memilih melakukan importing figur Djarot Saifullah Hidayat sebagai bakal calon gubernur untuk bersaing dengan Edy Rahmayadi yang sudah lebih dulu mengkonsolidasikan kekuatan politik di Sumatera Utara.
Langkah strategis itu dinilai tepat diambil oleh Megawati sebagai pimpinan partai dengan mengirim Djarot ke gelanggang atau dalam ilmu politik fenomena ini disebut dengan importing politic. Sebab pasalnya, dengan krisis kepercayaan yang terjadi akibat dua kali berturut-turut pemimpin Sumatera Utara tersangkut kasus korupsi, membuat krisis figur terjadi. Hal ini dapat kita lihat pada Pilgub Sumatera Utara 2013 lalu, tingkat golput membludak mencapai 50%. Bukan karena apatisme pemilih, melainkan meningkatnya pemilih kritis yang memilih golput dari pada memberikan suaranya kepada pemimpin yang memiliki rekam jejak buruk kala itu.
Melihat arus krisis kepercayaan yang terjadi, Importing yang dilakukan oleh PDIP wajar saja terjadi dengan kondisi politik seperti itu, sebab jika Partai salah mengusung figur akan mempengaruhi seberapa banyak suara yang Parpol dapatkan untuk menjadi penentu pada Pilpres 2019 mendatang. Dengan menggunakan Djarot beserta citra yang melekat pada dirinya, dapat menjadi peluang politik PDIP untuk mengembalikan kepercayaan publik dan mendulang elektabilitas.
Dalam hal lain, sosok Djarot dinilai setara menyaingi Edy Rahmayadi yang digadang-gadang sebagai bakal calon terkuat. Pasalnya, Edy berhasil menarik Gerindra, Golkar, PKS dan PAN untuk berada dalam barisan pemenangannya sebagai Gubernur Sumatera Utara. Hanya saja, PDIP masih perlu membuat barisan koalisi agar memuluskan langkah Djarot untuk maju sebagai penantang Edy Rahmayadi.
Ancaman dalam Strategi Importing Figur
Importing figur sebagai strategi, tentu memiliki ancaman tersendiri yang jika tidak cepat teratasi dapat memunculkan manuver politik dan bahkan menghilangkan peluang kemenangan. Ancaman yang dimaksud adalah Pertama, propaganda isu primordialisme. Pihak lawan akan dengan gampang memainkan isu ‘putra daerah’ sebagai alat black campaign.
Sebab, importing di identikan dengan ‘orang luar’ daerah. Isu ini dapat menjadi alat yang paling masif untuk mendulang suara atau menghancurkan elektabilitas calon importing jika luput untuk diperhatikan. Meski identitas pemilih di Sumatera Utara cenderung cair, namun dengan black campaign ‘putra daerah’ dapat dengan cepat membuat identitas primordial kembali mengkristal di Sumatera Utara.
Kedua, kesalahan memilih pendamping (cawagub). Dalam proses ini, calon importing harus mengkalkulasikan pendamping yang strategis, tidak hanya dari faktor ia mampu memberikan sumbangan kursi untuk tiket dalam Pilgub, melainkan sosok pendamping yang dapat membackup calon importing dari kemungkinan black campaign yang dilakukan oleh lawan. Untuk mengatasi propaganda ‘putra daerah’ maka Djarot sebagai calon importing perlu memilih pendamping putra daerah asli dari Sumatera Utara, selain itu, calon pendamping Djarot tentunya juga harus merepresentasikan figur pemimpin yang bersih, berprestasi dan berpengalaman dalam memimpin.
Faktor lainnya yang harus dipertimbangkan adalah bakal calon pendamping Djarot harus memiliki infrastruktur politik yang memadai di kalangan grassroot. Karena, calon importing perlu bekerja keras meyakinkan grassroot untuk memilih ia meski bukan ‘putra daerah’. Infrastruktur politik seperti mesin politik sangat menjadi penentu pada posisi seperti sekarang.
Dari dua ancaman importing figur, harus benar-benar diperhatikan oleh PDIP sebagai partai pengusung. Khususnya dalam memilih pendamping yang tepat bagi sosok Djarot. Kesalahan memilih pendamping maka akan menyebabkan hilangnya peluang politik secara seketika.
Sebab konsekuensi dari importing figur adalah dapat meraih peluang secara cepat, namun dapat pula memunculkan banyak potensi manuver politik yang terjadi. Apalagi, yang menjadi lawan Djarot hari ini adalah partai pemenang pada pemilu 2014 di Sumatera Utara yakni Gerindra dan sosok Edy Rahmayadi yang telah lebih dulu mengkonsolidasikan grassroot menggunakan infrastruktur politik yang ia miliki.
Sosok strategis pendamping Djarot
Bagi setiap figur untuk bisa menang dalam Pilgub Sumut 2018, minimal dapat mengkondisikan 16 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hal ini sebenarnya merupakan peluang bagi Djarot untuk memenangkan pertarungan. Dengan popularitas figur Djarot, ia dapat dengan gampang mendulang suara di Sumatera Utara. Hanya saja, Djarot masih perlu mengkalkulasikan kemungkinan manuver dan memilih sosok pendamping yang dapat membackup ia dalam pertarungan.
Memilih pendamping sebagai bakal calon wakil gubernur bukanlah tindakan yang tanpa pertimbangan strategis, hal ini menjadi perhitungan cukup serius khususnya dalam menunjang kekuatan politik pasangan calon. Apabila salah memilih pasangan maka akan berpengaruh terhadap eletabilitas, bahkan kemungkinan terburuk akan terjadi stagnasi dalam dinamika elektabilitas.
Ada beberapa nama kemudian yang muncul untuk menjadi pendamping Djarot bertarung dalam gelanggang, salah satunya adalah Abdon Nababan dan Sihar Sitorus. Salah satu dari dua figur ini digadang-gadang sebagai kandidat kuat untuk mendampingi Djarot.
Abdon dinilai lebih siap dan merupakan sosok strategis untuk membuka lebih lebar peluang kemenangan Djarot. Ia merupakan figur yang bersih, berprestasi dan berpengalaman dalam memimpin. Abdon merupakan bakal calon perseorangan dan mantan Sekjend AMAN yang menurut hasil survei Lembaga Pelopor Muda berhasil mendapat tempat dominan di hati masyarakat Sumatera Utara. Selain sebagai putra daerah asli, Abdon Nababan berhasil mengantongi 500.000 KTP pendukung sewaktu ia bertarung dalam memenuhi persyaratan bakal calon perseorangan. Abdon juga telah memiliki kurang lebih 100 infrastruktur politik yang tersebar di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Modal sosial dan mesin politik yang dimiliki oleh Abdon membuat ia perlu diperhitungkan secara strategis untuk mendampingi Djarot.
PDIP perlu memperhatikan secara strategis peluang yang dimiliki oleh dua kandidat bakal pendamping Djarot tersebut. Sebab jika hanya mengacu pada sosok Sihar Sitorus sebagai bakal calon Wakil Gubernur, hal tersebut tidak menjamin ia merupakan figur strategis yang dapat mendongkrak elektabilitas. Hal ini dinilai dari infrastruktur politik Sihar Sitorus yang masih belum jelas, sementara kerja-kerja calon importing bertumpu pada infrastruktur politik yang kuat dan siap untuk meyakinkan grassroot.