Jumat, Mei 3, 2024

Ibu, Tahanan Tetap Ekspektasi Sosial

Nasywaa Zahra
Nasywaa Zahra
Someone who finds solace in the art of writing

Kehadiran seorang anak dalam hidup seorang wanita seringkali disertai dengan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial sebagai seorang ibu. Masyarakat kita menggambarkan sosok ibu sebagai pilar keluarga yang selalu tangguh dan penuh pengorbanan.

Terdapat standar sosial yang mengharuskan ibu untuk mampu memprediksi seluruh kebutuhan buah hatinya dan menyediakannya dalam sekejap, menjadi sosok penyabar merupakan idealisme dan keharusan, naluri keibuan yang akan disalahkan bila sang anak jatuh sakit, serta sederet daftar panjang pengharapan sosial yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Namun, apakah ekspektasi ini cocok dengan realitas yang begitu kompleks?

Tidak dapat dipungkiri bahwa ekspektasi sosial yang tidak realistis telah menambah beban berat di pundak para ibu. Dalam upaya memenuhi standar tersebut, banyak ibu yang terbebani dengan tanggung jawab ganda sebagai pendidik, pengasuh, dan bahkan pencari nafkah.

Mereka harus menghadapi tuntutan kehidupan sembari mempertahankan senyuman. Namun, perlu disadari bahwa masing-masing individu dihadapkan pada rintangan yang tidak sama. Menuntut para ibu untuk mengejar kesempurnaan yang tidak realistis hanya akan melukai kesejahteraan mental dan fisik mereka.

Ironisnya, dalam perjalanan memoles diri untuk memenuhi ekspektasi sosial yang ada, sering kali para ibu justru dihadiahi penghakiman dan kritik tajam dari orang lain. Entah memilih untuk tetap mempertahankan karier mereka atau seutuhnya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, akan ada pihak yang selalu siap untuk mengomentari keputusan tersebut. Penghakiman semacam ini dapat meruntuhkan rasa percaya diri yang dimiliki oleh para ibu hingga akhirnya mereka akan mempertanyakan kapabilitasnya.

Dianggap Bertentangan dengan Norma Masyarakat

Dalam realitas yang penuh warna ini, terdapat banyak kisah luar biasa dari para ibu yang dengan berani menghadapi situasi dan kondisi yang dianggap tidak sejalan dengan norma-norma sosial. Salah satunya adalah perjuangan menjadi ibu tunggal, sebuah peran yang seringkali diiringi oleh pandangan buruk masyarakat.

Stigma yang datang pada ibu tunggal seolah menggambarkan ketidakpahaman masyarakat pada beragam kompleksitas kehidupan. Masyarakat kita seringkali mengaitkan keluarga ideal dengan kelengkapan figur ayah dan ibu dalam dinamika rumah tangga. Kadang kala, pandangan ini melahirkan anggapan bahwa kondisi yang dimiliki ibu tunggal mengindikasikan kegagalan dalam mempertahankan hubungan rumah tangga.

Stigma ini terkadang datang dari para ibu lain yang tidak dapat mengerti peran menjadi ibu tunggal. Penghakiman dari mereka biasanya berputar pada pertanyaan mengapa ibu tunggal memilih untuk berjuang sendiri daripada tetap mempertahankan hubungan dan menghadapi masalah seperti orang lain.

Banyak ibu tunggal yang mampu membesarkan buah hatinya menjadi anak yang sehat dan bahagia seperti halnya yang dilakukan orang tua pada umumnya. Perlu kita ingat kembali, satu-satunya perbedaan antara ibu tunggal dengan orang tua yang lengkap adalah tidak adanya sosok pasangan yang membantu serta menemani dalam membesarkan anak-anak mereka, hanya itu.

Tidak kalah menarik, para ibu yang memilih bekerja dan yang terpaksa bekerja sebab tidak memiliki pilihan lain juga menimbulkan beberapa tantangan dan perdebatan. Para ibu yang bekerja mau tidak mau harus membagi fokusnya pada cita-cita untuk meraih kesuksesan dan afeksinya untuk keluarga. Perjuangan untuk menemukan harmoni di antara keduanya membutuhkan tanggung jawab yang luar biasa.

Tidak hanya tantangan pada komitmen ganda yang perlu mereka pikul, ibu yang bekerja juga harus menghadapi ekspektasi sosial yang mungkin tidak sejalan dengan prinsip dan pilihan hidup mereka. Stigma dan kritikan tidak berdasar sudah tidak ada bedanya dengan makanan ringan. Banyak orang berkomentar bahwa ibu yang bekerja tidak akan maksimal dalam mendidik dan mengasuh buah hati mereka, seolah-olah terdapat peraturan tak tertulis untuk membuktikan diri berulang kali agar keraguan dan kritik masyarakat bisa sepenuhnya hilang.

Namun, di tengah-tengah tantangan ini, semakin banyak ibu yang berdiri teguh pada pilihan hidup mereka. Para ibu yang bekerja berjuang meyakinkan masyarakat bahwa menjadi ibu yang baik dan wanita yang produktif di waktu yang bersamaan bukanlah suatu kemustahilan. Menjadi seorang ibu tidak harus membuang ambisi dan impian pribadi.

Menata Ulang Ekspektasi Sosial

Memasuki zaman dengan tantangan hidup yang semakin kompleks, sudah saatnya kita meredefinisi ekspektasi sosial yang selama ini dibebankan pada peran seorang ibu. Pandangan bahwa menjadi ibu adalah sepenuhnya merelakan diri untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anak perlu kita ubah.

Lebih dari itu, para ibu memiliki hak untuk mewujudkan mimpinya, berpegang teguh pada prinsipnya, dan meraih keadilan dalam menjalani pola asuh bersama dengan pasangannya. Tidak adil bahwa tanggung jawab mengasuh dan membesarkan anak dibebankan sepenuhnya pada para ibu. Ketika pasangan suami istri memiliki kesadaran bahwa berbagi peran dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan, lingkungan rumah tangga yang seimbang, sehat, dan suportif akan tercipta.

Selain mendorong kesadaran berbagi peran dalam berumah tangga, mendorong masyarakat untuk lebih berempati pada peran menjadi seorang ibu juga diperlukan. Terus-menerus mempertahankan pandangan bahwa ibu merupakan sosok yang seharusnya tahan banting, selalu siap membantu, dan lemah lembut dalam waktu yang bersamaan bukanlah hal yang baik. Kita perlu memahami bahwa ibu juga manusia yang tidak sempurna dan memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, berusahalah menjadi lebih peka pada kebutuhan dan perasaan para ibu dengan memberikan dukungan moral dan fisik kepada mereka.

Terakhir dan yang tak kalah penting, kita perlu memulai gerakan mengedukasi masyarakat perihal esensi kesehatan mental para ibu. Tidak sedikit dari para ibu yang merasa tertekan dengan segala tuntutan sosial dan masalah hidup yang semakin kompleks. Oleh sebab itu, mengenalkan pentingnya menjaga kesehatan mental dengan merawat diri, menyadari batasan diri, dan dukungan sosial yang memadai sangat diperlukan. Mustahil mengharapkan para ibu memberikan yang terbaik jika mereka tidak merasa baik secara jasmani dan emosional. Menata ulang ekspektasi sosial terhadap peran sebagai seorang ibu merupakan langkah penting menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

sumber/tautan online:

The Myth of Motherhood: The Way Unrealistic Social Expectations of Mothers Shape Their Experience

Why Are Single Mothers Looked Down Upon? De-Stigmatizing Single Motherhood

https://www.pexels.com/photo/woman-pulling-snow-sled-with-baby-132677/

Nasywaa Zahra
Nasywaa Zahra
Someone who finds solace in the art of writing
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.