Minggu, Desember 8, 2024

Identitas dalam Kapitalisme Digital: Validasi sebagai Komoditas

Bryan Widiawira
Bryan Widiawira
Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
- Advertisement -

Dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan teknologi, konsep diri dan identitas telah menjadi semakin kompleks. Di era digital ini, kita tidak hanya menghadapi pertanyaan tentang siapa diri kita, tetapi juga tentang bagaimana kita dipresentasikan dan dipersepsikan dalam tata surya digital. Sebuah pertanyaan yang mendasar muncul: Dalam era di mana kita bisa “membeli” validasi, bagaimana ini mempengaruhi pemahaman kita tentang diri kita sendiri dan nilai?

Kapitalisme dan Komodifikasi Identitas

Dalam kapitalisme, segalanya berpotensi menjadi komoditas — sebuah objek yang diperjualbelikan demi keuntungan. Komodifikasi bukan hanya tentang barang fisik, tetapi juga melibatkan abstraksi. Jadi, saat kita beralih ke era digital, di mana identitas menjadi bagian dari ruang virtual, komodifikasi identitas hanyalah evolusi logis dari kapitalisme.

Sebelum internet mempengaruhi kehidupan kita, kapitalisme sudah memiliki dampak yang mendalam pada bagaimana kita memahami diri kita sendiri.  Dalam masyarakat konsumeris, identitas seringkali terkait dengan apa yang kita konsumsi. Tetapi dengan munculnya kapitalisme digital, identitas bukan hanya terkait dengan apa yang kita konsumsi, tetapi juga dengan bagaimana kita dipresentasikan dan dilihat oleh lainnya dalam ruang digital.

Pasar Validasi

Pada dasarnya, pasar validasi mewakili kapitalisasi dari kebutuhan manusia dasar untuk diterima dan diakui. Dalam sejarah manusia, validasi sosial selalu menjadi komponen penting dari eksistensi kita. Namun, dengan kedatangan era digital, validasi sosial ini telah ditingkatkan dan, yang lebih penting, dikomodifikasi.

Pasar digital saat ini menawarkan apa yang tampaknya menjadi solusi instan untuk keinginan validasi: Anda dapat membeli “pengikut”, “suka”, dan bahkan komentar. Tapi apa yang benar-benar kita beli di sini? Bukankah ini sekadar angka? Tidak. Dalam konteks kapitalistik digital, kita membeli ilusi penerimaan, popularitas, dan oleh karena itu, keberhasilan.

Sebagai produk dari kapitalisme digital, munculnya pasar “pengikut”, “likes”, dan komentar telah mengubah cara kita melihat validasi. Validasi bukan lagi berasal dari interaksi sosial otentik, tetapi dapat diperoleh melalui transaksi moneter. Ini menciptakan ilusi popularitas dan penerimaan, tetapi pada saat yang sama menimbulkan pertanyaan tentang otentisitas dan nilai sebenarnya dari validasi tersebut.

Dengan kemampuan untuk membeli validasi, kita juga melihat devaluasi dari validasi yang sah. Jika seseorang dengan mudah dapat membeli “suka” atau “pengikut”, apa arti sebenarnya dari pengakuan online? Bagaimana kita membedakan antara validasi yang otentik dan yang buatan?

Lebih jauh lagi, komodifikasi validasi memperkuat struktur kapitalistik yang ada. Individu dengan sumber daya lebih (uang) dapat “memperbaiki” citra digital mereka, sementara yang lain mungkin merasa terpinggirkan atau tidak mampu bersaing.

Echo Chambers dan Polaritas

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh media sosial dan algoritma yang disesuaikannya, kita semakin terjebak dalam apa yang disebut “echo chambers”. Istilah ini merujuk pada situasi di mana individu hanya diberi informasi yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan dunia mereka sendiri. Ini bukan hanya sebuah kebetulan; ini adalah hasil dari desain. Algoritma media sosial dirancang untuk memberi kita apa yang kita sukai, untuk memperpanjang waktu kita di platform tersebut.

Dalam ruang “echo chamber” ini, keyakinan kita dikuatkan tanpa tantangan serius. Hal ini tidak hanya menguatkan ilusi realitas yang tidak tepat, tetapi juga memperkuat polaritas dalam masyarakat. Dengan informasi yang selalu sesuai dengan pandangan dunia kita, kita menjadi kurang toleran terhadap pandangan yang berbeda. Polaritas ini tidak hanya terbatas pada opini, melainkan juga mempengaruhi identitas kita, bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri dalam relasi dengan ‘yang lain’. Dalam konteks ini, apa arti “nilai”  dari diri kita sebenarnya? Apakah itu sebatas “likes” dan validasi online?

- Advertisement -

Konsekuensi Psikologis dari Komodifikasi Validasi

Dalam dunia yang memandang validasi sebagai suatu yang bisa diperjualbelikan, kita mulai menilai diri kita sendiri berdasarkan ukuran eksternal: berapa banyak “suka” yang kita peroleh, berapa banyak pengikut yang kita miliki, atau seberapa sering konten kita dibagikan. Nilai intrinsik seseorang, yang seharusnya didasarkan pada integritas, tujuan, dan hubungan nyata, kini terancam oleh metrik digital. Hasilnya, banyak individu yang merasa tidak cukup atau merasa harus mempertahankan citra digital yang tidak selalu mencerminkan realitas mereka.

Dalam upaya mencari validasi didunia digital, banyak individu yang merasakan tekanan untuk mempertahankan “image online” mereka. Hal ini seringkali berdampak pada kesejahteraan mental, termasuk rasa tidak aman, ansietas, dan depresi. Saat validasi menjadi komoditas yang dapat dibeli, kita mungkin mulai meragukan validasi yang kita terima, mempertanyakan otentisitasnya dan nilainya.

Menuju Otonomi dalam Era Digital

Meskipun tantangannya besar, masih ada ruang untuk otonomi dalam era digital. Ada kebutuhan untuk kembali ke inti dari apa arti menjadi manusia, untuk mencari autentisitas dan interaksi yang benar-benar berarti. Dalam masyarakat kapitalistik yang terdigitalisasi, kita perlu mempertimbangkan ulang apa arti “nilai”, dan bagaimana kita mendefinisikannya.

Kapitalisme digital telah mengubah cara kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana kita mendefinisikan nilai. Sementara teknologi telah membawa banyak kemudahan dan kemungkinan baru, juga telah menghadirkan tantangan baru dalam hal bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan tempat kita di dalam dunia ini. Sebagai individu dan masyarakat, kita perlu lebih kritis dalam mempertimbangkan dampak dari “membeli” validasi dan bagaimana ini mempengaruhi pemahaman kita tentang diri kita sendiri dan nilai-nilai kita.

Jadi, apa solusinya? Mungkin kita harus mempertanyakan algoritma yang membatasi pandangan kita. Mungkin kita harus secara aktif mencari pandangan yang berbeda dan berusaha memahami mereka daripada menghindarinya. Dan mungkin, hanya mungkin, kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa dunia digital bukanlah cermin akurat dari realitas, tetapi hanya fragmen yang terdistorsi darinya.

Bryan Widiawira
Bryan Widiawira
Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.