“Kita tidak bisa memiliki sistem di mana nasib ekonomi bergantung pada pemilih yang tidak sepenuhnya apa yang menjadi masalah utama dan penting” Demikian pernyataan seorang ekonom global, Dambisa Moyo, dalam sebuah wawancara eksklusif dengan salah satu media internasional.
Pemilihan presiden, wakil presiden dan wakil rakyat di parlemen memang akan dilangsungkan pada tahun 2019. Akan tetapi, nuansa kompetisi telah mulai memanas sejak ditetapkannya pasangan calon yang berkompetisi merebut hati rakyat demi memegang tampuk pemerintahan di Indonesia.
Segala hal tampaknya dapat dikembangkan menjadi komoditas kepentingan politik, mulai dari isu ekonomi hingga bencana. Lebih fokus pada isu ekonomi misalnya, saling lempar argumen kedua kubu koalisi terhadap pelemahan rupiah, tingkat inflasi, dan iklim investasi. Loyalitas para pendukungpun larut dalam kontestasi elit politik. Saling sindir, perang komentar di media sosial, bahkan terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sistem politik di Indonesia memang memungkinkan hal itu terjadi karena prinsip kebebasan yang dikedepankan demokrasi. Setiap orang memiliki kebebasan absolut atas hak-hak dasar seturut rule of the game (aturan main) yang berlaku. Diantaranya hak untuk mengemukakan pendapat di depan umum.
Hanya saja, masalahnya bukan pada sistem demokrasi membuat semacam liberalisasi, tetapi subtansi demokrasi itu sendiri masih belum mampu dipahami sepenuhnya. Kontradiksi yang terjadi seringkali tidak berlandaskan subtansi demokrasi, kecenderungannya dimotori kepentingan-kepentingan personal.
Sedikit mengesampingkan kepentingan-kepentingan yang ada di level elit politik, kita perlu meninjau lebih jauh kontestasi kepentingan pada level masyarakat sipil. Sistem demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Di mana pemerintahan dijalankan dari, oleh dan untuk rakyat.
Mestinya, tangga kuasa relasi yang terbentuk adalah rakyat berada di puncak dan menempatkan pelayan masyarakat dan wakil rakyat di dasarnya. Namun, fenomena yang terjadi justru kondisi sebaliknya. Seakan-akan warisan mental feodal masih melekat, sehingga kelas elit pejabat dan rakyat jelata itu masih kental.
Berdemokrasi mesti membawa pada prinsip mengedepankan kepentingan publik. “Sempitnya pandangan” terhadap subtansi demokrasi acapkali menutup pandangan terhadap pentingnya kepentingan banyak orang. Hal semacam ini lah yang perlu didegradasi dari proses demokrasi, bukan hanya oleh elit politik, melainkan juga masyarakat sipil. Contoh konkret sempitnya pandangan dalam politik yang menimpa para elit adalah perilaku koruptif. Kepentingan pribadi mengendarai para pejabat publik untuk mengesampingkan esensi kebutuhan rakyat. Selain itu, di level masyarakat pandangan sempit yang dimaksud adalah kondisi di mana segala hal virtual dibawa ke dunia nyata. Perang komentar dan sindiran dunia maya membentuk mentalitas perpecahan dalam lapisan struktur masyarakat.
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang menentukan nasibnya sendiri mesti sadar bahwa demokrasi itu menyatukan gandengan, bukan membagi-bagi gandengan tangan. Demokrasi seharusnya menjadi sistem politik yang justru menguatkan solidaritas khas masyarakat Indonesia di tengah perbedaan pilihan politik.
Kita tidak bisa membayangkan apabila masyarakat sipil dan elit politik hanya memikirkan kepentingan pribadi masing-masing. Roda perekonomian negara ini mungkin akan berhenti. Korupsi terjadi di mana-mana dan perpecahan di masyarakat akan membawa kita pada kondisi trade off. Hal itu mestinya menjadi landasan mengikuti proses demokrasi demi memenangkan pilihan politik masing-masing sehingga membentuk suasana politik kolaboratif, bukan lagi kompetitif.