Rabu, Oktober 9, 2024

Hubungan Hukum Agama dan Hukum Adat di Masa Kolonial

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dalam rangka memahami sistem sosial dan nilai-nilai yang berada di masyarakat, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengangkat seseorang penasihat untuk membantu mereka dalam mengetahui dan memahami kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Kala itu terdapat beberapa bagian yang belum dikuasai pemerintah Hindia Belanda yaitu bagian utara pulau Sumatera utamanya Aceh. Sehingga, pemerintah Hindia Belanda menggencarkan serangan militer ke daerah tersebut pada medio tahun 1870an.

Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda mengangkat Van Der Berg sebagai penasihat bidang hukum Islam dan bahasa timur. Van Der Berg melakukan penelitian yang mendalam untuk memahami dan menganalisis kondisi kemasyarakatan masing-masing masyarakat adat yang ada di Indonesia umumnya dan Aceh Khususnya.

Di dalam penelitian yang digelar oleh dirinya dan timnya, ia menemukan fakta bahwa setiap hukum yang dianut dan dipegang teguh oleh masyarakat berpedoman pada agama yang dianut masyarakat tersebut. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hukum yang berkembang dan dipegang teguh oleh masyarakat mengikuti hukum agama yang dianut oleh masyarakat. Penjelasan di atas sering disebut dengan teori Reception in Complexu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum adat berada di atas hukum Islam dalam kehidupan masyarakat.

Hingga 20 tahun kemudian, Aceh belum berhasil pula dikuasai. pemerintah Hindia Belanda mengirim penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam bidang Hukum Islam dan Bahasa Timur, Christian Snouck Hurgronje untuk menggantikan Van Der Berg.

Berdasarkan hasil observasi dan pengamatannya tersebut dan juga ditambah dengan studi pustaka yang dilakukannya, Hurgonje membuat teori terkait korelasi antara hukum agama Islam dengan hukum adat. Ia menyatakan bahwasanya hukum Islam memang diterima secara teori, namun sering dilanggar dalam praktiknya dalam kehidupan masyarakat.

Hukum adat telah diinfiltrasi penerapannya oleh nilai-nilai hukum Islam. Sehingga, hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat bukan lagi hukum Islam karena telah menjadi bagian dari Hukum adat. Teori ini populer dengan nama teori resepsi.

Teori resepsi adalah keadaan suatu masyarakat tradisional Indonesia di mana mereka menerima keberadaan hukum Islam secara formal, namun dalam praktik sehari-hari hukum Islam sering dilanggar pelaksanaannya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum adat berada di atas hukum Islam dalam kehidupan masyarakat.

Teori Hurgonje ini dibantah kebenarannya oleh H.M. Rasjidi. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam di Universitas Indonesia tanggal 20 April 1968, ia menyoroti beberapa poin penting pemikiran Hurgonje yang dianggapnya menyimpang.

Rasjidi mengatakan Hurgonje cerdas dalam memahami dan menganalisis suatu keadaan masyarakat. Namun, Hurgonje telah keliru dalam memahami dan menganalisis hukum Islam. Ia membantah pernyataan Hurgonje yang mengatakan hukum Islam diterima secara teoritis. Namun, dalam praktiknya sering menyimpang.

Rasjidi menjelaskan bahwasanya di mana pun, termasuk di Indonesia hukum itu diterima dalam teori namun karena berbagai faktor terjadi penyimpangan dalam praktiknya, bukan hanya oleh masyarakat awam tetapi oleh para penegak hukumnya juga. Ini terjadi dalam semua sistem hukum, bukan hanya hukum Islam saja.

Selain itu, Pendapat Hazairin dan Sayuti Talib memperkuat argumen Rasjidi. Hazairin dan Sayuti Talib menyatakan bahwa hukum adat hanya berlaku apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat.

Maka daripada itu dapat disimpulkan bahwa hukum Adat yang menyesuaikan diri ke dalam Hukum Islam. Atau Hukum Adat yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat adalah norma Hukum Adat yang sesuai dengan jiwa Hukum Islam. Jika norma Hukum Adat tersebut tidak sejalan dengan jiwa dan semangat Hukum Islam, maka Hukum Adat tersebut harus dijauhkan dari kehidupan pergaulan lalu lintas masyarakat. Penjelasan Teori di atas disebut dengan teori Receptio A Contrario.

Dari ketiga teori korelasi antara hukum Islam dengan hukum adat yang telah dipaparkan di atas, terdapat dua teori yang tercipta di masa pemerintahan Hindia Belanda sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua teori tersebut merupakan teori yang saling bertentangan satu sama lain. Kedua teori tersebut adalah teori receptie dan Teori Receptio in Complexu. Perbedaan pendapat di antara pencetus kedua teori ini turut mempengaruhi pandangan mereka terhadap pengadilan agama yang ada di Hindia Belana untuk mengatasi masalah perdata antara kaum-kaum pribumi yang beragama islam.

Van Der Berg sebagai pencetus teori ini memaparkan bahwa orang Islam di Indonesia telah melakukan resepsi/penerimaan terhadap hukum Islam secara keseluruhan dan sebagai satu kesatuan. Maksudnya adalah orang Islam di Indonesia telah menerima hukum Islam secara keseluruhan dan bukan hanya sebagian juga. Lebih dari itu, teori ini menyatakan bahwa hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari adalah hukum agama yang dianutnya.

Implikasi dari pendapat Van Der Berg ini adalah terbentuknya institusi pengadilan agama di samping pengadilan negeri sejak tahun 1882. Di mana pengadilan agama berhak mengadili dan memutuskan perkara perdata antara orang Islam dengan orang Islam lainnya. Kewenangannya adalah memutuskan hal-hal perihal wakaf, kewarisan, dan perceraian.

Dalam hemat Hurgonje, seharusnya hukum Islam harus dibiarkan begitu saja tanpa suatu pengakuan resmi secara tertulis dari pemerintah Hindia Belanda. Kritik yang dilancarkan Hurgonje bersama Van Vollenhoven dan Ter Haar mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk membuat komisi yang bertugas untuk meninjau kembali kedudukan dari pengadilan agama pada tahun 1922.

Pendapat-pendapat Hurgonje, Van Vollenhoven, dan Ter Haar sangat mempengaruhi pemerintah Hindia Belanda dalam mengambil kebijakan terkait keberadaan hukum adat dan hukum Islam. Dalam pendapatnya terkait politik hukum yang terjadi di Hindia Belanda, Hurgonje memaparkan bahwasanya pengaruh hukum Islam dalam bidang politik harus ditolak keberadaannya.

Ditambah dengan berkembangnya paham pan-islamisme yang anti penjajahan membuat Islam dipandang sebagai ancaman berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda. Pandangan ini sangat populer bagi golongan orang Belanda yang tidak senang terhadap Islam karena dianggap sebagai faktor penghambat pemerintah Hindia Belanda dalam menguasai nusantara.

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.