Akhir-akhir ini, kampus sebagai ruang pergulatan intelektual disebut sebagai medan tempur penyebaran paham radikalisme. Belum kering dalam ingatan kita, ketika Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan menyatakan sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar radikalisme.
Dikatakan, ada 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam. Lebih mengejutkan lagi ketika BNPT menyampaikan hampir semua kampus negeri di Jawa, dari Barat ke Timur dan juga sejumlah Universitas di luar Jawa terpapar radikalisme.
Mengapa Radikalisme di Kampus Cukup Masif?
Banyak faktor tumbuhnya paham radikalisme. Namun dalam konteks radikalisme di kalangan mahasiswa, patut direnungkan pandangan yang dilontarkan Prof. Azyumardi Azra yang menilai bahwa berkembangnya paham radikalisme di kampus diantaranya disebabkan oleh dominasi kelompok-kelompok gerakan kemahasiswaan yang sangat dekat dengan radikalisme atau gagasan khilafah.
Menurut Azra, sejak adanya NKK-BKK, kampus tidak boleh lagi dimasuki oleh organisasi kemahasiswaan Islam moderat seperti HMI, PMII dan IMM. Akibatnya, panggung kemahasiswaan banyak didominasi oleh kelompok mahasiswa yang dekat dengan gagasan khilafah. Bahkan dalam pengamatannya, BEM sekarang sudah banyak dikuasai oleh kelompok Islamis bahkan hampir mendekati Jihadis. Demikian penuturan Prof. Azra dalam wawancaranya di Kompas TV.
Dalam kegelisahannya tersebut, mantan Rektor UIN Jakarta ini mengatakan, “Kembalikan organisasi ekstra mahasiswa seperti HMI, PMII, dan IMM ke dalam kampus, sehingga mengurangi dominasi organisasi Islam “kanan”.
Apa yang dikatakan Prof. Azra ini dapat dimaknai bahwa pendekatan struktural-kekuasaan semata oleh pemerintah tidak lantas akan mematikan penyebaran paham radikalisme di kalangan mahasiswa. Maka, pendekatan kultural, intelektual dan ideologis adalah penting dilakukan tanpa harus ditodong oleh pistol kekuasaan. Dalam istilah BNPT disebut kontra narasi, kontra ideologi ataupun deradikalisasi. Dalam istilah yang lebih tepat lagi perlu membumikan moderasi Islam atau Islam Wasathiyah. Lalu siapa yang dapat memainkan peran ini?
Otokritik untuk HMI, PMII, IMM dan Universitas
Maraknya radikalisme agama di kampus merupakan tamparan keras bukan saja untuk pihak universitas, tetapi juga bagi organisasi mahasiswa Islam moderat seperti HMI (lahir tahun 1947), PMII (lahir tahun 1960) dan IMM (lahir tahun 1964). Bahkan dapat disebut suatu “kegagalan” organisasi-organisasi ini dalam menghadapi arus pemikiran radikalisme agama yang dihembuskan oleh kelompok Islam “kanan” meminjam istilah Azra. Berkembangnya radikalisme agama di kalangan mahasiswa merupakan otokritik bagi organisasi-organisasi ini.
Keberadaan dan peran ketiga organisasi mahasiswa Islam moderat ini sesungguhnya dapat membendung penyebaran paham radikalisme di lingkungan mahasiswa, khususnya kepada mahasiswa baru. Menggigat, penetrasi organisasi Islam transnasional yang menyebarkan paham khilafah, mengkafirkan Indonesia dan seterusnya masuk ke kampus dengan begitu sangat cepat penyebarannya adalah tantangan tersendiri bagi organisasi-organisasi ini ditengah kesulitan eksistensial yang menempanya.
Bagi mahasiswa yang belum bersentuhan dengan diskursus keislaman, apalagi mahasiswa baru, provokasi dan doktrinasi tentang Negara khilafah dan kebencian terhadap perbedaan keyakinan serta pengkafiran terhadap ideologi atau sistem kenegaraan di Indonesia begitu sangat mudah diterima. Mengapa?
Umumnya berdasarkan pengalaman penulis bersentuhan dengan kelompok ini, pada mulanya, kepada mahasiswa yang direkrut itu mereka mengajarkan tertib ibadah yang baik, kesholehan dalam beragama, dan akhlak dalam bergaul dengan cukup baik, hal ini positif sebetulnya, namun tidak berhenti pada tataran itu. Setelah itu semua, masuklah kepada doktrin bahwa satu-satunya solusi untuk kejayaan Islam dan menyelamatkan Indonesia adalah dengan mendirikan khilafah Islamiyah versi mereka.
Logika yang mereka konstruksi ibarat iklan “teh botol sosro”, apapun masalahnya solusinya adalah khilafah. Masalah sumber daya alam yang dikuasai asing, masalah kemiskinan, masalah korupsi, masalah pendidikan, masalah kesejahteraan dan seterusnya yang mendera Indonesia, mereka kampanyekan kerusakan itu semua akibat dari sistem yang sesat. Solusinya adalah khilafah. Dan memperjuangkannya adalah jalan dakwah yang mulia atau jihad fii sabilillah yang pahalanya cukup besar.
Bagi mahasiswa baru utamanya, apalagi yang baru semangat berislam dengan pemahaman keislaman seadanya, tentu saja mereka tergiur dengan godaan nalar instan ini. Sebuah kredo tentang mimpi kebahagiaan di dunia jika khilafah ditegakkan, dan surga bagi yang memperjuangkannya. Sehingga mahasiswa yang kemasukan doktrin ini, mereka dengan semangat berapi-api mendakwahkannya ke mahasiswa lainnya, hitung-hitung untuk investasi amal di dunia dan akhirat.
Sekarang ini HTI sudah dibubarkan, tentu organisasi semacam Gema Pembebasan yang merupakan sayapnya di kampus tak dapat eksis lagi secara organisatoris. Namun dakwah dan pemikirannya terus berjalan. Selain Gema Pembebasan, ada pula organisasi yang cukup eksis, mendominasi LDK, BEM, masjid kampus, dan komunitas-komunitas kajian. Organisasi yang dekat dengan pemikiran dan perjuangan Ikhwanul Muslimin, atau disebut Azra dekat dengan paham radikalisme bahkan hampir jihadis. Penulis tidak ingin menyebutkan nama organisasi ini, biarkanlah pemerintah yang akan mengungkapkanya dengan data BIN yang cukup.
Optimalisasi Peran HMI, PMII, dan IMM
Peran HMI, PMII, dan IMM sangat penting dan signifikan dalam membendung paham radikalisme. Untuk itu, tiga organisasi mahasiswa Islam moderat ini juga perlu mengevaluasi pola pembinaan dan strategi dakwahnya di kampus.
Adanya kritik bahwa kader HMI, PMII dan IMM jauh dari masjid kampus, kurang kajian keislaman yang menitiberatkan kepada pembinaan kesholehan beragama, terlalu sibuk dengan politik kampus dan saling gesekan antar sesama dan sederet kritik lainnya dapat menjadi refleksi kendati tidak sepenuhnya benar.
Organisasi-organisasi kemahasiswaan Islam moderat ini harus back to masjid, mendominasi LDK, membumikan kajian-kajian keislaman di kampus yang tidak hanya untuk kadernya, tetapi juga melibatkan mahasiswa secara umum. Ruang-ruang dakwah yang belakangan sepi dari kader-kader HMI, PMII, dan IMM harus diisi kembali secara dominan oleh kader-kader ketiga organisasi ini. Termasuk di dalamnya BEM tanpa harus berdarah-darah saling menyingkirkan, berbagi saja untuk memperkuat dakwah bersama.
Kader ketiga organisasi ini, perlu membumikan kajian keislaman dan keindonesiaan yang moderat, inklusif, transformatif dan kritis di mana dimensi keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan berada dalam tarikan nafas yang satu.
Peran HMI, PMII, dan IMM diharapkan menghidupkan nalar kritis mahasiswa. Sebab, kurangnya keterampilan berpikir kritis dan logis di kalangan mahasiswa, dapat memudahkan mereka terpapar radikalisme. Meminjam istilah Yudi Latif, radikalisme lahir karena “miskin wawasan kemanusiaan, miskin pemahaman keagamaan, dan miskin pengalaman bergaul lintas kultural.” Wallahu’alam.