Tanpa perlu banyak berbasa-basi perihal kondisi yang kita semua alami saat ini, tentu saja kita sama-sama merasakan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan suatu hal yang langka, sehingga menyebabkan dampak yang besar bagi berbagai lapisan masyarakat pada seluruh aspek kehidupan; baik secara ekonomi, politik, hingga sosio-kultural.
Meskipun demikian, cara tiap-tiap lapisan masyarakat memaknai pandemi Covid-19 ini berbeda-beda, dan itu terlihat dari apa yang terjadi pada realitas sehari-hari. Tentu, meskipun skema yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah penyebaran Covid-19 ini adalah dengan ditetapkannya PSBB dalam skala nasional, namun tiap-tiap masyarakat dibawahnya memaknai hal tersebut dengan cara yang berbeda, tak terlepas pula bagaimana para ‘kaum intelektual’ ini melaksanakan peranannya pada ranah-ranah aktivisme yang mereka lakukan.
Berbagai macam hal telah dilakukan oleh ‘kaum intelektual’ ini dalam mengisi ruang-ruang kekosongannya. Terlihat sebagaimana seruan akan produktif walau dirumah, mengembangkan softskill-hardskill secara mandiri, hingga kegiatan aktivisme berupa upaya advokasi kesejahteraan dan penghimpun donasi bagi mereka yang terdampak. Point terakhir itulah yang saya soroti sebagai bentuk dari intellectual vanguardism di era pandemi.
Hustle Culture sebagai realita simbolik
Seruan akan produktif dan melakukan segala aktivitas dirumah pada titik tertentu merupakan upaya yang baik dilakukan dalam memerangi kegalauan dan kegelisahan individu akan shock yang dialaminya. Namun pada titik tertentu, ini merupakan tren baru, dimana seseorang percaya dan terus mengartikulasikan nilainya secara masif bahwa produktif pada era pendemi merupakan suatu hal yang penting dan harus dilakukan.
Orientasi yang ditujupun berubah, yang awalnya tentu untuk mengisi kekosongan dan memanfaatkan waktu luang, menjadi sebuah artikulasi nilai bahwa inilah yang harus dilakukan agar mendapat pencapaian-pencapaian tertentu. Living from outside in, living form inside out, sebuah ‘Rise and Grind’ of Hustle Culture dalam analisisnya Bryan E. Robinson. Hustle culture merupakan realitas yang hidup dan kita hadapi saat ini alih-alih untuk produktif dan kompetitif. Tentu saja ini amat berpengaruh pada kehidupan kita, itulah mungkin salah satu sebab rasa insecure atau anxiety dengan keberhasilan dan produktifitas orang lain tumbuh subur pada diri kita masing-masing, silahkan refleksikan sendiri-sendiri.
Dorongan produktif menjelma aktivisme
Sejarahnya, perubahan sosial atau resktukturalisasi kehidupan yang terjadi selama ini memang tak pernah lepas dari peran-peran dan kontribusi ‘kaum intelektual’ di dalamnya. Terlihat bahwa pada abad ke-19 pun, gagasan pelopor perubahan sosial-politik digunakan secara luas oleh mereka-mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan akademik lebih, contohnya seperti Marx. Walaupun mungkin Marx berdalih tak ingin diistilahkan sebagai ‘pelopor’ dan melemparkannya kepada kaum buruh sebagai agen konkrit perubahan atas negasi dari kapitalisme, tetap saja koran radikal terbitan saat itu menyebut Marx dengan istilah The Avant Garde, dan itu disetujui oleh para buruh saat itu.
Perubahan sosial dan aktivisme yang dilakukan hampir selalu terjadi karena hadirnya pemahaman akan konsep marginality, yakni pemahaman akan ketidakmampuan sebuah kelompok tertentu akibat adanya dominasi kekuasaan ataupun ketimpangan relasi-kuasa. Tentu, marginality adalah konstruksi yang mengakibatkan pandangan yang dikotomis dan bersifat oposisi-biner, seperti; kaya-miskin, borjuasi-proletar, kota-desa, maju-tertinggal, dsb. Corak pemikiran seperti inilah yang membuat analisis Marxian mampu menggerakan para proletar dalam memperjuangkan hak-haknya sehingga membuat Marx mendapat gelar ‘pelopor’ atau The Avant Garde.
Dengan konsep marginality dan pemahaman untuk harus membantu para kelompok sosial terdampak Covid-19, aktivisme dilancarkan oleh para ‘kaum intelektual’ dengan upaya-upaya yang kreatif, seperti open donation melalui dompet amal, diskusi dan menyebarkan nilai-nilai kewaspadaan akan bahaya Covid-19 melalui video ataupun podcast, dan sebagainya.
Maraknya tindakan aktivisme semacam ini dapat dimaknai menjadi dua alternatif; Pertama, karena memang berangkat dari dorongan moral untuk membantu sesama. Kedua, terjebak hustle culture dan dorongan ingin produktif dengan menggunakan alasan pertama. Meskipun keduanya memiliki tujuan akhir yang mulia dan baik secara moral.
Apa yang terjadi oleh para ‘kaum intelektual’ ini adalah apa yang saya amini sebagai tindakan intellectual vanguardism, yaitu para akademisi dan intelektual (dalam artian memiliki pengetahuan lebih) seolah memiliki kewajiban atau peran untuk membantu menyelesaikan segala rintangan yang terjadi di kehidupan sosial, dengan dasar konstruksi marginality tersebut yang mana hal itu belum tentu benar-benar terjadi demikian.
Terlebih, terdapat kemungkinan bahwa apa yang dilakukan berdasarkan realitas simbolik karna terjebak pada hustle culture. Pertanyaannya, apakah kalian semua pernah merasa segala aktivisme moral yang terjadi di media sosial -terlebih pada era pandemi ini- berkecenderungan ikut-ikutan dan tak genuine karna ingin membantu? Well, lagi-lagi silahkan refleksikan sendiri-sendiri.
Karena memang tiada yang tau akan motif ataupun reason seseorang dalam melakukan segala prilakunya. Hal paling memungkinkan dalam menganalisisnya adalah dengan melihat konteks, sets of meaning and value, hingga relasi-relasi yang terjalin dalam kehidupan kita hari-hari ini. Mari sama-sama pikirkan ulang apa yang akan kita maknai sebagai produktif dan berguna bagi sesama pada era pandemi seperti saat ini. Demikian juga tulisan ini. Silahkan direfleksikan.
Daftar Pustaka:
Graeber, David. The Twillight of Vanguardism. Irvine Infoshop, 2007.
Robinson, Bryan E., and Lisa Kelley. “Adult children of workaholics: Self-concept, anxiety, depression, and locus of control.” American Journal of Family Therapy 26.3 (1998): 223-238.
Spence, Lester K. Knocking the hustle: Against the neoliberal turn in black politics. punctum books, 2015.