Ketika dunia pendidikan tak lagi menjadi ruang aman, dan keilmuan menjadi jubah suci untuk menutupi hasrat predatoris, maka bukan hanya integritas akademik yang hancur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi negara. Pemecatan Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Edy Melyanto, pada 20 Januari 2025 atas kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswi, menjadi tragedi akademik sekaligus cermin buruknya mekanisme pengawasan internal dalam institusi pendidikan tinggi.
Hal yang lebih menyedihkan, modus kekerasan seksual itu begitu sistematis. Dilakukan melalui bimbingan skripsi, tesis, hingga disertasi di luar kampus, dan seolah mendapatkan fasilitasi melalui kegiatan riset di Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC). Artinya, kekuasaan akademik dan relasi subordinatif antara dosen dan mahasiswa digunakan sebagai alat eksploitasi seksual.
Kekerasan seksual bukan lagi insiden, tetapi struktur. Ia melekat dalam pola hubungan sosial yang timpang, dalam sistem pendidikan yang memuja hierarki tanpa kontrol, dan dalam budaya diam yang menyelubungi kekerasan sebagai rahasia bersama. Lebih-lebih, saat para pelaku adalah figur otoritatif seperti guru besar atau petinggi kepolisian.
Kita tidak bisa melupakan kasus di Universitas Padjadjaran yang juga menyeret mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi sebagai pelaku kekerasan seksual. Lokasinya di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung, tempat yang seharusnya orang sembuh, bukan trauma. Dalam relasi kuasa yang kompleks antara senior-junior, pelatih-peserta, atasan-bawahan, kekerasan seksual menjelma menjadi bagian dari normalitas patologis.
Hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo mengajak kita untuk tidak semata-mata melihat hukum sebagai teks mati. Hukum adalah alat untuk menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar prosedural. Maka, dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat akademik, pendekatan hukum harus memihak korban, menembus struktur institusi, dan menuntut pertanggungjawaban sistemik.
Sayangnya, seringkali penanganan hukum terhadap kekerasan seksual masih tersandera oleh budaya patriarkal, prosedur birokratis, dan minimnya perspektif korban. Ketika UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) hadir, kita berharap ini menjadi senjata hukum progresif. Namun implementasi di lapangan masih sporadis dan kadang mandek di kepolisian yang justru menjadi pelaku, sebagaimana terjadi dalam kasus Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma.
Ini adalah paradoks. Aparat negara yang semestinya melindungi justru menjadi predator anak. Jika negara hadir melalui lembaga yang seharusnya melindungi tetapi malah mencederai, maka negara gagal memenuhi mandat konstitusionalnya. Rakyat berhak menuntut perlindungan yang otentik dan bukan sekadar jargon.
Data KemenPPPA per 10 April 2025 menunjukkan bahwa ada 6.021 kasus pelecehan seksual, dan 5.202 di antaranya adalah perempuan. Ini bukan sekadar angka, ini adalah ratapan yang terus bergema dari ruang-ruang kampus, rumah sakit, kantor polisi, hingga media sosial. Kita sedang menyaksikan epidemi kekerasan seksual yang belum kunjung surut karena akar strukturalnya belum digarap serius.
Teori differential association yang dikemukakan Edwin Sutherland menjelaskan bahwa perilaku menyimpang, termasuk kekerasan seksual, dipelajari melalui interaksi sosial. Ketika seseorang berada dalam lingkungan yang membenarkan kekerasan seksual, maka perilaku itu menjadi bagian dari nilai yang dianggap wajar. Lingkungan akademik yang permisif, tidak responsif terhadap aduan korban, dan penuh dengan relasi kuasa, menciptakan ruang belajar bagi pelaku untuk melanggengkan kekerasan.
Sementara strain theory oleh Robert K. Merton menunjukkan bahwa ketegangan antara aspirasi dan realitas dapat mendorong individu untuk menyimpang. Dalam konteks ini, hasrat akan prestise, kekuasaan, atau bahkan pengakuan sebagai “tokoh penting” sering dimanipulasi melalui tindakan predatoris karena sistem tidak menyediakan kanal ekspresi yang sehat dan beretika.
Negara harus membangun early warning system berbasis integritas institusi. Setiap kampus dan institusi publik harus memiliki satuan tugas independen yang menangani kekerasan seksual, dengan wewenang penyelidikan internal dan akses langsung ke penegak hukum. Tidak cukup hanya dengan SK Rektor atau SOP formalistik.
Kita juga butuh pendidikan gender yang wajib bagi seluruh pengajar dan pejabat publik. Gender bukan isu perempuan semata, tetapi isu keadilan dan hak asasi manusia. Jika seorang guru besar tidak memahami relasi kuasa dan etika profesi, maka gelarnya hanya topeng yang menutupi wajah predator.
Sudah saatnya semua institusi mengadopsi prinsip zero tolerance terhadap kekerasan seksual. Perlindungan korban harus menjadi prioritas, mulai dari sistem pelaporan yang aman dan anonim, hingga pemulihan psikologis dan hukum. Korban bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek kebenaran yang harus dipulihkan martabatnya.
Gerakan ini juga menuntut partisipasi aktif publik. Jangan biarkan kasus seperti Edy Melyanto dan mahasiswa PPDS Unpad berlalu begitu saja. Publik harus terus bersuara, mencatat, dan mengingat. Setiap korban berhak mendapat keadilan dan pemulihan. Dan setiap pelaku, siapapun dia, harus bertanggung jawab secara hukum dan moral.
Jika negara lambat, publik harus cepat. Jika lembaga tertutup, solidaritas harus terbuka. Karena hanya dengan keberanian kolektif, kekerasan seksual bisa dihentikan. Bukan nanti. Tapi sekarang.