Sabtu, April 20, 2024

Hysteria: Sebuah Laboratorium Komunitas

Mega Ayu Lestari
Mega Ayu Lestari
A passionate amateur naturalist who has a big crush in social, art, and environmental issues.
Sejumlah karya Hysteria dalam Pameran Seni Rupa Kontemporer Manifesto 6.0 Multipolar, yang diadakan pada tanggal 3-17 Mei lalu di Galeri Nasional, Jakarta Pusat.
http://Dok.%20Pribadi

Telah lama, kota identik menjadi wilayah pertempuran sengit antardimensi. Mulai dari dimensi sosial, sampai dimensi yang jarang terjamah sekalipun; contohnya penanganan limbah industri.

Namun tak bisa dipungkiri, kota juga menjadi lahan impian dimana jutaan warga menggantungkan hidupnya untuk bekerja, tanpa begitu memperhatikan pembangunan serta ketimpangan yang tumbuh subur di dalamnya. “What is a city, but its citizen” celoteh Shakespeare (Budiharjo, 2014: 4).

Saat ini kota Semarang kian tumbuh dan berkembang, berikut dengan gurat pengalaman, asa, pun nelangsa yang tak abai menyelimuti kota. Ia turut mencampuri tiap segi kehidupan warga. Termasuk persoalan hak atas ruang, pendidikan, ketahanan bencana, upaya mitigasi, tantangan sosial-budaya, dan sebagainya.

Sekurang-kurangnya dari 2004 sampai akhir tahun 2010, Hysteria terbilang intim dengan kegiatan bertema sastra. Tahun 2009 menjadi titik balik perjalanan komunitas karena banyak anggota inti mulai undur diri.

Saat itu, program dirancang sesederhana mungkin, sehingga benar-benar bisa dikerjakan sendirian. Termasuk dari membuat konsep, menyebar undangan, mengundang pemantik diskusi, mengeluarkan konsumsi, mendokumentasikan, hingga menjadi moderator.

Hasilnya adalah program Kredo Kecil Penyair Kecil, yang diselenggarakan pertama kali pada tanggal 6 Mei 2009, dan berakhir di putaran yang ke-19 pada tanggal 19 Desember 2011. Program ini memberikan kesempatan pada para penulis puisi pemula untuk mempresentasikan gagasannya mengenai teks-teksnya, dan apa atau siapa yang menjadi sumber inspirasinya.

Kemudian sejak tahun 2006, Hysteria pun sudah terbiasa bekerja dan berkolaborasi dengan sejumlah komunitas; salah satunya dalam merintis beberapa festival lintas-disiplin dan seri diskusi terbuka. Namun di tahun 2011, Hysteria fokus pada pengembangan komunitas, seni, anak muda, dan tata kota.

Munculnya term ini tidak terlintas begitu saja; selain pada praktiknya yang sejak lama, namun terdapat kebutuhan untuk rebranding mengenai apa yang telah dikerjakan. Sebagai laboratorium komunitas, rangkaian program juga diadakan untuk meningkatkan kapasitas komunal, mulai dari pelatihan hingga fasilitasi. Contohnya, penggunaan properti, layanan konsultasi, dan pemakaian ruang.

Beberapa waktu lalu, dalam wawancara bersama Ahmad Khairudin, atau akrab disapa “Adin”; salah satu penggagas Hysteria, mengungkapkan bahwa persinggungan dengan banyak hal sebelumnya, membuat komunitas ini bergerak mendalami isu pengembangan masyarakat kampung kota.

Terlebih, jika ingin membangun ekosistem kota yang baik; terutama dalam berkesenian, hal ini jelas membutuhkan dukungan antarpihak. Persinggungan dapat kita amati dalam ranah kehidupan sehari-hari.

Seperti di isu lingkungan, wacana ekofeminisme kian terdengar luas, atau di isu budaya, kita tak hanya mengenal budaya sebagai nilai; identitas bagi suatu kelompok, namun juga sebagai media untuk penyadartahuan masyarakat, bahkan mampu melanggengkan hegemoni kalangan tertentu. Oleh karena itu, basis pengetahuan dan jaringan kelompok yang ada, butuh diketahui dan dielaborasikan untuk membangun komunikasi dan kerjasama multi-pihak.

Hysteria pun lahir sebagai buah kegelisahan yang kerap menyertai anak muda kala itu. Adin menjelaskan “mulai declare itu 2011, tapi dari 2007 itu udah mulai gelisah. Tahun 2007 udah bikin kayak pemetaan, undang teater Semarang… Teater Semarang Hari Ini beberapa episode, terus Membaca Sastra Semarang Hari Ini… Karena kita itu pengin tahu, sebenarnya apa sih yang terjadi di kota ini… Kita ngga tahu kalo kita mau riset sejarah sastra disini, mau riset sejarah pergerakan mana… Kita ngga tahu karena orang-orang itu ngga meninggalkan catatan. Lengkong Cilik misalnya, ngga ada bukunya… Sanggar Seni Paramesthi yang udah dari tahun 90-an itu ngga ada bukunya, mana…”

Adapun serpihan-serpihan esai yang orang-orang kumpulkan. Oleh sebab itu, Hysteria mengambil jalan tengah dengan mengundang orang-orang tersebut, dan akhirnya mereka menjajal bidang pemetaan, arsip, serta mendokumentasikan kumpulan data yang tersisa.

Adin menanggapi bahwa ketika kota ini hanya sibuk menjadi “konsumen” apapun; termasuk konsumen wacana, akan disayangkan karena perubahan membutuhkan pendekatan dan strategi holistik, baik secara budaya, ekonomi, politik, maupun bidang lainnya. Hysteria pun menjaring serta mendirikan basis pengetahuan sebagai bentuk aktivasi warga dalam pembangunan kota yang kreatif, humanis dan berkeadilan.

Seperti dikatakan Louis Althusser dalam buku Filsafat sebagai Senjata Revolusi (2007), pengetahuan akan seni mengandaikan sebuah gerak pemisahan diri sejak awal dengan bahasa spontanitas yang ideologis, dan mengandaikan batang tubuh konsep-konsep saintifik sebagai gantinya. Dengan kata lain, pengetahuan tentang seni harus berdiri sebagai bangun pikir dan ruang yang terlepas dari ideologi.

Untuk itu, dalam menyikapi kontestasi ruang atas kota, hak, peran maupun tanggungjawab masyarakat di dalamnya, Hysteria ikut meneliti, mengidentifikasi, dan memverifikasi persoalan yang melingkupi Kota Semarang khususnya. Mereka berkarya melalui dialog, aktivasi ruang publik, serta mendorong masyarakat untuk aktif terlibat.

Alfonso Gumucio-Dagron pun menjelaskan dalam buku Communication for Development and Social Change, bahwa jika masyarakat sipil bertujuan mengambil peran yang lebih besar dalam memahami dan bekerja untuk pembangunan, maka dialog tidak dapat dihindari. Begitu pula dengan organisasi pembangunan, dialog merupakan kunci dalam menjembatani kepentingan dan tujuan bersama; baik dari organisasi, pemerintah, ataupun masyarakat sipil.

Dalam hal tersebut, Hysteria menggunakan ‘seni’; apapun pendekatan, jenis, dan dialektika di dalamnya, sebagai wahana untuk memunculkan narasi-narasi baru tentang kota. Kemudian, narasi tentang bagaimana anak muda bisa mengasosiasikan karyanya dengan sejumlah isu di kampung kota, hingga kemudian menyebarluaskan aspirasi, kepentingan, dan peran anak muda dalam membangun kota yang mereka impikan.

Hal selanjutnya tentu bagaimana meningkatkan kohesi sosial, mengembangkan kapasitas maupun keterampilan masyarakat (sebagai subjek aktif dalam pembangunan kota), serta mengadakan diskusi rutin mengenai persoalan di lingkungan sekitar; termasuk dualisme kepentingan kuasa dan modal yang cukup mendapatkan tempat tersendiri di Kota Semarang.

Daftar Pustaka 

Althusser, Louis. (2007). Filsafat sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta: Resist Book.

Budiharjo, Eko. (2014). Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban menjadi ‘Human Zoo’. Jakarta: Kompas Gramedia.

Thomas, Pradip; Jan Servaes; Alfonso Gumucio-Dagron; dkk. (2007). Communication for Development and Social Change. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.

Mega Ayu Lestari
Mega Ayu Lestari
A passionate amateur naturalist who has a big crush in social, art, and environmental issues.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.