Pansus hak angket DPR RI bertemu dengan napi-napi kasus korupsi di Lapas Suka Miskin guna mengutip keterangan tentang pelaksanaan pemeriksaan kasus-kasus korupsi yang dilaksanakan oleh KPK. Pertemuan tersebut sontak menuai respon negatif masyarakat dan dinilai sebagai cara membangun persepsi publik bahwa “pelaku korupsi adalah korban.”
Usaha keras politisi-politisi senayan dalam menjalankan agenda penegakan hukum dan keadilan tersebut diatas dirasa berbanding terbalik pada kasus-kasus yang melibatkan kelompok masyarakat marjinal, seperti kasus-kasus kriminalisasi petani dan masyarakat adat dalam bidang agraria.
Kasus-kasus kriminalisasi petani dan masyarakat adat sendiri muncul akibat buruknya produk legislasi agraria dan sumber daya alam. Produk legislasi agraria dan sumber daya alam yang ada masih belum sepenuhnya melindungi tanah-tanah adat masyarakat adat dan petani.
Konsekuensinya, tanah-tanah adat rentan dirampas atas nama hukum plus kriminalisasi masyarakat adat dan petani dengan dalil penyerobotan lahan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat setidaknya terdapat 24 kasus kriminalisasi masyarakat adat akibat konflik agraria tersebut.
Alih-alih melahirkan Pansus agraria untuk memecahkan persoalan ketidakadilan agraria, DPR RI untuk tugas legislasinya saja masih mangkrak dalam melahirkan atau merevisi undang-undang tentang perlindungan masyarakat adat dan agraria. Lihat saja dalam hal mandeknya pembahasan RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Pertanahan dan Revisi Undang-Undang Kehutanan.
Namun kenapa dalam hal hak angket KPK, politisi – politisi senayan begitu semangatnya dan seolah-olah mengerahkan semua tenaga politiknya yang kontras dengan minimnya dukungan politik dalam hal memecahkan persoalan ketidakadilan agraria ?
Hukum dan Kuasa Politik
Untuk menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya merujuk Simarmata (2007) yang menyebutkan bahwa; Hukum tidak mungkin berproses secara asosial dan akultural. Hukum rentan terhadap pengaruh kepentingan, persepsi dan aspek budaya, yang muncul dari masyarakat dan juga petugas dan aparat penegak hukum yang mempengaruhi hukum itu sendiri.
Artinya sulit memisahkan antara hukum dengan kepentingan-kepentingan politik, budaya dan ekonomi, terutama dalam hal kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan struktur ekonomi dan politik.
Relasi erat kekuatan-kekuatan modal dan politik pada sendi-sendi strategis pembuat dan penegak hukum memancing kita untuk memeriksa lebih dalam tentang struktur hukum yang kita anut. Struktur hukum kita mengadopsi sistem hukum liberal, yang secara sederhana seringkali diungkapkan oleh aparat penegak hukum, bahwa segala sesuatu telah dilaksanakan sesuai prosedur.
Disana tersirat argumen prosedur adalah gema keadilan. Padahal, banyak kasus membuktikan, secara kasat mata, banyak prosedur justru menjadi musuh keadilan. Lalu, mengapa prosedur dianggap lebih penting dari ungkapan substansif keadilan ? Kasus kriminalisasi masyarakat adat dan petani adalah contoh gamblang pendewaan terhadap keadilan prosedural tersebut.
Kaca Mata Hukum Kritis
Pendekatan hukum kritis untuk melihat praktik pembentukan dan pelaksanaan hukum relevan untuk Indonesia ditengah masih terasa jauhnya keadilan (substantif). Hukum kritis sendiri tidak bisa dilepas dari kritik mazhab ini terhadap hukum liberal modern yang terlalu mengagungkan keadilan prosedural.
Sebagai mazhab hukum, hukum kritis pertama kali diperkenalkan di Wisconsin pada tahun 1977, seiring perjuangan hak-hak sipil Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 yang tidak puas dengan realitas hukum dimasa perang Vietnam dan dibarengi dengan gejolak ekonomi serta politik internal Amerika Serikat pada masa itu.
Dengan kondisi Indonesia hari ini, dimana berbagai krisis muncul dan belum diselesaikan, baik di aras politik, ekonomi, hukum dan bahkan sosial budaya, dirasa cukup relevan bila menelitik alternatif pemikiran dalam hukum (hukum kritis) untuk mencoba mengkritik kandungan hukum liberal yang selama ini kita anut.
Salah satu arena telaah hukum kritis yang penting adalah pada proses Penegakan hukum. Hukum kritis menilai bahwa arena penegakan hukum adalah batu uji atas doktrin mapan hukum tentang hukum yang netral, egaliter dan bebas nilai.
Bahkan telaah hukum kritis masuk lebih jauh ke kerangka ideologis hukum (politik), yang salah satu tesisnya adalah; penegakan hukum sesungguhnya merupakan halaman perkelahian serius antar kelas, dimana kelas elit memiliki semua akses ke hukum.
Dalam hal ini, mereka meminjam Marx, menyatakan hukum adalah produk kelas dominan untuk menguntungkan kelasnya, sekaligus sebagai senjata untuk menundukkan kelas proletar. Penegak Hukum dan juga Pembuat Hukum (Lawmaker) adalah kelas elit karena masuk dalam lingkaran kekuasaan. Dari sana diproduksikan Kontrol dan sanksi pelanggaran hukum.
Jika dilihat dalam pendekatan hukum kritis pada dua contoh kasus diatas, yaitu angket KPK dan kriminalisasi masyarakat adat dan petani, maka bisa terlihat bahwa akses terhadap hukum menjadi faktor penting.
Masyarakat adat dan petani adalah kelompok lemah dalam hal akses terhadap hukum, baik dalam penyusunan maupun dalam penegakan hukumnya, sehingga perlindungan hukum terasa jauh bagi mereka, sehingga perampasan tanah adat dan kriminalisasi potensial terus berlangsung.
Berbeda halnya dengan kasus korupsi, dimana keterlibatan elit politik dan pemerintahan kental yang memungkinkan mereka mengakses hukum secara maksimal. Hak angket KPK adalah contoh menarik untuk melihat bagaimana elit mampu mempengaruhi proses penegakan hukum dan bahkan dominasi terhadap pembentukan hukum (baca revisi UU anti korupsi).