Jumat, April 26, 2024

Hubungan antara Agama dan Gerakan Feminis

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Kemunculan  gerakan feminis telah menjadi babak baru dalam sejarah umat manusia tentang arti penting kesetaraan dan menghapus segala macam penindasan yang menghubungkan  relasi antara laki-laki dan perempuan. Banyak tokoh feminis beranggapan bahwa agama memiliki peranan yang amat penting dalam melegitimasi kekuasaan laki-laki di hadapan perempuan.

Memang, hukum agama memiliki sifat komplementer, yakni saling melengkapi, tetapi tak jarang juga sifat komplementer itu tidak didukung oleh rasa keberpihakan yang tinggi pada nilai-nilai kesetaraan. Sehingga adanya otoritas laki-laki yang menjadi penafsir tunggal memahami doktrin agama justru banyak melahirkan penafsiran normatif yang merugikan perempuan di satu pihak dan di pihak lain melegitimasi kekuasaan laki-laki di atas perempuan.

Ada anggapan kuat bahwa institusi agama memiliki peranan yang penting dalam melahirkan budaya patriarki. Juga, lahirnya berbagai macam gerakan feminis di berbagai belahan dunia merupakan bentuk perlawanan terhadap legitimasi doktrin agama tersebut.

Dalam banyak bentuknya, gerakan feminis melakukan kritik yang tajam terhadap pemahaman agama yang disinyalir mendukung eksistensi budaya patriarki. Mula-mula, gerakan ini memang hanya terbatas sebagai gerakan sosial yang didukung oleh berbagai macam teori sosiologi, tetapi dalam perkembangannya, gerakan feminis mulai merambah ke wilayah teologis.

Secara tipologis, gerakan ini memiliki banyak macam, seperti feminisme radikal, sosialis dan liberal, tujuannya hanya satu yakni memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga dapat menyesuaikan dan mencapai kesetaraan di hadapan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai macam tipikal yang berbeda ini, sesungguhnya memiliki kesamaan. Hanya, gerakan feminis yang berangkat dari kritik terhadap agama, memulai gerakannya melalui koreksi pada wilayah teologis yang dijadikan sebagai wahana untuk mencapai tujuannya.

Sebagai gerakan sosial, feminisme ingin memperjuangkan kesetaraan gender melalui perombakan sistem patriarkal dan melakukan rekonstruksi terhadap sistem egaliter dalam struktur masyarakat. Sementara dari segi gerakan keagamaan, feminisme berusaha melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks suci yang dianggap mengandung semangat patriarki.

Dalam konteks sejarah, lahirnya gerakan feminis di Amerika Latin tahun 1966 juga terilhami oleh adanya gerakan keagamaan yang mengusung konsep teologi pembebasan. Terbukti bahwa argumentasi teologi pembebasan ini, dengan sedikit dibumbuhi argumentasi Marxis, berhasil melakukan perubahan yang mendasar dalam doktrin Gereja yang kala itu sangat bercirikan strukturalis.

Memang pada awalnya doktrin Gereja sangat bersifat elitis. Kehadiran gerakan feminis ini menjadikan ajaran Gereja menjadi makin praktis dan sangat berpihak pada kaum lemah. Akibatnya, berbagai macam teks keagamaan yang cenderung berpihak pada budaya patriarki mulai ditafsir ulang untuk mencapai tujuan yang substansial dari makna teks yang egaliter.

Gerakan feminis berbasis teologis ini tampak berhasil dalam mereformasi pemahaman keagamaan yang sangat bias kelelakian. Tujuannya jelas, untuk menghapus budaya patriarki yang sudah sangat akut dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender. Jadi tidak benar jika feminisme hanya semata-mata gerakan sosial semata, justru kajian yang merambah ke wilayah ketuhanan memberikan kekuatan baru dalam menciptakan struktur masyarakat yang lebih egaliter.

Dalam perkembangannya, gerakan feminis bercorak teologis ini mempengaruhi berbagai agama seperti Yahudi dan Islam. Menurut para feminis, pemahaman terhadap teks-teks keagamaan seringkali menggunakan ideologi patriarki dan melegitimasi berlangsungnya budaya itu, sehingga superioritas laki-laki di hadapan perempuan dianggap sebagai kodrat Tuhan.

Misalnya, wacana utama  tentang ketidakadilan gender yang terus menjadi polemik adalah terkait dengan asal-usul manusia dan problem kepemimpinan perempuan. Dalam ajaran tiga agama langit, yakni Yahudi, Kristen dan Islam, ada ajaran historis yang mengisahkan tentang penciptaan Adam dan Hawa, di mana Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, kisah ini melegitimasi bahwa adanya perempuan sangat ditentukan oleh laki-laki. Sehingga posisi perempuan selalu dianggap lebih rendah dan merupakan pelayan bagi laki-laki.

Konsep kepemimpinan perempuan juga masih sangat menimbulkan polemis. Ada semacam anggapan umum bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin, di samping lemah, kepemimpinan mereka juga tak didukung langsung oleh teks-teks suci. Berbeda dengan laki-laki, sedari awal ada nash al-Qur’an yang menunjukkan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Nabi juga pernah bersabda bahwa tak boleh mengangkat perempuan menjadi pemimpin.

Persis pada wilayah inilah, para feminis menggugat konstruksi nalar keagamaan yang mengarah pada budaya patriarki, sebagaimana kedua contoh di atas. Mereka tak mempermasalahkan teks suci, yang mereka lakukan adalah merekonstruksi ulang pemahaman teks suci agar sesuai dengan perkembangan zaman dan memiliki nilai kontekstualisasi. Sebab, jika kita ingin merubah tatanan sosial berbasis agama, kita tak perlu merubah narasi teks dalam kitab suci, tetapi cukup rubah pola interpretasi itu dan sesuaikan dengan kondisi kekinian.

Paling tidak, itulah agenda utama gerakan ini. Dekonstruksi terhadap pandangan teologis menjadi amat penting sebab inilah awal-mula dan akar terjadinya diskriminasi gender. Ideologi patriarki tampaknya memang telah sejak lama mendominasi tafsir agama. Tetapi bukan sesuatu yang mustahil bila dominasi laki-laki sebagai penafsir teks akan digugurkan oleh proses reinterpretasi teks keagamaan oleh para feminis.

Dalam Islam misalnya, sumber pegangan hidup yang paling utama adalah al-Qur’an dan sunnah, maka reinterpretasi harus dimulai dari kedua sumber ini. para feminis tak harus mengambil alih interpretasi yang telah lama didominasi laki-laki, mereka cukup berjuang dalam melakukan pembaharuan dan memikirkan kembali hal-hal yang sudah selayaknya dirubah sesuai dengan keadaan dan tuntutan zaman.

Tampaknya, gerakan feminis cukup berhasil, eksistensi mereka saat ini tak bisa dipandang sebelah mata. Di samping telah berhasil melakukan reinterpretasi ulang terhadap teks, perempuan-perempuan masa kini telah banyak mengambil peran strategis di ranah sosial, seperti di ranah politik pemerintahan. Sekarang, tidak mustahil perempuan menjadi pemimpin, mereka telah membuktikan bahwa perempuan bukanlah makhluk yang lemah. Mereka dapat menjadi apa saja sesuai peran dan fungsi sosial yang mereka inginkan.

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.