Jumat, Maret 29, 2024

Ibadah Umroh dan Industri Religiusitas

Farika Maula
Farika Maula
I'm journalist based on Jogja

Pemahaman tentang agama selama ini hanya dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya doktrinal dan ideologis. Tetapi dalam perspektif sosiologis, agama muncul dalam bentuk material di kehidupan sehari-hari karena identitas keagamaan biasanya lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat ketika dimaterialisasi melalui cara bertindak dan berperilaku. Artinya, agama dalam konteks ini adalah “praktik keagamaan” bukan hanya “doktrin keagamaan” agama adalah tentang cara bagaimana orang menjalankan agamanya.

Senada dengan Louis Althusser yang menyatakan bahwa ideologi dapat dimaterialisasi ke dalam bentuk tertentu yang konkrit. Misalnya dalam agama Islam, agama dapat dimaterialisasi ke dalam berbagai bentuk kultural seperti kerudung, sarung, kegiatan pengajian, ibadah seperti haji dan umrah dan sebagainya yang merupakan beberapa bentuk materi dari ideologi Islam sendiri. Dengan demikian, cara bagaimana seseorang beragama menjadi sesuatu yang bersifat kultural.

Masyarakat yang mempunyai orientasi pada pasar atau masyarakat konsumerisme mengalami pergeseran yang signifikan dalam memandang dunia termasuk juga agama. Agama dalam hal ini bukan saja sebagai bagian dari gaya hidup itu sendiri tetapi merupakan gaya hidup itu sendiri.

Ritual ibadah umroh yang dianggap sebagai ritual ibadah yang sakral berubah menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka “identifikasi diri”. Agama kemudian tidak berperan sebagai sebuah label yang melakukan identifikasi terhadap seseorang atau sekelompok orang. Agama telah diperlakukan seperti barang yang diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikin rupa. Kecenderungan tersebut menunjukkan proses komodifikasi kehidupan sehari-hari.

Umroh sebagai komoditas industri 

Kegiatan seperti haji dan umroh secara tidak langsung melestarikan diferensiasi sosial dalam masyarakat dan stratifikasi konsumen yang telah ditetapkan oleh pasar. Dalam hal ini, kapitalisme terus menerus menciptakan kebutuhan baru untuk menjaga kelangsungan konsumerisme.

Pasar sengaja menciptakan perilaku konsumsi secara terus menerus sehingga dapat melampaui kebutuhan material. Ketika kebutuhan material telah terpenuhi, konsumsi diarahkan pada pemenuhan kebutuhan immaterial. Sebut saja misalnya, kebutuhan immaterial seperti kepuasan, kenyamanan, gaya, pemenuhan impian  adalah sesuatu yang semu dan tidak pernah selesai. Mengonsumsi komoditi immaterial selalu berakhir pada “penipuan” dan pencarian gaya dan kepuasan lain secara terus menerus.

Ibadah haji dan umroh tidak lagi sekedar sebagai ritual keagamaan, tetapi tempat membangun citra diri, tempat merumuskan eksistensi diri, tempat pertapaan (mencari ketenangan untuk menghilangkan stress), tempat bersembunyi, dan tempat terapi jiwa (mencari kesenangan, kegairahan, kegembiraan). Melalui beberapa tanda dan citra yang disuguhkan oleh beberapa agen travel haji dan umroh, ibadah tersebut menjadi sebuah arena pertarungan dan kontradiksi tanda-tanda. Alih-alih ia menciptakan masyarakat konsumerisme.

Representasi budaya kapitalisme seperti sifat konsumerisme  dan gaya hidup hedonistis telah menanamkan arti penting identitas bagi individu modern. Bermacam-macam strategi kapitalisme telah berhasil membangun dunia hiperrealitas, yang (pasti) akan menghancurkan seluruh bentuk ideologi tradisional, termasuk agama.

Dalam dunia hiperrealitas tersebut, individu telah dibentuk sebagai pribadi yang selalu mengejar citra dan kesan yang ditawarkan kapitalisme. Agama, dengan demikian dapat secara leluasa ditampilkan dalam berbagai realitas yang telah diselaraskan dengan bermacam-macam citra. Melalui citra yang dijanjikan tersebut, individu berlomba-lomba mengambil bentuk praktek keagamaan sesuai dengan semangat perbedaan dan kepentingan penguatan identitas.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje (1997) dan Martin Van Bruinessen (1997) bahwa masyarakat muslim melakukan ritual ibadah haji ke Mekkah disebabkan beberapa alasan antara lain: untuk memperoleh kehormatan, menuntut ilmu, rasa kecewa dalam urusan dunia dan kejenuhan hidup sehari-hari yang telah dirasakan. Pandangan mereka terbukti bahwa kenyataannya dewasa ini, terutama dalam komunitas menengah di Indonesia.

Apalagi saat ini untuk berangkat haji membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunggu, untuk mengobati rasa rindu tanah suci mereka berbondong-bondong melakukan ibadah umroh. Ramainya para politisi, tokoh ormas, pejabat publik bahkan selebritis melakukan ritual umroh, semakin menginspirasi industri sektor religiusitas. Beberapa ada yang menawarkan paket umroh dari yang paling murah sampai mahal, umroh bareng artis, umroh sambil keliling Eropa, umroh yang dilengkapi dengan paket pernikahan dan paket yang lainnya.

Lahirnya masyarakat komoditas

Dewasa ini, semakin banyak jasa penyelenggara ibadah umroh. Dalam hal ini jelas bahwa penjualan jasa penyelenggara umroh menjadi industri baru, yaitu industri sektor religiusitas. Dalam pemasarkan produknya, beberapa industri ini menggunakan beberapa tokoh agama dan selebritis.

Selain itu, pengunaan dalil dan sumber hukum Islam yang mewajibkan haji atau mensunnah-kan umroh menjadi bumbu pelengkap industri religiusitas ini. Pemberangkatan umroh telah menjadi sektor baru dan menjadi komoditas yang prospektif dalam industri jasa. Sejalan seperti apa yang dikatakan oleh Theodor Adorno bahwa tanda dari lahirnya masyarakat komoditas (commodity society) melalui kebudayaan pop yang berkembang sangat cepat akibat dari penetrasi pasar.

Salah satu ciri masyarakat komoditas yang diajukan oleh Adorno dalam menjelaskan realitas sosial industri umroh adalah masyarakat komoditas. Masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan untuk pemuasan keinginan dan kebutuhan dasar manusia tetapi demi profit atau keuntungan pihak produsen.

Sebagaimana pernyataan Adorno juga dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental. Melalui pendapat Adorno tersebut ibadah umroh juga menerima dampak dari budaya pop yang diakselerasi oleh media elektronik dan media sosial. Jika dicermati lebih dalam lagi, ritual umroh menjadi semakin populer di masyarakat menyebabkan pergi umroh bukan hanya bertujuan untuk ritual ibadah saja tetapi untuk membentuk suatu gaya hidup baru dan kelas sosial tertentu.

Referensi

Chris Barker, Cultural Studies: teori dan praktek (Yogyakarta, Kreasi Wacana: 2009)

Theodor Adorno, The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception

Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas (Yogyakarta, Kanisius, 2009).

Farika Maula
Farika Maula
I'm journalist based on Jogja
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.