Minggu, April 28, 2024

Hobbesian dan Cara Masyarakat Mendidik Anak

Fadli Rais
Fadli Rais
Pecinta Manchester City paruh waktu. Kini memulung ilmu di UIN Walisongo

Anak sebagai aset kehidupan harus dijaga sekuat tenaga. Hasil pertemuan sel dua sejoli yang dibuahi hingga dikeluarkan dari kegelapan rahim. Tak main-main, saat di ranjang rumah sakit/rumah bersalin, seorang ibu harus berada di antara kehidupan dan kematian. Suara oe…oe…oe! bertanda manusia baru telah dilahirkan ke dunia. Si empunya berlinang air mata tanda suka cita.

Hari ke hari, pertumbuhan manusia baru itu makin pesat. Belajar merangkak untuk berjalan. Berbicara sekenanya demi melatih kelancaran ucapan, dan “disayangi” oleh kedua orangtua. Kebahagian tiada duanya, salah satu kesempurnaan anak-anak berawal dari kasih sayang. Lantas, bagaimana jika kasih sayang berubah menjadi garang ?

Nasihat lama fisuf Inggris, Thomas Hobbes. Homo Homini Lupus (manusia serigala (pemangsa) bagi manusia lainnya). Ungkapan ini ditarik dari karya Plautus ‘Asinaria (495, homo homini lupus est), kalimat itu ditarik oleh Thomas Hobbes dalam dedikasi karyanya De cive (1651).

Di dunia, sesama makhluk Tuhan saling terkam, antara yang lemah dan kuat. Besar dan kecil. Baru dan lama. Kesemuanya, anasir itu digunakan menghancurkan lainnya. Hingga pada titik puncak, ditindas atau tertindas merupakan pilihan.

Lalu, apa korelasi anak dan homo homini lupus? Anaklah salah satu korban kebringasan dari orang-orang dewasa yang terdapat dilingkaran hidupnya. Posisi anak sebagai objek pameo homo homini lupus. Ia tak bisa mengelak dari jeratan kelas moral. Anak-anak harus menghormati orang tua, dan orangtua menyayangi dengan cara mereka sendiri.

Terdapat ketidakberimbangan ketika anak harus “patuh” bak kerbau sementara orang tua layaknya “petani” menyuruh sesuka hati seperti dituliskan Soe Hoek Gie di Catatan Seorang Demostran dalam menafsirkan kuasa ilmu pengetahuan guru atas anak didik. Atraksi otak anak pun terhenti, kreativitas mereka terbatas, langkah mereka ditata, kehidupannya pun distandarkan berdasarkan moral.

Saat anak jatuh di jurang menjadi korban “kebringasan” orang dewasa. Anak sepertinya tidak bisa mengelak dari lanjutan kisahnya. Misalnya, ketika anak menjadi korban pelecehan seksual (masih) terdapat argumen dikalangan masyarakat “salah siapa bermain-main dengan mereka” lalu anak pun didikte acuan abstrak bernama moral. Tak ada langkah pemulihan, yang ada sesegera mungkin menutupi aib demi harga diri keluarga. Hak anak terabaikan keluarga terselamatkan. Begitulah adanya.

Kekerasan fisik, verbal, mental hingga pelecehan seksual tetap ada dan berlipat ganda pelakunya. Nadi kehidupannya kekerasan. Masa depan anak tak pernah dipikirkan. Pelaku sadar, menutupi aib lebih diutamakan ketimbang melaporkan ke pihak berwajib atau pemulihan. Di bawah alam sadarnya, hanya muncul bisikan untuk cepat menyelesaikan setiap permasalahan anak. Kesemuanya tentang ketergantungan keluarga dan moral.

Meminjam istilah Mazhab Frankfurt, ketegangan antara kekerasan (das sein) dan penyelesaian (das sollen) berujung rasa sakit dunia (weltschmerz) karena solusi tak berpihak pada korban. Kekuasaan  orang tua di masyarakat kita masih berjalan berlomba-lomba untuk mengutuk anak-anak tak bermoral ketimbang menanyakan kebutuhan atas dirinya.

Negasi Homo Homini Lupus

Dapatkah anak-anak mendapatkan kenyaman ketika berdampingan dengan orang dewasa? Penulis mencoba “menegasikan” anggapan Hobbesian dengan ungkapan filsuf etika, Adam Smith –bagi penulis belia filsuf etika yang “diekonomikan” oleh kebanyakan orang –Homo homini socius (manusia kawan bagi manusia lainnya).  Konteksnya diimplementasikan di setiap relasi anak dan orang tua bukan relasi kuasa melainkan relasi dimensional, di mana keduanya memiliki kewajiban dan hak sesuai proporsi masing-masing.

Homo homini socius-nya Adam Smith, menjadi salah satu alternatif pendekatan memerangi kekerasan terhadap anak. Posisinya sebagai subjek setara.  Diperlakukan sebagaimana mestinya. Kehadiran orang tua pun bukan sebagai subjek yang mendikte, keberadaannya pelindung.

Misal, dalam kasus perundungan anak di sekolah oleh kakak tingkat. Orang tua harus bergerak cepat menempatkan diri sebagai “pelindung” dan anak “dilindungi”. Prinsip welfare family, menangani anak dengan kedekatan-kedekatan sebagaimana kawan. Ia mendengarkan setiap kronologi kejadian, mencari solusi, menenangkan psikologis, dan jalan terkahir menempuh jalur hukum.

Penyelesaian setiap kasus kekerasan terhadap anak juga bukan tanggung jawab orang tua saja sebagaimana prinsip homo homini socius. Lingkungan dimana anak melakukan aktivitas. Masyarakat sebagai elemen homini socius harus tercerahkan dan menyepakati moral yang dinamis.

Setiap peristiwa kekerasan –misal pelecehan sesksual- anak menjadi korban tindakan individu pun masyarakat. Kekerasan ganda dialami oleh anak. Terlebih jika “aib” dikedapankan oleh keluarga korban. Inspirasi homo homini socius-lah bahwa tanggung jawab masyarakat terhadap individu-individu merupakan sebuah keniscayaan.

Standar moral pada masyarakat pun harus dinamis. Keleluasaan tafsir-tafsir moral dikedepankan untuk masalah-masalah yang absen di masyarakat hari ini. Kita perlu memikirkan ulang,  mempertahankan “pendiktean” menggunakan kekerasan fisik, verbal, dan mental. Hingga tak sadar bahwa setiap kegiatan itu terekam dan akan mengakibatakan tindakan berdasarkan pengalaman.

Pasifisime, tak dapat diciptakan disekup terkecil justru berimbas kesetiap lini kehidupan sosial si anak. Kita sedang amnesia karena  iklim homo homini lupus lebih memuaskan ketimbang memelihara warisan homo homini socius.

“Anak, Hobbessian keniscayaan yang lekang oleh nirkekerasan!”

Fadli Rais
Fadli Rais
Pecinta Manchester City paruh waktu. Kini memulung ilmu di UIN Walisongo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.